Layanan Telemedik dalam Jaminan Kesehatan Nasional
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengembangkan layanan kesehatan jarak jauh. Layanan telemedik ini diharapkan bisa meningkatkan akses peserta program Jaminan Kesehatan Nasional terhadap layanan medis.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Digitalisasi dalam layanan kesehatan merupakan keniscayaan. Selain mempermudah dan mempercepat layanan, layanan ini juga bisa menjangkau lebih banyak warga dan mengurangi risiko penularan Covid-19 pada masa pandemi ini. Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional, pemanfaatan teknologi dengan layanan jarak jauh atau telemedicine pun telah dikembangkan.
Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Pelayanan Primer Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ari Dwi Aryani mengatakan, uji coba pelayanan telemedicine dalama layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sedang berlangsung di sejumlah fasilitas kesehatan di lima kota, yakni Medan, Serang, Jakarta, Yogyakarta, dan Gorontalo. Pengujian ini dilakukan untuk menentukan mekanisme pembayaran serta menilai efisiensi dan efektivitas dari layanan.
”Ada tiga layanan yang kami uji, yaitu tele-konsultasi, tele-USG, dan tele-EKG. Layanan ini diharapkan mengatasi persoalan keterbatasan akses layanan kesehatan di sejumlah daerah. Pasien pun bisa mengurangi ongkos perjalanan dari tempat tinggalnya ke rumah sakit,” tuturnya di Jakarta, Rabu (16/12/2020).
Ari menjelaskan, pada layanan tele-konsultasi, sejumlah fasilitas yang disediakan untuk peserta antara lain layanan pada program rujuk balik (PRB) pada sejumlah pasien, seperti hipertensi, jantung, dan diabetes melitus yang membutuhkan layanan jangka panjang. Selain itu, pada pasien non-PRB, juga bisa mengakses layanan di poli kesehatan ibu dan anak secara daring.
Pada layanan tele-USG, peserta juga bisa mendapatkan layanan jarak jauh yang didapatkan sebanyak tiga kali sesuai dengan ketentuan dalam pemeriksaan kehamilan (ANC), yaitu pada usia kehamilan 0-15 minggu, usia kehamilan 16-20 minggu, serta usia di atas 20 minggu.
Ada tiga layanan yang kami uji, yaitu tele-konsultasi, tele-USG, dan tele-EKG. Layanan ini diharapkan mengatasi persoalan keterbatasan akses layanan kesehatan di sejumlah daerah.
Sementara pada layanan tele-EKG, layanan jarak jauh diharapkan bisa diberikan kepada peserta PRB hipertensi dan jantung dengan kondisi stabil yang dilakukan minimal empat bulan sejak layanan jarak jauh sebelumnya dilakukan. Layanan ini juga bisa diberikan kepada peserta yang tidak dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut.
”Sementara ini masih ada beberapa regulasi yang harus kita sesuaikan, termasuk terkait penetapan tarif dalam layanan telemedicine. Meskipun dalam peraturan Menteri Kesehatan sudah diatur terkait tarif telemedik, kita masih butuh regulasi yang khusus untuk layanan JKN sehingga harus ada perbaikan serta revisi regulasi,” kata Ari.
Asisten Deputi Bidang Manajemen Fasilitas Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Unting Patri Wicaksono menambahkan, pemanfaatan teknologi secara lebih masif juga didorong dalam sistem pelayanan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL).
Setidaknya ada empat hal yang dikembangkan, meliputi sistem antrean elektronik, tampilan informasi ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, tampilang tindakan operasi di rumah sakit, serta simplifikasi pelayanan hemodialisa di rumah sakit.
Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, sudah ada 2.071 rumah sakit atau sekitar 94 persen dari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan yang sudah menerapkan sistem antrean elektronik. Selain itu, ada 650 rumah sakit yang sistem antrean elektroniknya terhubung dengan aplikasi Mobile JKN.
”Layanan ini bertujuan meningkatkan kenyamanan serta kepuasan dari peserta. Untuk antrean elektronik, misalnya, itu bisa mengatasi persoalan panjangnya antrean di fasilitas kesehatan yang mengharuskan peserta datang terlalu pagi di rumah sakit, sementara baru dilayani siang hari. Waktu yang terbuang ini menjadi bisa lebih efektif karena adanya teknologi,” tutur Unting.
Menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, pelayanan kesehatan berbasis teknologi informasi harus terus dioptimalkan. Perbaikan berkesinambungan dalam program JKN menunjukkan komitmen untuk peningkatan mutu layanan. Meski begitu, persoalan terkait dengan pemerataan layanan kesehatan bagi semua masyarakat di Indonesia juga perlu menjadi perhatian.
”Pemetaan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan yang merata harus segera dilakukan. Tentunya untuk daerah-daerah terpencil, komitmen pemerintah untuk menghadirkan fasilitas kesehatan memadai dan berkualitas menjadi amat penting karena sulitnya menghadirkan peran swasta di daerah itu,” katanya.