Petambang yang mendulang emas di pesisir pantai Desa Tamilouw, Maluku, terus bertambah. Pemerintah desa dan warga berjanji tidak akan menggunakan merkuri atau sianida dalam mengolah emas.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Penambangan emas tanpa izin oleh masyarakat di Desa Tamilouw, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, dapat memancing kedatangan pemburu emas dari luar desa itu yang berpotensi menggunakan zat berbahaya untuk pengolahan emas, seperti merkuri dan sianida. Pemerintah desa dan pemuda setempat menyatakan, mereka menutup pintu bagi petambang dari luar.
Sebagaimana gambar yang diperoleh Kompas pada Rabu (24/3/2021) petang, jumlah warga yang mendulang emas semakin banyak, mencapai lebih dari 500 orang. Dua hari sebelumnya, pendulang sekitar 100 orang. Mereka mendatangi lokasi yang berada di pantai desa itu. Mereka menggali pasir kemudian mendulangnya menggunakan peralatan dapur seperti wajan.
Dani Wailissa (28), warga, lewat sambungan telepon, mengatakan, pihak desa sudah membentuk tim yang beranggotakan para pemuda untuk mengamankan lokasi tersebut. Tim itu berkoordinasi dengan aparat TNI dan Polri setempat. ”Selain menjaga keamanan di lokasi, kami juga mencegah jangan sampai orang luar masuk ke sini,” katanya.
Menurut Dani, pihaknya khawatir pemburu emas dari luar biasanya datang membawa alat pengolahan yang menggunakan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri dan sianida. Hal ini berkaca pada pengalaman tambang rakyat ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Ekosistem di Buru kini telah hancur. Air sungai tercemar, biota laut di teluk rusak, pohon sagu dan ternak mati, serta banyak warga telah terpapar merkuri.
Sementara itu, Razak Pawae, Penjabat Kepala Desa Tamilouw, mengatakan, pihaknya tidak akan terpengaruh dengan bujukan dari siapa pun yang datang untuk menambang di tempat itu. Ia sudah mengingatkan para pemilik lahan agar tidak mengambil keputusan tanpa koordinasi dengan pemerintah desa. ”Kami tidak mau seperti di Gunung Botak,” ujarnya.
Ia menuturkan, hasil yang diperoleh para pendulang membuat warga di desa berpenduduk sekitar 5.000 jiwa itu semakin banyak yang datang ke lokasi tambang. Banyak yang mendapatkan lebih dari satu gram emas setelah mendulang dua hari. Bahkan, ada yang mendapatkan hingga empat gram. Mereka lalu menjualnya dengan harga sekitar Rp 700.000 per gram.
Dalam catatan Kompas, penambangan emas oleh masyarakat tanpa izin di Gunung Botak diawali dengan pengolahan manual, seperti di Tamilouw saat ini. Tahun 2011, saat emas pertama kali ditemukan, warga mendulang di kali. Seiring waktu, datang petambang dari luar yang jumlahnya lebih dari 200.000 orang. Mereka menggerogoti Gunung Botak dari berbagai sisi.
Petambang dari luar itu biasanya dimodali oleh cukong. Mereka membayar jumlah tertentu kepada tuan tanah yang memiliki hak ulayat atas lokasi tambang itu. Konflik lahan antara warga lokal pun terjadi. Ketika penambangan berlangsung, konflik antara sesama penambang pun tidak terhindari sehingga membuat kawasan itu tidak kondusif lagi.
Bob Rahmat, mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Maluku Tengah, yang ditugaskan memantau lokasi itu, menuturkan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Saat ini, urusan pertambangan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dinas ESDM di tingkat kabupaten/kota pun sudah dibubarkan.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, polisi mencermati munculnya penambangan emas di Tamilouw. Untuk sementara, Kepolisian Sektor Amahai yang menaungi wilayah hukum itu ditugaskan memantau situasi keamanan dan ketertiban.
”Ada instruksi khusus untuk mencegah jangan sampai penambangan menggunakan merkuri dan sianida,” kata Roem.