Tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan inovasi untuk memperkuat sistem peringatan dini tsunami. Setidaknya ada empat teknologi pendukung sistem tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Upaya mitigasi bencana gempa dan tsunami di Indonesia belum optimal meski teknologi sistem peringatan dini gempa dan tsunami sudah diterapkan sejak 2008. Untuk itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menyempurnakan sistem peringatan dini gempa dan tsunami dengan empat teknologi pendukung.
Sistem peringatan dini tsunami atau Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) mulai dikembangkan di Indonesia setelah kejadian tsunami besar Aceh pada 26 Desember 2004. Setelah kejadian itu, beberapa tsunami menerjang Indonesia dan menelan banyak korban jiwa, seperti tsunami Kepulauan Mentawai (2010), Palu (2018), dan Selat Sunda (2018).
Berdasarkan data kejadian tsunami tahun 1674-2018 dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), selama periode itu Indonesia tercatat mengalami 99 kali tsunami dalam berbagai intensitas dengan 54 kali di antaranya bersifat destruktif. Jumlah itu termasuk tsunami yang diakibatkan erupsi gunung api sebanyak sembilan kali dan longsoran yakni tiga kali.
Sementara menurut peta bahaya gempa nasional BMKG, Indonesia memiliki enam zona subduksi dari utara Papua hingga Sulawesi dan barat Sumatera hingga selatan Jawa sampai Nusa Tenggara. Dari enam zona subduksi itu juga terdapat 13 segmentasi megathrust dan 295 segmen sesar aktif yang masih belum dapat diprediksi waktu kejadiannya.
Ancaman gempa dan tsunami yang masih terus membayangi Indonesia membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami. Dalam perpres tersebut, upaya penguatan dan pengembangan sistem dilakukan melalui pembangunan peralatan, pemeliharaan, hingga penerapan inovasi teknologi.
Direktur Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Muhammad Ilyas, Kamis (4/3/2021), menyampaikan, perpres tersebut menugasi BPPT untuk membangun sistem pendeteksi gempa dan tsunami, khususnya dari laut dalam. Ina-TEWS yang mulai dibangun sejak 2005 disempurnakan dengan mengembangkan teknologi buoy (pelampung), kabel bawah laut, tomografi, dan sistem observasi tsunami berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Teknologi deteksi tsunami berbasis buoy dikenal dengan nama Ina-Buoy (Indonesian Buoy) dan dikembangkan BPPT sejak 2010. Ina-Buoy tidak langsung mendeteksi gelombang tsunami, tetapi sebagai alat penerima data dari unit dasar laut (ocean bottom unit/OBU) dan mentransmisikan data tersebut melalui satelit ke pusat pemantau tsunami read down station (RDS) yang berada di Gedung BPPT di Jakarta.
Pada sistem terbaru BUOY G-3.1 ini, Ina-buoy dilengkapi dengan pelacak posisi berbasis argos system atau sistem yang terhubung dengan satelit untuk melacak pergerakan jika terbawa arus atau sengaja diambil pihak tertentu. Selain itu, kamera pengawas dipasang untuk menangkap obyek yang mendekati alat ini dan mengirimkannya ke RDS.
Menurut Ilyas, sistem pelacak posisi dan kamera pengawas disematkan pada Ina-Buoy karena BPPT kerap kehilangan alat ini. ”Pada 2021 ini ada kehilangan dua buoy di selatan Bali dan selatan Malang dan kami akan menempatkan lagi di lokasi yang sama. Kami perlu dukungan dari pemerintah daerah untuk menyosialisasikan bahwa buoy perlu dijaga bersama karena alat ini menjadi obyek vital nasional,” katanya.
Keunggulan lain BUOY G-3.1 adalah berbentuk stream line atau aerodinamis dan lebih kecil serta menggunakan bahan eva foam tanpa pori sehingga mengurangi kerusakan karena benturan. Di sisi lain, daya tahan baterai dalam generasi terbaru ini juga dioptimalkan karena dihilangkannya fitur solar panel yang menjadi daya tarik perusak buoy.
Kami perlu dukungan dari pemerintah daerah untuk menyosialisasikan bahwa buoy perlu dijaga bersama karena alat ini menjadi obyek vital nasional.
Berdasarkan rencana pengembangan dan operasional Ina-Buoy tahun 2020-2024, buoy akan ditempatkan di 13 perairan, yaitu Gunung Sitoli atau Pulau Nias, Bengkulu, Gunung Anak Krakatau, Selat Sunda, Cilacap, Malang, Denpasar, Ambon, Gorontalo, Talaut, Kupang, Sorong, dan Jayapura. Tahun ini, BPPT akan menempatkan Ina-Buoy di tujuh lokasi perairan, yakni Bali, Malang, Cilacap, Selat Sunda, Gunung Anak Krakatau, Bengkulu, dan Pulau Nias.
Teknologi lain
Teknologi selanjutnya yang dikembangkan adalah Indonesia Cable-Based Tsunamimeter (Ina-CBT) atau sistem deteksi tsunami berbasis kabel bawah laut. Ina-CBT yang dikembangkan BPPT ini baru bisa mengukur perbedaan tekanan air hingga kecil di bawah permukaan laut. Kombinasi buoy dan CBT bisa mendeteksi tsunami yang terjadi di jarak jauh dan dekat dengan pesisir.
Hingga 2024, Ina-CBT ditargetkan bisa dioperasionalkan di tujuh lokasi perairan, yaitu Pulau Sipura (Sumatera Barat), Gunung Anak Krakatau, Labuan Bajo (NTT), Rokatenda (NTT), Selat Makassar, Banda Naira (Maluku), dan Sulawesi Utara.
Teknologi lain yang telah dikembangkan adalah IndonesiaCoastel Acoustic Tomography (Ina-CAT). Ina-CAT merupakan sistem deteksi tsunami dan arus laut berbasis teknologi akustik tomografi pantai. Teknologi ini berfungsi mendeteksi tsunami pada transmisi rambatan gelombang suara yang nantinya dapat diterima oleh pasangan stasiun akustik.
Stasiun di BPPT kemudian akan menerima sinyal yang telah diproses secara telemeteri oleh Ina-CAT tersebut. Sinyal yang telah diterima dan diproses akan memberikan informasi kedatangan tsunami. Saat ini, sistem Ina-CAT telah dipasang di tiga lokasi, yakni di Selat Lombok (Nusa Tenggara), Teluk Palu (Sulawesi), dan Selat Sunda (Jawa).
Selain ketiga sistem tersebut, BPPT mengembangkan pusat observasi tsunami yang disebut Ina-TOC. Sistem ini akan digunakan untuk mengembangkan model tsunami dan analisis data berupa waktu tempuh, lokasi, dan ketinggian gelombang. Pemrosesan dalam Ina-TOC didukung oleh maha data, komputasi awan, dan kecerdasan buatan.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia Harkunti Pertiwi menyatakan, sistem peringatan dini tsunami yang dibangun di tingkat hulu dapat berjalan efektif jika direspons masyarakat dengan waktu tepat sebelum tsunami tiba. Sebab, keterlambatan warga dalam merespons tsunami, meski hanya 1 menit, dapat berdampak pada jatuhnya korban jiwa.
”Sering kali tantangan setiap mengadakan tsunami drill (latihan kesiapsiagaan menghadapi tsunami) itu dapat diikuti dengan baik oleh masyarakat dalam menjalankan evakuasi sesuai standar operasional prosedur. Namun, begitu terjadi tsunami, warga langsung panik dan melupakan semua pelatihan. Jadi, informasi yang dibangun perlu diterima dengan baik oleh masyarakat,” katanya.