Alarm Bahaya dari Menyusutnya Es di Bumi
Menyusutnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, hingga Puncak Jaya di Papua, telah membunyikan alarm bahaya yang mengancam masa depan kehidupan di Bumi.
Ketika kita masih berjuang menghadapi pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhir, Bumi juga mengalami tekanan hebat hingga menuju titik kritis. Menyusutnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, hingga Puncak Jaya di Papua, telah membunyikan alarm bahaya yang mengancam masa depan kehidupan di Bumi.
Hanya dalam kurun 23 tahun, yaitu dari 1994 hingga 2017, Bumi telah kehilangan 28 triliun ton es. Hal itu setara dengan hilangnya es setebal 100 meter yang menutupi seluruh Inggris. Laju penyusutan es itu berlangsung kian cepat dari hari ke hari dalam tiga dekade terakhir, dari 0,8 triliun ton per tahun pada 1990-an menjadi 1,3 triliun ton per tahun pada 2017.
Data tentang penyusutan es ini dilaporkan oleh para peneliti dari University of Leeds, University of Edinburgh, University College London dan tim dalam jurnal European Geosciences Union, The Cryosphere, pada 25 Januari 2021. Survei penyusutan es global ini dilakukan dengan menggunakan data satelit.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan telah terjadi peningkatan laju penyusutan es hingga 65 persen selama 23 tahun. Hal ini terutama didorong oleh kenaikan tajam dari hilangnya lapisan es kutub di Antartika dan Greenland.
Baca juga : Es di Puncak Jaya Diperkirakan Hilang pada 2023
Penulis utama kajian ini, Thomas Slater, peneliti di Pusat Pengamatan dan Pemodelan Kutub di Leeds University, mengatakan, ”Meskipun setiap wilayah yang kami pelajari kehilangan es, kehilangan lapisan es Antartika dan Greenland mengalami percepatan paling besar.”
Survei tersebut mencakup 215.000 gletser gunung yang tersebar di seluruh planet, lapisan es kutub di Greenland dan Antartika, lapisan es yang mengapung di sekitar Antartika, serta es laut yang melayang di Arktik dan Samudra Selatan. Selama periode survei, es Laut Arktik telah menyusut sebanyak 7,6 triliun ton dan lapisan es Antartika menyusut 6,5 triliun ton. Penelitian ini juga menghitung, lebih dari setengah atau 58 persen es yang hilang berasal dari belahan bumi utara, dan sisanya 42 persen berasal dari belahan bumi selatan.
Es Puncak Jaya
Gletser di pegunungan tropis termasuk yang paling cepat mengalami penyusutan, seperti terjadi pada lapisan es di Puncak Kilimanjaro, Tanzania, dan Puncak Quelccaya, Peru. Gletser tropis di Puncak Jaya, Papua, diperkirakan yang paling cepat lenyap.
Lapisan es atau gletser di Puncak Jaya setinggi 4.884 meter dari permukaan laut ini bisa lenyap dalam dua atau tiga tahun lagi. ”Dengan laju penyusutan seperti saat ini, es di puncak gunung tertinggi di Indonesia ini akan lenyap pada 2002 atau 2003, paling lama akan bertahan hingga 2026,” kata Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan Klimatologi dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Donaldi Sukma Permana.
Donaldi terlibat dalam kajian tentang penyusutan gletser di Puncak Jaya bersama sejumlah peneliti lain. Dari tahun 2002 hingga 2015, luasan gletser di Puncak Jaya telah berkurang 1,45 kilometer persegi atau sekitar 0,11 kilometer persegi per tahun. Pengukuran pada tahun 2018, luasan gletser ini tinggal 0,46 kilometer persegi.
Dengan laju penyusutan seperti saat ini, es di puncak gunung tertinggi di Indonesia ini akan lenyap pada 2002 atau 2003, paling lama akan bertahan hingga 2026.
Selain luasan, ketebalan es juga terus menyusut dengan cepat. Saat pengukuran pada 3 November 2015, tebal lapisan es menipis hingga 5 meter dengan kecepatan sekitar 1,05 meter per tahun sejak 2010. Pengukuran berikutnya pada tanggal 31 Mei 2016, terjadi penipisan es sebesar 4,26 meter hanya dalam waktu enam bulan.
Menurut Donaldi, penyusutan sangat masif pada tahun 2015-2016 itu disebabkan pada periode tersebut terjadi El Nino kuat. Pengukuran terakhir pada tanggal 23 November 2016, setelah El Nino melemah, terjadi penyusutan 1,43 meter dari penipisan es sejak Mei 2016. Ini mengonfirmasi bahwa penipisan es tahunan telah melambat setelah berakhirnya El Nino.
Baca juga : Gletser Asia Penyuplai Air Penting bagi Penduduk
”Namun, secara rata-rata penyusutannya 2,7 kali lebih besar dari tingkat rata-rata dari tahun 2010 hingga 2015. Kalau tahun-tahun ke depan ada El Nino lagi, penyusutan bakal lebih cepat lagi,” katanya.
