Vaksin Kurang Efektif terhadap Varian Afrika Selatan dan Brasil
SARS-CoV-2 terus bermutasi dan memunculkan sejumlah varian baru yang lebih menular. Bahkan, dua varian baru virus penyebab Covid-19 itu mampu menghindari antibodi yang terbentuk dari infeksi maupun obat atau vaksin.
JAKARTA, KOMPAS — Dua dari tiga varian baru SARS-CoV-2 yang lebih menular dapat menghindari antibodi, baik yang terbentuk secara alami dari infeksi maupun dari obat dan vaksin. Dua varian yang dapat menghindari antibodi tersebut adalah varian baru dari Afrika Selatan dan Brasil.
Temuan tentang kemampuan varian baru SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, yang dapat menghindari antibodi ini dilakukan oleh para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St Louis. Kajian berbasis percobaan di laboratorium diterbitkan di jurnal Nature Medicine pada 4 Maret 2021.
Dengan temuan ini, obat dan vaksin Covid-19 yang dikembangkan sejauh ini bakal kurang efektif jika varian baru menjadi dominan. ”Kami khawatir bahwa orang-orang yang diharapkan memiliki tingkat perlindungan antibodi karena telah terjangkit Covid-19 atau telah divaksinasi mungkin tidak terlindungi dari varian baru,” kata penulis kajian ini, Michael S Diamond, yang juga profesor kedokteran di Herbert S Gasser, dalam keterangan tertulis, Senin (8/3/2021).
Baca juga: Sebanyak 1,1 Juta Vaksin Multilateral AstraZeneca Tiba di Tanah Air
Virus yang menyebabkan Covid-19 ini diketahui menggunakan protein spike atau ”paku” untuk menempel dan masuk ke dalam sel. Orang yang pernah terinfeksi SARS-CoV-2 umumnya menghasilkan antibodi protektif terhadap lonjakan protein ini.
Kami khawatir orang-orang yang diharapkan memiliki tingkat perlindungan antibodi karena telah terjangkit Covid-19 atau telah divaksinasi mungkin tidak terlindungi dari varian baru.
Protein spike juga menjadi target utama para pengembang obat dan vaksin Covid-19, misalnya vaksin Pfizer/BioNTech, Moderna, dan Johnson & Johnson. Antibodi antiprotein paku ini juga dipilih untuk dikembangkan menjadi obat berbasis antibodi melawan Covid-19.
Akan tetapi, tiga varian baru yang saat ini menyebar luas telah mengalami mutasi pada gen paku mereka. Ketiga varian baru tersebut adalah B.1.1.7 dari Inggris, B.1.135 dari Afrika Selatan, dan B.1.1.248, juga dikenal sebagai P.1 dari Brasil.
Untuk menilai apakah varian baru dapat menghindari antibodi yang dibuat untuk bentuk asli virus, Diamond dan rekan menguji kemampuan antibodi untuk menetralkan tiga varian virus di laboratorium.
Para peneliti menguji varian terhadap antibodi dalam darah orang yang telah pulih dari infeksi SARS-CoV-2 atau divaksinasi dengan vaksin Pfizer. Mereka juga menguji antibodi dalam darah tikus, hamster, dan monyet yang telah divaksinasi dengan vaksin Covid-19 sebagai pembanding.
Baca juga: Mutasi Virus Menjadi Tantangan Vaksinasi Covid-19
Hasilnya, varian B.1.1.7 dapat dinetralkan dengan tingkat antibodi yang sama seperti yang diperlukan untuk menetralkan virus asli. Namun, dua varian lainnya membutuhkan 3,5 hingga 10 kali lebih banyak antibodi untuk netralisasi. Ketika para peneliti menguji varian virus baru terhadap panel antibodi monoklonal, yaitu antibodi yang dipicu obat atau vaksin, hasilnya berkisar dari efektif hingga sama sekali tidak efektif.
Diamond, yang juga profesor mikrobiologi molekuler, patologi, dan imunologi, mengatakan, antibodi bukan satu-satunya ukuran perlindungan. ”Itu akan ditentukan seiring waktu, secara epidemiologis, seperti yang kita lihat apa yang terjadi saat varian ini menyebar. Akankah kita lihat apa akan terjadi infeksi ulang atau vaksin kehilangan kemanjuran hingga resistensi obat,” katanya.
