Digitalisasi yang memberi kemudahan dalam pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat agar menyentuh aspek-aspek lain yang terkait. Hal ini perlu ditunjang payung hukum yang bermanfaat bagi masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Transformasi digital pada sistem pelayanan kesehatan berjalan lebih cepat sejak pandemi Covid-19. Selain pada pelayanan di masyarakat, digitalisasi juga terjadi pada aspek lain seperti perizinan serta pengadaan obat dan alat kesehatan. Kondisi ini menuntut regulasi yang memadai agar layanan kepada masyarakat dapat diberikan secara baik dan optimal.
CEO Asosiasi Teknologi Medis Asia Pasifik (APACMed) Harjit Gill dalam acara Dia:gram Media Forum yang diikuti secara virtual dari Jakarta, Rabu (31/3/2021) mengatakan, pemanfaatan teknologi digital dalam layanan kesehatan semakin pesat di masyarakat. Itu seperti pemanfaatan telekesehatan, telefarmasi, diagnosis dengan kecerdasan buatan, serta pelatihan tenaga kesehatan secara jarak jauh.
“Pemanfaatan teknologi digital ini membutuhkan regulasi yang kuat. Dengan adanya regulasi, itu dapat mendorong pemanfaatan teknologi digital yang lebih luas sehingga kita pun akan jauh lebih siap ketika terjadi krisis kesehatan berikutnya,” katanya.
Rumah sakit dan laboratorium akan mengelola data anonim dan membagikannya dalam jaringan data nasional yang aman.
Hajrit menambahkan, pembuat kebijakan pun diharapkan dapat bergerak cepat untuk menghadirkan regulasi yang sesuai tanpa harus mengorbankan keselamatan masyarakat dan kualitas pelayanan yang diberikan. Koordinasi dari lintas pemangku kepentingan juga dibutuhkan untuk membentuk ekosistem perawatan kesehatan yang lebih baik.
Koordinasi tersebut termasuk antara pemerintah dan swasta, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Digitalisasi telah membuat hubungan internasional semakin terbuka.
Direktur Utama PT Prodia Widyahusada Indonesia Dewi Muliaty menuturkan, sejumlah regulasi terkait layanan kesehatan digital telah dikeluarkan di Indonesia. Meski begitu, infrastruktur kesehatan dan teknologi masih tidak merata. Konektivitas antarwilayah yang masih rendah menjadi tantangan dalam percepatan digitalisasi pada sistem kesehatan di Indonesia.
Pengalaman negara lain
Chief Clinical Officer Healthcare Information and Management Systems Society (HIMSS) Charles Alesi mengatakan, digitalisasi sistem kesehatan sudah berjalan di berbagai negara di wilayah Asia Pasifik. Di Singapura, misalnya, layanan perawatan kesehatan sudah memanfaatkan teknologi.
Selain itu, di Malaysia juga sudah mengembangkan layanan ambulans yang terhubung dengan jaringan 5G. Di Indonesia juga sudah menjalankan proyek Palapa Ring untuk memeratakan akses internet, termasuk untuk mendukung digitalisasi kesehatan di setiap wilayah.
“Dengan situasi yang terus berkembang ini kita membutuhkan semacam buku panduan yang berisi indikator sistem kesehatan berbasis digital," ujarnya.
Panduan ini sekaligus menjadi standar dalam layanan yang diberikan. Jika bisa dimanfaatkan secara optimal, kata dia, digitalisasi layanan kesehatan ini bisa menjadi lebih efisien dengan pengurangan biaya sekitar 10 persen.
Director Projects IQVIA India Arun Goyal menuturkan, sistem digital sudah dimanfaatkan pula untuk mengintegrasikan fasilitas pelayanan kesehatan di India. Data pasien berupa riwayat kesehatan bisa diakses mulai dari klinik, rumah sakit umum, dan rumah sakit swasta. Sistem ini membuat administrasi menjadi lebih cepat.
Diagnosis pun juga tidak membutuhkan waktu lama karena riwayat kesehatan pasien secara otomatis bisa ditransfer ke fasilitas kesehatan rujukan. Meski begitu, regulasi terkait sistem perlindungan data pasien harus sudah disiapkan secara matang terlebih dahulu.
“India telah mengambil pendekatan yang tepat," kata dia.
Disebutkannya, Pemerintah India berperan dalam membuat undang-undang dan mengembangkan kebijakan yang tepat. Sementara itu, rumah sakit dan laboratorium akan mengelola data anonim dan membagikannya dalam jaringan data nasional yang aman.
Data ini juga bisa dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan nasional terkait beban penyakit serta intervensi diagnostik yang diperlukan.
Sementara di Hong Kong, Chief Executive Officer CUHK Medical Centre Hong Kong, Hong Fung menyampaikan, sistem pencatatan data pasien sudah lama dikembangkan. Pencatatan ini telah diintegrasikan dalam program kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif lain juga muncul, seperti telefarmasi dan telekonsultasi. Tidak hanya itu, promosi kesehatan pun lebih gencar dilakukan melalui layanan digital. Peran swasta cukup besar untuk menyediakan berbagai layanan ini,” ucapnya.
Terkait pandemi
Harjit Gill mengatakan, regulasi terkait layanan kesehatan ini juga diperlukan untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19. Aturan perlu dirampingkan untuk mempercepat pengadaan sumber daya kesehatan yang dibutuhkan, seperti aturan persetujuan penggunaan produk medis serta pemberian izin penggunaan darurat untuk produk tertentu. Perancangan aturan itu bisa melibatkan sektor swasta agar tercipta solusi untuk mempercepat rantai pasokan alat kesehatan dan obat yang dibutuhkan.
Menurut Harjit, belum ada mekanisme koordinasi antarnegara yang ideal untuk memobilisasi ekosistem digitalisasi kesehatan global. Meski begitu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terus berupaya untuk membahasnya bersama para ahli yang terdiri dari pembuat kebijakan, ilmuwan, dokter, akademisi, industri, serta LSM.
“Saya berharap kita bisa belajar dari krisis pandemi Covid-19 ini untuk membangun kepercayaan, ketahanan, dan solidaritas yang lebih kuat di seluruh negara,” katanya.