496 Hektar Lahan Masih Terkontaminasi Logam Berat Merkuri
Pertambangan emas tanpa izin di sejumlah daerah menimbulkan persoalan. Pencemaran logam berat berupa limbah merkuri atau air raksa mengancam kesehatan warga dan lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Areal seluas 496 hektar di Indonesia masih terkontaminasi limbah bahan beracun dan berbahaya atau B3 yang berasal dari pencemaran merkuri akibat penambangan emas skala kecil dan tanpa izin. Upaya mempercepat pemulihan tanah terkontaminasi dan pencegahan peredaran serta perdagangan merkuri ilegal agar terus ditingkatkan.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam mengemukakan, seluas 4,96 juta meter persegi atau 496 hektar lahan terkontaminasi tersebut berasal dari kegiatan pertambangan dan manufaktur, baik dioperasikan secara individu maupun terlembaga.
Data terakhir pada 2020 yang diolah Bappenas menunjukkan, sampai saat ini masih terdapat 197 titik penambangan emas skala kecil di berbagai wilayah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 15 titik berada di kawasan taman nasional atau cagar alam.
KLHK bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencoba untuk melembagakan penambangan emas skala kecil ini untuk membangun pertambangan skala rakyat tetapi memiliki ketentuan yang benar. (Haruki Agustina)
”Terdapat juga tiga lokasi penambangan batu sinabar sebagai mineral mengandung merkuri. Dari catatan kami, sinabar ini berpotensi didistribusikan ke setidaknya lima lokasi lain di Indonesia,” ujar Medrilzam dalam webinar bertajuk ”Merkuri dalam Tanah dan Lahan Terkontaminasi Merkuri”, Kamis (29/4/2021).
Guna mengurangi dampak merkuri atau air raksa (Hg) ini, Medrilzam memandang perlunya mendorong pelegalan penambangan emas tanpa izin dengan memberikan pendampingan dan sejumlah bantuan teknis atau nonteknis. Kegiatan penambangan ilegal dengan merkuri diharapkan dapat berkurang jika pemerintah memberikan izin usaha pertambangan rakyat dan menutup seluruh kegiatan tambang sinabar secara permanen.
”Larangan impor sudah tertuang dalam peraturan menteri perdagangan, tetapi ada catatan Indonesia masih menjadi produsen sekaligus eksportir merkuri pada 2016. Kita perlu terus memperketat pengawasan terhadap ekspor impor merkuri, khususnya menyusun kebijakan pelarangan ekspor sebagai komitmen pemerintah,” ucapnya.
Dalam memitigasi pencemaran merkuri jangka menengah maupun panjang, Bappenas menerapkan tiga strategi kunci. Tiga strategi tersebut adalah memperkuat sistem peringatan dini bencana lingkungan, memperkuat kapasitas sumber daya manusia untuk pemantauan hingga penegakan hukum, serta mempercepat penyusunan rencana aksi daerah pengurangan dan penghapusan merkuri.
Penguatan peringatan sistem dini bencana lingkungan dilakukan melalui sejumlah langkah, seperti peningkatan kapasitas laboratorium beserta peralatannya dan pengembangan baku mutu lingkungan. Pada 2020, pemerintah telah membangun laboratorium merkuri dan metrologi lingkungan melalui surat berharga syariah negara. Laboratorium ini dapat melakukan uji merkuri di dalam larutan, air, udara, padatan, dan biota.
”Kami berharap laboratorium yang sudah dibangun ini dapat mengembangkan jaringan penelitian dan pemantauan merkuri di Indonesia sekaligus memperkuat surveilans. Laboratorium ini juga bisa menjadi pusat laboratorium merkuri lainnya di Indonesia dan menjadi pencapaian pemerintah dalam COP (Konferensi Para Pihak) 4 Minamata yang akan datang,” katanya.
Melembagakan PESK
Meski 197 titik penambangan emas skala kecil (PESK) termasuk ilegal dan mayoritas masih menggunakan merkuri, Direktur Pemulihan Kontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Haruki Agustina memandang kegiatan tersebut terdapat unsur ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, persoalan PESK yang menggunakan merkuri tidak bisa dengan mudah diselesaikan tanpa adanya solusi alternatif.
”KLHK bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencoba untuk melembagakan PESK ini untuk membangun pertambangan skala rakyat tetapi memiliki ketentuan yang benar. Pertambangan ini sudah mulai didata. Kedua, kami juga melakukan edukasi bahaya merkuri kepada masyarakat karena mereka tidak mengetahuinya,” katanya.
Haruki mengatakan, sektor PESK menjadi target utama mengatasi merkuri di luar sektor rumah sakit. Sebab, sampai saat ini masih terdapat peralatan kesehatan di rumah sakit yang menggunakan merkuri, seperti termometer, sphygmomanometer (pengukur tekanan darah), amalgam gigi, baterai dan lampu, serta alat pencahayaan.
”Pemulihan lingkungan akibat merkuri menjadi skala nasional. Kami memiliki peta jalan seperti di Gunung Botak (Maluku). Namun, masih ada kendala akses karena mayoritas berada di area permukiman warga. Sosialisasi dan penggantian merkuri dengan bahan yang lebih ramah lingkungan juga sudah kami lakukan,” katanya.
Pengajar Program Studi Ilmu Tanah Universitas Sam Ratulangi, Ronny Soputan, memaparkan, pemisahan merkuri dan emas dari matrik batuan dapat dilakukan dengan teknik pirometalurgi (suhu tinggi) dan hidrometalurgi (menggunakan reaksi-reaksi kimia dalam larutan berair). Namun, cara terbaik yang bisa dilakukan PESK adalah dengan menyosialisasikan pemisahan emas dari batuan dengan metode ijuk.
”Teknologi secanggih dan sesederhana apa pun yang diterapkan petambang emas tanpa izin tetap akan menghasilkan merkuri. Karakteristik tanah ini perlu dikaji dan diketahui. Jadi, penetapan baku mutu merkuri dalam tanah dilakukan juga berdasarkan jenis tanah tempat PESK tersebut beroperasi,” tuturnya.