Paradigma Masyarakat Jadi Kendala Program Kampung Iklim
Pembentukan proklim di sejumlah wilayah terkendala respons di masyarakat. Hasil yang tak langsung dari implementasi kampung iklim membuat upaya adaptasi dan mitigasi terkendala.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program Kampung Iklim sebagai salah satu upaya adaptasi perubahan iklim di tingkat tapak masih menemui kendala, seperti adanya pro-kontra di masyarakat. Banyak masyarakat enggan melakukan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim maupun kegiatan lingkungan lain karena hasilnya tidak bisa dirasakan secara langsung.
Penggerak Program Kampung Iklim (Proklim) Lestari Ngadirejo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Suryono Arief mengemukakan, paradigma masyarakat tersebut menjadi salah satu alasan pembentukan Proklim di sejumlah wilayah belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan, masyarakat kerap berkomentar negatif sehingga menurunkan semangat dari pengurus kegiatan Proklim.
”Hasil dalam melakukan kegiatan Proklim memang tidak bisa langsung didapat sehingga memunculkan komentar negatif. Permasalahan lainnnya adalah kejenuhan di masyarakat. Ini menjadi tantangan bagaimana kami menjaga semangat masyarakat untuk selalu berinovasi,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Siap Kampung Iklim 2021”, Rabu (24/3/2021).
Pemerintah telah berkomitmen untuk menggerakkan seluruh potensi masyarakat dalam mengendalikan perubahan iklim melalui Proklim dengan target 20.000 desa pada 2024.
Menurut Arief, pengurus Proklim di setiap wilayah memiliki tugas untuk mengubah pola pikir dan pengetahuan masyarakat dalam aksi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Sebab, seluruh kegiatan Proklim baru dapat berjalan optimal jika pola pikir masyarakat untuk senantiasa menjaga dan mengubah lingkungan telah terbangun.
Dalam melakukan aksi adaptasi perubahan iklim, Proklim Lestari Ngadirejo melakukan kegiatan pemanenan air hujan untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi ataupun gagal panen. Mereka juga membuat peresapan air yang digunakan untuk sumber air tanah, wisata mangrove, dan menjaga hasil panen.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sri Tantri Arundhatu menyatakan, pemerintah telah berkomitmen untuk menggerakkan seluruh potensi masyarakat dalam mengendalikan perubahan iklim melalui Proklim dengan target 20.000 desa pada 2024. Komitmen tersebut juga telah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Climate Adaptation Summit 2021 pada akhir Januari lalu.
Dalam mencapai target pembentukan Proklim hingga 20.000 lokasi pada 2024, kata Tantri, perlu adanya sinergi antar-program di lingkup KLHK. Sinergi itu mencakup, antara lain, kegiatan perhutanan sosial, kalpataru, desa penyangga kawasan konservasi, masyarakat peduli api, desa rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penyuluh kehutanan, dan adipura.
Tantri menjelaskan, secara umum, Proklim dapat dibentuk jika sudah ada aksi lokal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada lokasi yang diusulkan dan dilaksanakan secara berkelanjutan selama lebih dari dua tahun. Selain itu, telah terbentuk juga kelembagaan kelompok masyarakat sebagai penggerak kegiatan dan berjalan secara aktif.
”Jika ingin berpartisipasi, yang harus dilakukan adalah perlu mengidentifikasi kerentanan dan risiko perubahan iklim terhadap wilayah yang ada di sekitar kita. Harus diidentifikasi juga sumber emisi gas rumah kaca di tempat kita berasal dari mana saja,” katanya.
Sementara komponen aksi Proklim di sektor adaptasi yang dapat dilakukan yakni peningkatan ketahanan pangan, pengendalian penyakit terkait iklim, serta pengendalian kekeringan, banjir, dan longsor.
Sementara kegiatan di sektor mitigasi, antara lain, pengelolaan sampah, penggunaan energi baru terbarukan, budidaya pertanian rendah emisi, mempertahankan tutupan vegetasi, dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.