Perencanaan dan pembangunan infrastruktur mau tak mau harus beradaptasi dengan berbagai risiko dan dampak perubahan iklim. Kemarau dan banjir menjadi tantangan yang patut dipertimbangkan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Perubahan iklim telah mengubah cuaca menjadi lebih kering di musim kemarau dan hujan ekstrem di musim penghujan. Selain itu, laju peningkatan permukaan laut semakin cepat. Perubahan ini menuntut proses adaptasi, termasuk desain ulang infrastruktur untuk mengantisipasi dampak bencana dan kerugian ekonomi.
"Kejadian hujan ekstrem dengan intensitas sekitar 300 (mm) per hari dulu hanya terjadi 50 tahun sekali, yaitu pernah terjadi tahun 1900-an lalu tahun 1950-an. Namun, dalam 30 tahun terakhir, hal ini terjadi hampir tiap tahun," kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam diskusi terfokus tentang perubahan iklim dan infrastruktur, yang bisa diikuti secara daring pada Selasa (30/3/2021).
Di sisi lain, menurut Dwikorita, intensitas hujan di musim kemarau cenderung berkurang, sehingga risiko kekeringan akan meningkat. Frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem ke depan akan semakin meningkat dan menjadi kenormalan baru, sehingga meningkatkan risiko bencana terkait hidrometeorologi.
"Situasi ini membutuhkan adaptasi sumber daya air dan perencanaan jangka panjang. Termasuk kemungkinan desain ulang infrastruktur, terutama yang terkait hidrologi," kata Dwikorita.
Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, mengacu laporan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO), tahun 2020 menjadi tahun terpanas setelah tahun 2016 dan setara dengan 2019. "Secara keseluruhan suhu Bumi secara konstan terus naik. Tahun 2020 sudah 1 derajat di atas suhu pra-industrial 1850-an," kata dia.
Menurut Ardhasena, berdasarkan data di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, Sumatera Barat, emisi gas rumah kaca terus meningkat. Situasi ini menyebabkan kenaikan suhu global terus meningkat dengan laju yang semakin cepat.
Anomali kenaikan suhu udara di Indonesia, menurut Ardhasena, sebenarnya masih dibawah anomali suhu global. Namun, trennya sama kenaikannya dengan kondisi global sejak 1960-an.
"Tahun 2020 juga merupakan tahun terpanas kedua setelah 2016 di Indonesia. Ini menyebabkan perubahan siklus hidrologi. Pulau-pulau besar menghadapi tren hujan ekstrem atau di atas 150 mm per hari. Dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi episode hujan harian di atas 200 mm per hari, salah satu kejadian utama di Jakarta pada 1 Januari 2020 lalu, tercatat hujan 377 mm dalam sehari di Jakarta," kata dia.
Menurut Ardhasena, untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini, BMKG bekerjasama dengan lembaga lain telah menginisiasi sejumlah proses adaptasi. Misalnya, untuk sektor pertanian BMKG mendukung sekolah lapang informasi iklim. Di sektor kesehatan, bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung telah menghasilkan informasi tentang potensi penyebaran demam berdarah dengue untuk tiga bulan ke depan. Selain itu juga dibuat sistem informasi risiko kebakaran hutan berbasis hotspot dan iklim di wilayah Asia Tenggara (ASEAN).
"BMKG siap fasilitasi informasi iklim dengan sejumlah sektor terkait, termasuk infrastruktur," kata dia.
Kenaikan air laut
Selain perubahan cuaca yang mempengaruhi siklus air, perubahan iklim juga menyebabkan kenaikan muka air laut. Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial (BIG) Gatot H Pramono mengatakan, data global menunjukkan, kenaikan muka air laut semakin cepat.
"Kenaikan muka air laut dipengaruhi tiga hal, yaitu perubahan iklim memanaskan suhu laut sehingga mengembang. Ini kontribusinya 30 persen. Selain itu juga mencairnya es yang juga berkontribusi 30 persen. Faktor lain berupa penurunan tanah yang berkontribusi 40 persen," kata dia.
Menurut Gatot, jika tanpa memperhitungkan penurunan daratan, pada periode 1900-1930 kenaikan muka air laut global hanya 0,6 mm per tahun dan pada 1930 -1992 menjadi 1,2 mm per tahun. Pada 1993-2015 kenaikan muka air laut menjadi 3,2 mm per tahun, dan pada 2010-2015 menjadi 4,4 mm per tahun.
Berdasarkan pemodelan, jika suhu Bumi meningkat 2 derajat celcius di tahun 2100, maka tinggi permukaan laut global akan bertambah 30 cm, itu jika tanpa memperhitungkan penurunan daratan. "Kenaikan muka air laut di Indonesia lebih tinggi dibandingkan rata-rata global ini," kata Gatot.
Menurut Gatot, berdasarkan pemodelan maupun perhitungan di stasiun pasang surut di berbagai wilayah Indonesia, laju kenaikan permukaan laut di Indonesia rata-rata mencapai 7 mm per tahun. "Pantai Barat Sumatera dan Selatan Jawa relatif lebih rendah kenaikannya dibanding utara Jawa, Ambon, dan Maluku," kata dia.
Dengan tren ini, menurut Gatot, selama tahun 2000 - 2030 kenaikan muka air laut di Indonesia bisa mencapai 24 centimeter (cm) plus minus 16 cm. "Jadi, bisa kita proyeksikan berapa banyak lahan di pesisir yang akan hilang karena kenaikan muka air laut ini. Ini membutuhkan tindak lanjut dalam perencanaan dan penguatan sinergi antar lembaga terkait perubahan iklim," kata dia.