Ancaman kehidupan
Menurut kajian para peneliti dari Leeds University, setengah dari semua penyusutan es dalam kurun 23 tahun terakhir di Bumi terjadi di darat, termasuk 6,1 triliun ton dari gletser gunung, 3,8 triliun ton dari lapisan es Greenland, dan 2,5 triliun ton dari lapisan es Antartika.
Pelelehan es ini telah berkontribusi menaikkan permukaan laut global, selain juga faktor mengembangnya air akibat pemanasan.
Data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), permukaan laut global telah meningkat selama seabad terakhir, dengan laju meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Misalnya, pada tahun 2014, permukaan laut global adalah 6,6 cm di atas rata-rata 1993. Permukaan laut terus naik dengan kecepatan sekitar 0,3 cm per tahun.
Padahal, diperkirakan bahwa untuk setiap sentimeter kenaikan permukaan laut, sekitar satu juta orang terancam kehilangan tempat tinggalnya di dataran rendah. Tak hanya itu, permukaan laut yang lebih tinggi berarti bahwa gelombang badai yang mematikan dan merusak bakal mencapai lebih jauh ke daratan daripada sebelumnya, yang juga berarti lebih sering terjadi banjir.
Inès Otosaka, peneliti dari Leeds University, mengatakan, selain berkontribusi terhadap kenaikan rata-rata permukaan laut secara global, melelehnya gletser di gunung juga mengganggu cadangan sumber air tawar masyarakat lokal. ”Menyusutnya gletser di seluruh dunia menjadi sangat penting, baik pada skala lokal maupun global,” katanya.
Meskipun hanya menyimpan 1 persen dari total volume es Bumi, gletser telah berkontribusi pada hampir seperempat dari kehilangan es global selama periode penelitian, dengan semua wilayah gletser di seluruh dunia kehilangan es.
Isobel Lawrence, juga dari Leeds University, mengatakan, hilangnya gletser di berbagai belahan dunia ini tidak hanya berkontribusi langsung pada kenaikan permukaan laut, tetapi juga bakal makin mempercepat pemanasan global. ”Salah satu peran kunci es laut Arktik adalah memantulkan kembali radiasi matahari ke luar angkasa yang membantu menjaga Kutub Utara tetap dingin,” katanya.
Saat es laut menyusut, lebih banyak energi matahari diserap oleh lautan dan atmosfer, menyebabkan Kutub Utara memanas lebih cepat daripada di tempat lain di planet ini. ”Ini tidak hanya mempercepat pencairan es laut, tetapi juga memperburuk pencairan gletser dan lapisan es yang menyebabkan permukaan laut naik lebih cepat,” ujar Lawrence.
Jadi, pencairan es di berbagai belahan Bumi ini ibarat longsoran bola salju yang bakal menggelinding dengan berbagai dampak ikutan. Studi terpisah oleh Michael Wood dari University of California Irvine di jurnal Science Advance pada 1 Januari 2021 menjelaskan bagaimana pemanasan air di pesisir berdampak pada percepatan menyusutnya gletser Greenland.
Selama lima tahun terakhir, para ilmuwan dengan misi NASA’s Oceans Melting Greenland (OMG) telah mempelajari penyusutan es di Greenland dari udara dan dengan kapal. Mereka menemukan bahwa dari 226 gletser yang disurvei, 74 gletser menyumbang hampir setengah dari total kehilangan es dari Greenland antara tahun 1992 dan 2017.
Lautan es dan massa glasial, yang terbentuk dari pencairan gletser, merupakan salah satu indikator utama perubahan iklim, selain meningkatnya suhu atmosfer dan lautan. Ketiga faktor ini juga saling terkait.
Laporan dari Pusat Penelitian Atmosfer Nasional (NCAR) yang dirilis Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada 29 Januari 2021 menyebutkan, suhu lautan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2020.
Hasil analisis baru, yang diterbitkan dalam jurnal Advances in Atmospheric Science ini, lebih lanjut menggambarkan bagaimana Bumi memanas, di mana lebih dari 90 persen panas tambahan akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia diserap oleh lautan.
Dengan terus melajunya emisi karbon, yang berarti meningkatkan laju pemanasan global, lapisan es di daratan akan menghilang, laut memanas, dan permukaannya meninggi. Bukan hanya menyempitkan ruang hidup, kondisi ini juga telah memengaruhi seluruh sistem iklim dan cuaca di Bumi.
Hujan ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti telah kita saksikan akhir-akhir ini sehingga memicu banjir besar di Kalimantan Selatan pertengahan Januari 2021 dan juga di Jakarta pada awal 2020, merupakan bagian dari perubahan cuaca itu. Dan perubahan ini jelas karena ulah kita sendiri yang telah merusak keseimbangan siklus alam.