Kajian terpisah oleh ahli virologi dari University of São Paulo, William M de Souza, yang diunggah di The Lancet pada 1 Maret 2021 juga menunjukkan, varian P.1 mampu menyiasati antibodi penetral yang dihasilkan dari rangsangan dari luar. Disebutkan, kapasitas penetralan dari plasma konvalesen berkurang enam kali lipat saat menghadapi varian P.1 dalam proses eksperimen.
Selain itu, yang patut jadi perhatian di Indonesia dalam percobaan Souza, plasma dari individu yang mendapat vaksin CoronaVac dari Sinovac gagal menetralkan isolat garis keturunan P.1 secara efisien. Meski demikian, perlu kajian untuk melihat dampak varian ini pada subyek yang telah divaksin.
Varian baru di Indonesia
Hingga saat ini, Indonesia belum melaporkan ada varian baru P.1 di Indonesia. Namun, data terbaru di GISAID, bank data genom virus, menunjukkan, sudah ditemukan enam sampel dengan varian B.1.1.7 di Indonesia. Tiga sampel berasal dari Jakarta, sisanya masing-masing satu sampel didapatkan dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Data GISAID menyebutkan, varian B.1.1.7 dari Sumatera Selatan diambil pada 5 Januari 2021 dari sampel pasien perempuan berumur 44 tahun, sampel dari Kalimantan Selatan diambil 6 Januari 2021 dari pasien perempuan berumur 46 tahun, dan sampel dari Sumatera Utara pada 28 Januari 2021 dari pasien lelaki berumur 60 tahun.
Adapun sampel dari Jakarta yang mengandung B.1.1.7 diambil pada 4 Februari 2021 dari pasien perempuan 40 tahun, 7 Februari 2001 dari pasien perempuan 46 tahun, dan 12 Februari 2021 dari pasien lelaki 48 tahun.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, penemuan varian baru B.1.1.7 ini dilakukan oleh tim Litbang Kementerian Kesehatan. ”Sampai saat ini Litbangkes sudah melaporkan enam kasus B.1.1.7, bertambah empat orang,” kata Amin.
Sebelumnya, dua sampel pertama yang mengandung B.1.1.7 baru diumumkan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono dalam diskusi ”1 Tahun Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi-Badan Riset dan Inovasi Nasional (Ristek/BRIN), di Jakarta, Selasa (2/3). Sampel ini didapatkan dari tenaga kerja Indonesia yang baru pulang dari Arab Saudi pada Januari 2021.
Amin menyatakan belum mengetahui apakah tambahan empat sampel ini didapatkan dari orang-orang pelaku perjalanan dari luar negeri yang dikarantina atau hasil pelacakan di komunitas. ”Untuk info rincinya di Litbangkes,” ucapnya.
Akan tetapi, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Slamet Basir yang dihubungi tidak memberikan respons. Sementara Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Dan Pelayanan Kesehatan Muhammad Karyana meminta agar informasi ini ditanyakan kepada Slamet.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota Konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, mengharapakan masyarakat mendapatkan informasi yang transparan tentang penyebaran varian baru ini guna meningkatkan kewaspadaan. ”Kalau dilihat data pengambilan sampelnya, B.1.1.7 sudah masuk sejak Januari 2021. Semoga semua sampel diambil dari orang yang baru datang dari luar negeri dan sudah dikarantina sehingga belum menyebar di komunitas,” katanya.
Riza menambahkan, sekalipun Indonesia belum melaporkan ada varian dari Afrika Selatan dan Brasil, kita perlu lebih waspada mengingat varian-varian ini sudah dilaporkan di negara tetangga dan memicu peningkatan kasus.
Dalam beberapa pekan terakhir, Kementerian Kesehatan Filipina telah melaporkan rata-rata 2.000 infeksi baru tiap hari di seluruh Filipina. Namun, pada Minggu (7/4) dilaporkan 3.276 kasus Covid-19 baru atau ada lonjakan kasus 1.000 yang diduga terkait dengan kemunculan varian baru dari Inggris dan Afrika Selatan.
Pekan sebelumnya, Kementerian Kesehatan melaporkan lebih dari 70 infeksi di Metro Manila yang dipicu oleh varian B.1.1.7 dan B.1.135. Varian dari Inggris ini telah dilaporkan pertama kali di Filipina sejak awal Januari 2021, sedangkan B.1.135 dilaporkan pertama kali pada 2 Maret 2021.