Kekebalan Kelompok Belum Pasti, Tuntaskan Vaksinasi bagi Lanjut Usia
Warga lanjut usia amat rentan tertular Covid-19. Karena itu, vaksinasi bagi warga lansia mesti segera dituntaskan demi menekan tingkat keparahan dan kematian akibat penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity) melalui vaksinasi Covid-19 tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Namun, vaksin bisa menekan tingkat keparahan dan kematian jika pemerintah memprioritaskan penyuntikan kepada kelompok lanjut usia.
”Herd immunity tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat. Tidak mungkin dalam setahun kita bisa menyuntikkan 170 juta vaksin,” kata epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Ikatan Alumni (Iluni) UI, Rabu (3/3/2021), di Jakarta.
”Selain itu, vaksin belum terbukti mencegah penularan, tetapi yang sudah terbukti mencegah keparahan dan kematian. Saat ini, fokus kita kendalikan pandemi dulu, jangan dulu berpikir herd immunity,” ungkapnya.
Pandu memaparkan, dalam mengendalikan pandemi, ada konsep angka reproduktif (R0), yaitu berapa banyak rata-rata orang yang menularkan virus. ”Pada awal pandemi, R0 kita 2 lebih. Dengan adanya PSBB (pembatasan sosial berskala besar), kita sudah mencapai 1. Namun, karena buru-buru dilonggarkan, akhirnya naik lagi,” ujarnya.
Untuk menekan angka reproduktif tersebut, lanjut Pandu, masyarakat mesti mematuhi protokol kesehatan dan mengurangi mobilitas. Sementara pemerintah bertugas memperkuat tes, pelacakan, dan isolasi serta perawatan. Adapun vaksin akan membantu menekan tingkat keparahan dan kematian.
Dengan pertimbangan ini, setelah menyelesaikan penyuntikan vaksin kepada tenaga kesehatan, pemerintah seharusnya fokus memberikan vaksinasi kepada kelompok lanjut usia (lansia). ”Kenapa lansia? Karena lebih dari 50 persen yang meninggal adalah lansia. Karena stok vaksin terbatas, jangan sampai ada yang memotong jatah lansia ini,” tuturnya.
Lebih dari 50 persen yang meninggal adalah lansia. Karena stok vaksin terbatas, jangan sampai ada yang memotong jatah lansia ini.
Kelompok pelayan publik yang saat ini mendapat vaksin juga harus dimulai dari lansia, bisa dimulai dari kelompok usia 50 tahun ke atas. ”Jangan sampai ada yang memotong antrean lagi, seperti keluarga DPR, sampai pembantu dan sopirnya. Walaupun alasannya jumlahnya tidak banyak, ini tidak punya etika. Kalau di luar negeri, ini menjadi skandal besar,” katanya.
Pandu juga mengingatkan, jangan dulu berpikir memberikan vaksin untuk meningkatkan aktivitas ekonomi, misalnya dengan memberikannya kepada pelaku wisata. Kalaupun kepada pedagang atau pelaku wisata, pemberiannya tetap berdasarkan kriteria kelompok usia rentan dan daerah dengan risiko penularan dianggap sangat tinggi, bukan berdasarkan aktivitasnya saja.
Direktur Utama Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) Astuti Giantini menambahkan, lansia merupakan kelompok yang sangat rentan jika terpapar Covid-19. ”Beberapa hari lalu kami menerima pasien usia 80 tahunan, baru empat hari dirawat meninggal. Memang sangat penting lansia (mendapatkan) prioritas vaksin,” ujarnya.
Astuti mengatakan, RSUI telah memberikan vaksin untuk lebih dari 1.000 tenaga kesehatan. Distribusi penerima vaksin di RSUI total 1.663 orang untuk tahap pertama dan tahap kedua sebanyak 703 orang. Awal bulan ini, RSUI memulai program vaksinasi lansia dengan jatah untuk tahap pertama sebanyak 1.813 dosis vaksin.
Vaksin gotong royong
Pandu menegaskan, rencana penerapan vaksin mandiri menyalahi prinsip keadilan dan epidemiologi. ”Secara konstitusi vaksin ini tanggung jawab negara dan merupakan barang publik dan harus diberikan secara adil. Jangan dibedakan, vaksin pemerintah dan swasta. Ini pembedaan, ini menciptakan ketidakadilan,” ungkapnya.
Jika swasta mau membantu program vaksinasi, bukan berarti dengan membayar sendiri untuk karyawan dan keluarganya. ”Itu egois, bukan gotong royong. Kalau mau dukung, bantu melakukan vaksinasi kepada seluruh rakyat Indonesia berdasarkan prioritas wilayah, umur, dan pekerjaan tertentu, secepat-cepatnya. Prinsipnya, semua harus divaksinasi, tapi gilirannya sesuai prioritas kesehatan,” ujarnya.
Ketua Policy Center Iluni UI M Jibriel Avessina mengingatkan pemerintah agar vaksinasi gotong royong tidak mengganggu jalannya vaksinasi program. Menurut dia, pemerintah harus tetap mendahulukan prioritas yang ditetapkan dalam vaksinasi program.
Menurut Jibriel, dalam peraturan tertulis tentang vaksinasi gotong royong tidak tercantum vaksin ini ditujukan untuk giliran keberapa. Untuk itu, dia melihat perlunya pengawalan dalam pelaksanaan program vaksinasi gotong royog agar tidak mengganggu prioritas.
”Vaksinasi gotong royong harus diberikan giliran terakhir dalam pelaksanaan vaksinasi, setelah pelaksanaan sektor-sektor prioritas dalam vaksinasi program selesai. Setelah nakes, lansia, tenaga pelayanan publik, dan prioritas rentan sosial ekonomi. Baru setelah itu mungkin kita bisa dorong vaksinasi gotong royong dilakukan,” kata Jibriel.