Tingkatkan Resiliensi Bencana di Sektor Pariwisata
Pengembangan potensi pariwisata perlu diikuti peningkatan resiliensinya terhadap berbagai risiko bencana. Kegagalan pada mitigasinya bisa berdampak pada sosial dan ekonomi kehidupan masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi Indonesia yang berada di daerah rawan bencana harus menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, termasuk saat melakukan pengembangan potensi pariwisata. Pengembangan pariwisata agar benar-benar memperhatikan aspek adaptasi untuk meningkatkan resiliensi atau ketangguhan mengantisipasi bencana mengingat saat ini banyak pembangunan destinasi wisata di daerah rawan bencana.
Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan menyampaikan, pariwisata merupakan salah satu sektor sumber devisa bagi Indonesia dan nantinya dapat menyerap banyak tenaga kerja. Namun, sejumlah daerah yang berkembang menjadi destinasi wisata merupakan daerah rawan bencana dan belum ada resiliensi dengan baik.
”Pemerintah telah membuat beberapa destinasi wisata premium, tetapi jika boleh jujur, beberapa di antaranya ada di daerah memiliki risiko tinggi terhadap bencana,” ujarnya dalam Forum Prospek Ketahanan Bencana 2021: Pariwisata Indonesia ”Saatnya Menjadi Tangguh” yang diselenggarakan secara daring, Rabu (17/2/2021).
Ketidakmampuan kita mengelola bencana itu berimbas pada masalah pembangunan. Kita masih belum terlalu banyak memasukkan aspek kebencanaan dalam perencanaan kita. (Lilik Kurniawan)
Lilik menjelaskan, pengembangan pariwisata harus memiliki kemampuan untuk antisipasi bencana dan memetakan daerah mana saja yang rawan bencana. Selain kemampuan antisipasi, perlu juga pengetahuan tentang cara menghindari bencana saat mengembangkan pariwisata di daerah rawan bencana.
”Adaptasi dari dampak yang ditimbulkan perlu dilakukan dengan menyiapkan di mana jalur evakuasi, tempat evakuasi, dan rambu-rambu. Masalah bahasa dan informasi juga menjadi suatu hal yang penting untuk adaptasi karena wisatawan bukan hanya orang lokal, tetapi mungkin juga dari mancanegara,” katanya.
BNPB mencatat, dari 2.921 kejadian bencana sepanjang 2020, hanya 23 kejadian yang masuk ke kategori bencana alam. Sementara kejadian terbanyak merupakan bencana hidrometeorologi, seperti kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, banjir, tanah longsor, puting beliung, gelombang pasang, dan abrasi.
Selain itu, pada 2020, seluruh dunia tak terkecuali Indonesia juga mengalami bencana non-alam, yakni pandemi Covid-19. Namun, dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 jauh lebih besar dan lama dibandingkan dengan bencana alam.
”Hal ini membuat kita sadar bahwa ancaman bencana di Indonesia bukan hanya alam, melainkan juga ada masalah yang terkait dengan kesehatan. Inilah yang kemudian harus kita sikapi dengan bijaksana karena resiliensi kita terkait dengan pelayanan kesehatan masih belum siap. Ini merupakan fakta yang harus dijadikan pijakan ke depan,” tuturnya.
Perbaikan lingkungan
Menurut Lilik, BNPB bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah membahas upaya resiliensi bencana terkait dengan lingkungan hidup. Sebab, lingkungan yang rusak akan semakin meningkatkan potensi bencana. Pembahasan tersebut menyimpulkan, nantinya akan disusun suatu mekanisme untuk perbaikan lingkungan untuk mengurangi potensi bencana yang disebabkan kerusakan alam.
”Ketidakmampuan kita mengelola bencana itu berimbas pada masalah pembangunan. Kita masih belum terlalu banyak memasukkan aspek kebencanaan dalam perencanaan kita. Apa yang kita rencanakan ternyata juga kurang mampu menghadapi Covid-19,” katanya.
Dewan Penasihat Aliansi Asia Pasifik untuk Manajemen Bencana (APAD) Indonesia Heru Prasetyo mengatakan, resiliensi terhadap bencana perlu dilakukan dengan cara memahami bahwa dunia selalu menunjukkan perubahan. Oleh karena itu, penting menerapkan evolusi mulai dari peralatan dan infrastruktur hingga tata koordinasi atau manajemen.
Selain kolaborasi antar-instansi terkait, Heru juga menekankan pentingnya analisis dan perencanaan dalam adaptasi bencana. Skenario perencanaan adaptasi bencana untuk 2022 harus didesain saat ini sehingga semua kegiatan bukan berbasis dugaan.
Ahli Mitigasi Bencana Geologi, Surono memandang bahwa perencanaan untuk upaya adaptasi dan mitigasi bencana dari pemerintah daerah sudah cukup baik meski pada kenyataannya masih banyak menimbulkan kerugian harta ataupun nyawa. Padahal, seharusnya hal tersebut dapat ditekan. Oleh karena itu, adaptasi bencana di sektor pariwisata harus disusun secara matang karena kegagalan mitigasi berdampak pada sosial ekonomi kehidupan masyarakat.