Antisipasi Mutasi Virus SARS-CoV-2 Perlu Dioptimalkan
Mutasi virus SARS-CoV-2 yang semakin beragam perlu diantisipasi dengan baik. Selain mempercepat dan memperluas vaksinasi, deteksi lewat pemeriksaan genomik dan kepatuhan protokol kesehatan juga perlu ditingkatkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mutasi virus SARS-CoV-2 yang semakin beragam perlu diantisipasi dengan baik. Selain melalui capaian kekebalan komunitas dengan vaksinasi, deteksi lewat pemeriksaan genomik juga perlu diperkuat. Kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan juga tidak boleh mengendur.
Ernawati Arifin Giri-Rachman dari Kelompok Keahlian Genetika dan Bioteknologi Molekuler Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB) menuturkan, virus yang bermutasi merupakan hal yang wajar. Hal ini sebagai bentuk adaptasi dari virus agar tetap bisa bertahan hidup.
Berbagai dampak mutasi pun bisa terjadi. ”Mutasi ada yang tidak menyebabkan perubahan pada molekul yang dibentuk sehingga tidak ada pengaruhnya. Ada juga mutasi yang hanya terjadi perubahan kecil. Namun, mutasi yang perlu diwaspadai ialah mutasi yang menyebabkan pengaruh terhadap kerja virus, seperti lebih mudah menularkan ataupun lebih mematikan,” ujarnya dalam seminar virtual bertajuk ”Memahami Covid-19 dan Mutasi Virus” di Jakarta, Sabtu (13/3/2021).
Terkait dengan adanya mutasi virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19, Ernawati menyampaikan, penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan. Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan mutasi dari virus tersebut lebih ganas dan lebih parah. Meski begitu, mutasi B.1.1.7 yang pertama kali ditemukan di Inggris terdeteksi lebih mudah menular.
Mutasi virus tersebut saat ini juga sudah terdeteksi di Indonesia. Setidaknya sudah ada enam kasus yang ditemukan dengan mutasi virus B.1.1.7, antara lain di Palembang, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Karawang, dan Balikpapan. Mutasi ini tidak cukup dideteksi melalui pemeriksaan PCR, tetapi harus dilakukan surveilans sekuens genomik.
”Untuk menyikapi adanya mutasi ini, hal yang pasti harus kita lakukan ialah memperkuat sistem imun tubuh. Selain dengan vaksinasi, upaya 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan, serta mencuci tangan) harus terus dilakukan. Setidaknya cara ini dapat mereduksi jumlah virus yang masuk ke tubuh,” kata Ernawati.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad), yang juga Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Unpad, Kusnandi Rusmil mengatakan, vaksin Covid-19 yang sekarang tersedia masih efektif untuk mencegah mutasi virus yang ditemukan di Indonesia. Namun, percepatan vaksinasi perlu lebih didorong agar kekebalan komunitas (herd immunity) dari masyarakat Indonesia bisa segera tercapai. Itu diperlukan salah satunya untuk mengejar ada potensi mutasi lainnya.
Ia menambahkan, vaksinasi Covid-19 buatan Sinovac yang uji klinis fase ketiga juga dilakukan di Indonesia memiliki efektivitas 65,3 persen. Angka ini sudah lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di atas 50 persen.
”Antibodi yang ditimbulkan dari vaksin ini bisa menurun. Diperkirakan, vaksinasi tambahan perlu diberikan lagi sekitar dua tahun mendatang. Masyarakat yang sudah divaksinasi pun harus tetap melakukan protokol kesehatan karena masih ada potensi terjadi penularan meski tingkat keparahannya lebih rendah,” ucap Kusnandi.
Mutasi yang perlu diwaspadai ialah mutasi yang menyebabkan pengaruh terhadap kerja virus, seperti lebih mudah menularkan ataupun lebih mematikan.
Laporan Kementerian Kesehatan per 13 Maret 2021, sebanyak 3.985.596 orang sudah mendapatkan vaksinasi untuk dosis pertama. Itu terdiri dari 1,4 juta petugas kesehatan, 1,9 juta petugas publik, dan 625.665 orang lanjut usia. Sementara total penduduk yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis kedua sebanyak 1,4 juta orang dengan 1,1 juta di antaranya petugas kesehatan, 278.954 petugas publik, dan 4.497 lansia.