Potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia mencapai 171 miliar dollar AS per tahun. Namun, potensi ekonomi ini terancam seiring tingginya pencemaran laut akibat persoalan sampah plastik tidak terkendali.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampah plastik kian tidak terkelola dengan baik sehingga berdampak buruk terhadap sektor lingkungan, kesehatan, dan ekonomi. Untuk mengatasi masalah itu, perlu upaya lebih serius mengubah pola perilaku warga hingga tata kelola persampahan dan birokrasi.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), M Reza Cordova, menyampaikan, berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia mencapai 171 miliar dollar AS per tahun. Namun, potensi ekonomi ini akan terancam karena adanya pencemaran laut.
”Sejak 1980-an sampai 2040 ada estimasi bahwa sumber pangan dari laut di Indonesia akan lebih banyak dibandingkan yang berasal dari darat. Jika hal ini terganggu, tidak hanya nilai ekonomi turun, keberlanjutan gizi penduduk Indonesia juga akan terancam,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Sampah Laut dan Kebangkitan Bangsa”, di Jakarta, Senin (17/5/2021).
Reza menjelaskan, sejumlah kajian mengungkap pencemaran laut disebabkan plastik. Menurut data dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 2018, 79 persen sampah plastik masih tersebar di lingkungan dan belum terkelola dengan baik. Data ini cukup ironis mengingat awal mulanya plastik diciptakan dan dirancang agar bisa didaur ulang.
Riset berjudul ”Predicted Growth in Plastic Waste Exceeds Efforts to Mitigate Plastic Pollution” yang terbit di jurnal Science pada September 2020 juga mengungkap potensi laut akan kian tercemar sampah plastik. Dari hasil riset tersebut, diperkirakan sebanyak 53 juta metrik ton sampah plastik akan masuk ke ekosistem perairan dunia pada 2030 jika tidak ada upaya serius dari tiap-tiap negara dalam mengatasi masalah sampah.
”Ada berbagai perhitungan ekonomi berapa banyak dampak dari polusi plastik. Tetapi kajian terbaru pada 2020, kurang lebih setiap ton sampah plastik yang tidak tertangani dengan baik akan menurunkan ekonomi Rp 45 juta hingga Rp 450 juta setiap tahun,” katanya.
Selain kerugian ekonomi, sampah plastik yang akhirnya menjadi partikel mikroplastik akan mengancam kesehatan jika masuk ke dalam tubuh. Bahkan, dari hasil kajian yang terbit di jurnal Environmental Science and Technology (2019) berjudul ”Human Consumption of Microplastics”, partikel mikroplastik paling banyak ditemukan di tutup botol air mineral.
Setiap ton sampah plastik yang tidak tertangani dengan baik akan menurunkan ekonomi Rp 45 juta hingga Rp 450 juta setiap tahun.
”Dengan kondisi pandemi, makin lama sampah plastik kian meningkat. Meski belum ditulis, hasil riset kami menunjukkan, kurang lebih di per 10 meter ditemukan limbah masker bekas dan ini bisa menjadi sumber mikroplastik yang baru bagi lingkungan dan akhirnya berujung ke manusia,” tuturnya.
Reza mengakui, mayoritas masyarakat Indonesia telah mengetahui isu sampah plastik yang merusak lingkungan. Hal ini ditunjukkan dari hasil risetnya yang mengungkap bahwa 1 dari 2 orang di Indonesia mengetahui sampah plastik. Namun, orang yang mau melakukan aksi nyata jauh lebih sedikit dibandingkan sekadar mengetahui isu tersebut.
Tata kelola
Founder dan CEO Waste4change Mohamad Bijaksana Junerosano mengatakan, permasalahan sampah di Indonesia belum dapat tertangani dengan baik karena menyangkut pola perilaku, tata kelola persampahan dan birokrasi atau politik, serta rendahnya karakter bangsa.
”Selama ini kita hanya melihat persoalan sampah dari permukaannya, seperti sampah laut, longsor di TPA (tempat pembuangan akhir), hewan mati akibat plastik, dan tingginya penyakit. Padahal, permasalahan sampah tidak akan bisa diselesaikan jika tidak melihat persoalan di bawah permukaan, seperti pola perilaku dan tata kelola,” ujarnya.
Menurut Sano, sejumlah contoh pola perilaku pengelolaan sampah yang masih rendah oleh masyarakat Indonesia di antaranya membuang dan membakar sampah sembarangan, enggan membayar iuran, hingga tidak memilah sampah. Pola perilaku ini dipengaruhi oleh tata kelola sistem persampahan yang terjadi karena pengumpulan dan pengangkutan sampah belum optimal.
”Buruknya tata kelola sistem persampahan ini juga terjadi karena sistem birokrasi dan politik yang masih bermasalah. Kita masih sangat bergantung dengan kepala daerah. Setiap pergantian kepala daerah kebijakan soal sampah juga berganti,” tuturnya.
Terkait hal itu, semua pihak perlu membangun sistem terintegrasi dari hulu hingga hilir dengan prinsip ekonomi sirkular menuju tanpa limbah (zero waste). Sistem ini mencakup regulasi, kebijakan penegakan, infrastruktur teknis operasi dan mekanisme khususnya pembayaran yang tepat.
Di sisi lain, keberhasilan pengelolaan sampah membutuhkan partisipasi seperti kemampuan dan kemauan dalam memilah serta membuang sampah pada tempatnya.