Pemakaian teknologi deteksi sinyal mempercepat penemuan kotak hitam dalam kejadian kecelakaan pesawat Sriwijaya Air. Keberadaan kotak hitam penting untuk membantu investigasi penyebab jatuhnya pesawat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Perekam data penerbangan atau flight data recorder yang merupakan salah satu bagian kotak hitam pesawat Sriwijaya Air SJ-182 PK-CLC berhasil ditemukan tim pencarian dan penyelamatan gabungan pada Selasa (12/1/2021). Selain kemampuan penyelam, kotak hitam ini juga dapat cepat ditemukan berkat berbagai teknologi dan alat-alat khusus yang bisa menerima sinyal hingga memotret kondisi bawah laut.
Dalam mencari lokasi jatuhnya kotak hitam Sriwijaya Air SJ-182 di perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, tim pencarian dan penyelamatan (SAR) gabungan mengerahkan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Rigel milik TNI Angkatan Laut dan Kapal Riset (KR) Baruna Jaya IV milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Kedua kapal ini juga pernah digunakan untuk mencari pesawat Lion Air PK-LQP saat jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, 2018.
KRI Rigel dan KR Baruna Jaya IV memiliki peralatan dan teknologi yang dapat menunjang misi SAR bawah laut, termasuk deteksi lokasi kotak hitam pesawat yang jatuh di dasar perairan. Teknologi itu meliputi, antara lain, kamera bawah laut (remotely operated underwater vehicle/ROV), alat pendeteksi perbedaan ketinggian dasar laut melalui gelombang suara (multibeam echosounder), alat pendeteksi logam (magnetometer), alat penangkap sinyal (ultrashort base line/USBL), dan teknologi pencitraan dasar laut (side scan sonar/SSS).
Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT Djoko Nugroho menjelaskan, USBL merupakan alat pertama yang akan digunakan dan diturunkan ketika berada di sekitar lokasi atau titik pencarian kotak hitam. USBL diatur pada frekuensi 37,5 kilohertz (Khz) agar dapat menerima sinyal dengan jelas.
Setelah lokasi kasar kotak hitam terdeteksi, ROV berjenis Seaeye 12196 falcon ini kemudian diturunkan untuk melihat gambaran kondisi bawah laut. Kamera bawah laut (ROV) dioperasikan dengan alat pengendali jarak jauh dilengkapi dengan sumber listrik untuk menghidupkan lampu dan kamera sensor. Lampu ini digunakan sebagai penerangan sehingga membantu ROV dalam memotret kondisi bawah laut yang gelap.
Kamera bawah laut (ROV) dioperasikan dengan alat pengendali jarak jauh dilengkapi dengan sumber listrik untuk menghidupkan lampu dan kamera sensor.
Selain USBL, deteksi sinyal kotak hitam juga menggunakan perangkat pinger locator milik Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang diletakkan di KRI Rigel. Menurut Investigator Keselamatan Pelayanan KNKT Bambang Irawan, pinger locator dari Singapura juga akan didatangkan di KR Baruna Jaya IV guna mengoptimalkan pencarian kotak hitam.
Pinger locator adalah perangkat pengirim dan penangkap sinyal (ping) berbasis sonar. Sonar yang dikirimkan oleh alat ini dapat menembus kedalaman lautan hingga 20.000 kaki atau setara dengan 6.100 meter. Dalam beberapa tahun terakhir, pinger locator juga kerap diandalkan untuk mendeteksi lokasi kotak hitam pesawat yang jatuh di perairan.
Secara sederhana, cara kerja pinger locator hampir menyerupai dengan USBL, yaitu dengan menurunkan alat ini ke dasar perairan. Pinger locator lalu akan mencari sinyal yang dipancarkan kotak hitam pesawat. Kotak hitam ini sangat penting ditemukan karena memuat perangkat berisi perekam data penerbangan (flight data recorder/FDR) dan perekam percakapan pilot (cockpit voice recorder/ CVR) untuk memudahkan investigasi penyebab jatuhnya pesawat.
Insiden lain
Selain Sriwijaya Air, terdapat juga insiden kecelakaan pesawat lainnya yang jatuh di perairan Indonesia. Beberapa insiden tersebut yakni jatuhnya pesawat Adam Air 574 di Selat Makassar (2007), Air Asia QZ 8501 di Selat Karimata, Laut Jawa (2014), dan Lion Air PK-LQP di perairan Karawang, Jawa Barat (2018). Pencarian kotak hitam ketiga pesawat itu juga memakai teknologi pinger locator.
Dalam mencari dan mendeteksi sinyal yang ada di kotak hitam pesawat Adam Air, Indonesia menerima bantuan alat towed pinger locator (TPL) dari Singapura dan Amerika Serikat. Alat berbentuk seperti kapal selam mini itu bekerja pada frekuensi 0-50 kHz dan ditarik dengan tali sepanjang 2.200 meter. TPL dari Singapura dipasang di kapal Baruna Jaya, sedangkan TPL dari AS dipasang di kapal Mary Sears milik Angkatan Laut AS.
Melalui teknologi ini, pancaran sinyal underwater locator beacon (ULB) yang menandakan lokasi kotak hitam pesawat Adam Air akhirnya bisa dideteksi kapal Mary Sears. Sinyal tersebut terdeteksi di perairan Majene, Sulawesi Barat, dengan kedalaman 1.828,8 meter.
Pencarian kotak hitam dalam insiden jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di Selat Karimata juga menggunakan teknologi pinger locator. Kotak hitam ditemukan di kedalaman 30-32 meter setelah 15 hari pencarian. Bagian FDR ditemukan terlebih dulu di bawah puing-puing sayap pesawat dan CVR ditemukan sehari setelahnya.
Sementara saat insiden Lion Air PK-LQP, bagian FDR kotak hitam berhasil ditemukan melalui titik lokasi yang dideteksi pinger locator setelah empat hari pencarian. Namun, karena derasnya arus dan tertutup lumpur, CVR baru ditemukan setelah tiga bulan kejadian jatuhnya pesawat. Dalam pencarian ini, KR Baruna Jaya menggunakan empat pinger locator.
Upaya pencarian kotak hitam dan badan pesawat di perairan memang tidak mudah karena diperlukan analisis lokasi temuan serpihan dengan kondisi arus laut dalam 11 hari sejak pesawat dinyatakan hilang. Tanpa adanya teknologi pendeteksi sinyal dan hanya melibatkan kemampuan penyelam, lokasi jatuhnya kotak hitam hampir mustahil untuk ditemukan.