Penerapan manajemen rantai dingin vaksin Covid-19 menjadi tantangan besar di Indonesia yang berpenduduk besar dan tinggal di daerah kepulauan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Vaksin Covid-19 saat ini menjadi kebutuhan krusial bagi seluruh dunia. Semua negara berebut agar jumlah vaksin yang tersedia bisa cukup untuk membentuk kekebalan masyarakat dari penularan Covid-19. Selain jumlah, kualitas dan mutu vaksin juga menjadi faktor penting yang harus dijaga agar efektivitas vaksin tetap optimal ketika diberikan kepada masyarakat.
Karena itu, manajemen rantai dingin pun amat penting untuk diperhatikan agar suhu penyimpanan vaksin tetap stabil. Vaksin yang saat ini tersedia di Indonesia, seperti vaksin buatan Sinovac, AstraZeneca, dan Sinopharm harus disimpan di suhu 2-8 derajat celsius. Jika suhu penyimpanan berubah, mutu, keamanan, serta khasiat vaksin bisa menurun sehingga efektivitas vaksin dapat berkurang.
Sekalipun sudah berpengalaman dalam pelaksanaan imunisasi dasar nasional, manajamen rantai dingin (cold chain) vaksin tetap menjadi tantangan besar. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar. Wilayah geografis juga sangat luas dengan ribuan kepulauan. Selain itu, jumlah vaksin yang didistribusikan, khususnya vaksin Covid-19, sangat banyak dan harus diberikan ke masyarakat dalam waktu yang singkat.
Pemerintah menargetkan, vaksinasi diberikan kepada 181,5 juta penduduk dalam waktu satu tahun. Itu dimaksudkan agar kekebalan komunitas atau herd immunity yang diharapkan bisa segera terbentuk. Jika setiap orang membutuhkan dua dosis vaksin, jumlah vaksin yang dibutuhkan lebih dari 363 dosis vaksin.
Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) mencatat, jumlah vaksin jadi yang sudah dimiliki per 8 Mei 2021 sebanyak 62,4 juta dosis. Jumlah itu harus didistribusikan ke 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia.
”Pemanfaatan teknologi menjadi keharusan dalam proses distribusi vaksin. Dengan teknologi, pemantauan lebih efektif dan real time sehingga mutu vaksin pun bisa terjaga sejak vaksin didistribusikan dari gudang penyimpanan sampai diberikan kepada masyarakat,” ujar Direktur Digital Healtcare PT Bio Farma (Persero) Soleh Ayubi saat diwawancarai secara virtual dari Jakarta, Sabtu (8/5/2021).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19, PT Bio Farma bertanggung jawab pada proses distribusi vaksin Covid-19. Distribusi ini mulai dari gudang penyimpanan di PT Bio Farma di Bandung, Jawa Barat, menuju ke tingkat provinsi dan kemudian sampai ke gudang penyimpanan di tingkat kabupaten/kota.
Pemanfaatan teknologi menjadi keharusan dalam proses distribusi vaksin. Dengan teknologi, pemantauan lebih efektif dan real time sehingga mutu vaksin pun bisa terjaga.
Atas dasar itulah, PT Bio Farma mengembangkan teknologi digital sistem monitoring distribusi vaksin (SMDV). Teknologi ini diklaim sebagai teknologi yang pertama digunakan di Indonesia, bahkan di dunia. Semua pengembangannya dilakukan di Indonesia dengan melibatkan tiga pihak, yakni Marchesini Group Indonesia (MGI), EasyGo GPS, dan PT Telkom Indonesia (Persero).
Dalam teknologi SMDV terdapat dua aplikasi yang disematkan, yaitu aplikasi berupa kode bar (barcode) serta aplikasi pemantauan kendaraan pembawa vaksin yang meliputi sensor suhu, lokasi, dan behavior dari kendaraan pembawa vaksin, seperti kecepatan dan kondisi pintu dari kendaraan.
Apabila pintu dari tempat penyimpanan vaksin terbuka di lokasi yang bukan seharusnya, peringatan akan langsung muncul di tampilan dashboard untuk mengantisipasi adanya pencurian atau hal lain yang tidak diinginkan. Pintu yang terbuka juga bisa berpengaruh pada suhu penyimpanan dari kendaraan pembawa vaksin. Khusus untuk fungsi pelacakan lokasi kendaraan, fitur GPS yang digunakan terintegrasi dengan aplikasi Google Maps. Selain itu, dimanfaatkan pula aplikasi bergerak Biotracking yang digunakan oleh sopir dari kendaraan pembawa vaksin.
