Pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 masih berjalan lambat seiring keterbatasan persediaan vaksin. Padahal, percepatan vaksinasi mendesak dilakukan agar segera terbentuk kekebalan kelompok.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan pasokan masih menjadi kendala utama program vaksinasi Covid-19 di Indonesia sehingga pemberiannya diprioritaskan pada kelompok berisiko. Percepatan vaksinasi dengan target 1,5 juta suntikan per hari baru bisa dijalankan pertengahan tahun ini.
”Masalah kita pada keberadaaan vaksin yang terbatas. Sampai Maret-April 2021 hanya tersedia 10 jutaan dosis sehingga kita atur 300.000-an per hari. Sampai Juni 2021 hanya ada 80 jutaan vaksin (untuk 40 juta penduduk). Ini hanya 24 persen dari target cakupan 181 juta penduduk,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi daring yang diadakan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), di Jakarta, Minggu (14/3/2021).
Satuan Tugas Penanganan Covid-19, per 14 Maret 2021, mencatat, 4,02 juta penduduk menjalani vaksinasi dosis pertama dan 1,46 juta orang mendapat vaksin dosis kedua. Sementara kasus harian Covid-19 bertambah 4.714 orang sehingga total 1,41 juta kasus.
Budi menjelaskan, setelah tenaga kesehatan, prioritas vaksin saat ini masih untuk warga lanjut usia (lansia). Sebab, hampir 50 persen lanjut usia yang menderita Covid-19 membutuhkan perawatan rumah sakit. ”Kita punya 21,6 juta lansia yang harus selesai divaksinasi sampai Juni 2021. Kalau semua lancar, bulan Juli vaksin untuk umum akan mulai,” katanya.
Dengan keterbatasan ini, menurut Budi, masyarakat yang belum mendapat giliran diminta bersabar dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Pada semester kedua 2021, akselerasi atau percepatan vaksinasi baru bisa dilakukan dengan target 1,5 juta penduduk divaksinasi per hari.
Masalah kita pada vaksin yang terbatas. Sampai Maret-April 2021 hanya tersedia 10 jutaan dosis sehingga kita atur 300.000-an per hari.
Juru Bicara Vaksinasi dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, kelompok lansia yang diprioritaskan saat ini terutama yang berada di Daerah Khusus Ibu Kota dan ibu kota provinsi, yang dinilai memiliki sebaran kasus Covid-19 paling tinggi. Saat ini vaksinasi terhadap petugas pelayanan publik juga dilakukan dengan prioritas mereka yang lansia.
Untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi warga lansia, pemerintah bekerja sama dengan sejumlah organisasi. Nadia juga mengingatkan, mereka yang bisa menjalani vaksinasi harus melalui pendaftaran lebih dulu. ”Jangan asal datang bawa KTP saja, seperti beberapa hoaks (kabar bohong) yang beredar,” ujarnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menegaskan, kementeriannya berkomitmen mendukung program vaksinasi dalam hal logistik dan pengiriman. ”Kita sudah refocusing (memfokuskan ulang) anggaran untuk membantu vaksinasi ini. Untuk pengiriman butuh perhatian dan kualifikasi khusus, misalnya suhu tertentu,” ungkapnya.
Menurut pantauan Kompas, banyak warga lansia di DKI Jakarta belum mengikuti vaksinasi Covid-19. Sebagian warga lansia yang merupakan perantau belum menyadari pentingnya vaksinasi Covid-19 untuk melindungi mereka dari wabah ini.
Raharjo (78), warga RT 008 RW 004 Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat, misalnya, tak tahu cara mendaftar program vaksinasi itu. Ia menanti ada pihak yang mendatanginya dan menawarkan pendaftaran vaksinasi, tapi hal itu tak kunjung datang. ”Enggak pernah ada yang mendata. Mau datang ke puskesmas enggak sempat karena harus jagain kios (bensin) milik teman,” ujarnya.
Kesukaran Raharjo bertambah karena tak memiliki telepon genggam pintar dan alat bantu lain untuk mengakses tautan pendaftaran vaksinasi. Terlebih dia amat asing dengan dunia teknologi. ”Saya enggak punya handphone,” tuturnya.
Sejumlah tantangan
Siti Nadia mengatakan, hingga saat ini belum ada kasus serius terkait kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI). ”Angka KIPI yang efeknya berat 4,2 per 1.000 penyuntikan. Kebanyakan hanya nyeri, kemerahan, gatal-gatal. Tetapi, ada yang sistemik, seperti nyeri otot, demam, rasa lelah, mual, muntah, sakit kepala, rata-rata setelah satu hari, maksimum dua hari yang sistemik ini akan hilang,” tuturnya.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Juris Ikawati mengatakan, selain menjaga ketersediaan vaksin, infrastruktur distribusi dan penyimpanan, serta tenaga vaksinator, tingkat penerimaan masyarakat juga masih menjadi tantangan vaksinasi Covid-19 di Indonesia. ”Masih ada masyarakat yang ragu dengan manfaat vaksinasi, keamanan, hingga kehalalan,” ujarnya.
Menurut Juris, kita juga harus memperhitungkan kemungkinan ada penyuntikan vaksin secara berulang di masa depan. Hal ini karena kekebalan yang terbentuk terhadap Covid-19, melalui infeksi alami ataupun vaksin, kemungkinan bertahan sementara.
”Kekebalan alami setelah 60 hari mulai turun sehingga direkomendasikan agar penyintas Covid-19 bisa divaksinasi lagi setelah tiga bulan. Untuk vaksin sendiri belum ada data akurat berapa lama kekebalannya bertahan, tetapi harapannya bisa sampai satu tahun,” katanya.
Tantangan berikutnya dari vaksinasi meliputi kemunculan berbagai varian varu. Riset terbaru yang dipublikasikan di jurnal Cell pada 12 Maret 2021 menunjukkan, sejumlah varian baru SARS-CoV-2 mampu menghindari sistem kekebalan. Riset ini menambah panjang temuan serupa tentang penurunan efektifitas vaksin terhadap varian-varian baru virus penyebab Covid-19 ini.
Alejandro Balazs, penulis utama kajian ini dari Fakultas Kedokteran di Harvard Medical School, menyebutkan, antibodi penetral yang diinduksi vaksin Pfizer dan Moderna secara signifikan kurang efektif terhadap varian baru dari Brasil dan Jepang serta Afrika Selatan.
”Kami menemukan tiga galur baru yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan 20-40 kali lebih resisten terhadap netralisasi dan dua galur yang pertama kali ditemukan di Brasil dan Jepang lima hingga tujuh kali lebih resisten dibandingkan dengan virus SARS-CoV-2 versi awal,” ujarnya.
Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Universitas Padjadjaran Kusnandi Rusmil mengatakan, vaksin Covid-19 yang ada masih efektif mencegah mutasi virus yang ditemukan di Indonesia. Percepatan vaksinasi perlu lebih didorong agar kekebalan komunitas segera tercapai dan mengantisipasi potensi mutasi lain.
Vaksin Covid-19 buatan Sinovac yang uji klinis fase ketiga juga dilakukan di Indonesia memiliki efektivitas 65,3 persen. Angka ini sudah lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di atas 50 persen.
”Antibodi yang ditimbulkan dari vaksin ini bisa menurun. Diperkirakan, vaksinasi tambahan perlu diberikan lagi sekitar dua tahun mendatang. Masyarakat yang sudah divaksinasi pun harus tetap melakukan protokol kesehatan karena masih ada potensi terjadi penularan meski tingkat keparahannya lebih rendah,” ucap Kusnandi. (FRD/TAN)