Sementara untuk kode bar yang disertakan dalam botol (vial) vaksin serta bungkus sekunder dan bungkus tersier vaksin difungsikan untuk memastikan keaslian dari produk vaksin yang diberikan. Dalam kode bar tersebut terdapat informasi terkait dengan waktu kedaluwarsa, nomor produksi (bacth number), dan nomor seri (serial number) vaksin. Semua informasi ini akan diolah dengan memanfaatkan layanan internet untuk segala (internet of things/IoT). Dalam penyajian datanya menggunakan teknologi GS1 Data Matrix.
”Saat ini semua informasi tersebut dapat ditampilkan dalam dashboard khusus. Dasboard ini juga berada di ruang kerja dari Pak Airlangga (Ketua KPC PEN/Menteri Koordinator Bidang Perekonomian), Pak Erick Thohir (Ketua Tim Pelaksana KPC PEN/Menteri BUMN), Pak Budi Gunadi (Menteri Kesehatan), juga Asops (Asisten Kapolri Bidang Operasi) Polri. Ini dimaksudkan agar pemangku kepentingan juga bisa cepat mengambil keputusan dari kondisi sesungguhnya di lapangan,” ujar Ayubi.
Dalam pengoperasiannya akan langsung dipantau oleh tim pengawasan di PT Bio Farma. Setidaknya ada 20-30 orang yang secara bergantian memantau proses distribusi selama 24 jam. Proses pengawasan pada distribusi vaksin ini sangat penting karena besarnya nilai vaksin yang diantarkan, yakni sekitar Rp 50 miliar, untuk vaksin yang disimpan di setiap kendaraan pengantar.
Proses pengembangan
Ayubi mengatakan, secara teknis, pengembangan teknologi SMDV sudah dilakukan sejak 2018. Namun, pengembangan mulai berjalan secara komprehensif pada September 2020 ketika rencana pelaksanaan vaksinasi Covid-19 muncul. Teknologi ini kemudian dijalankan mulai Januari 2021.
Dalam tiga minggu ke depan ditargetkan teknologi ini bisa terpasang di 141 truk pembawa vaksin serta 12 ruangan pendingin dan 190 kulkas (chiller) penyimpan vaksin yang tersebar di 78 titik hub gudang penyimpanan vaksin di daerah.
”Komitmen dari pemerintah sangat mendukung upaya percepatan dari pengembangan teknologi ini. Ke depan, teknologi ini bisa dimanfaatkan di beberapa sektor, tidak hanya untuk vaksin Covid-19. Selain untuk pemantauan vaksin jenis lain, teknologi SMDInovasV bisa digunakan untuk pemantauan distribusi pupuk subsidi atau beras dari Bulog,” kata Ayubi.
Ia pun mengungkapkan tidak ada kedala berarti dalam proses pemantauan melalui teknologi SMDV. Pada daerah yang tidak memiliki jaringan internet biasanya pelaporan memang tidak bisa ditampilkan langsung pada dashboard. Namun, semua data masih tetap tersimpan sehingga bisa diolah dan dilaporkan secara utuh.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Penny K Lukito menyampaikan, semua proses distribusi vaksin harus memenuhi penerapan cara distribusi obat yang baik (CDOB). Dalam proses pendistribusian, Badan POM mengawal penuh penerapan CDOB yang dilakukan di setiap titik rantai distribusi.
Ada lima hal yang harus diperhatikan, yaitu SDM pengelola vaksin yang terlatih; bangunan dan fasilitas distribusi yang memenuhi syarat rantai dingin; proses operasional penerimaan, penyimpanan, dan pengiriman vaksin yang sesuai standar; adanya program pemeliharaan sarana dan prasarana; serta adanya kalibrasi, kualifikasi, dan validasi untuk mematikan suhu pengiriman memenuhi syarat.
”Pengelolaan yang baik akan menjaga kualitas, keamanan, dan manfaat atau efikasi vaksin sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksin Covid-19. Dengan begitu diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menyukseskan program nasional vaksinasi Covid-19,” kata Penny.