UU Cipta Kerja dan Pilkada 2020 tak terasa menempatkan masa depan hutan di Indonesia dalam pertaruhan. Kebutuhan akan ruang dan pertumbuhan ekonomi masih terus membayangi keberadaan hutan yang penting bagi kehidupan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, bulan-bulan terakhir di tahun 2020 diwarnai dengan kebijakan dan agenda negara yang kontroversi. Dua di antaranya yaitu pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020. Kontroversi bukan hanya dari sisi kedua hal sensitif dan berpotensi mengundang kerumunan tersebut diselenggarakan di tengah bangsa yang telah dirundung pandemi, melainkan juga tak kalah menarik akan dua hal ini yaitu akan pengaruhnya terhadap nasib lingkungan, khususnya pada masa depan hutan.
Keduanya sama-sama menempatkan masa depan hutan dan lingkungan pada suatu pertaruhan. UU Cipta Kerja telah banyak disorot bakal menempatkan hutan, terutama kawasan hutan, pada kondisi yang tak aman atau berisiko meningkatkan deforestasi yang bisa berujung pada masifnya bencana hidrometeorologi.
Satu contoh dari sekian banyak pasal kontroversi yaitu batasan 30 persen luas kawasan hutan pada suatu daerah aliran sungai (DAS) atau pulau yang semula ditetapkan dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan, kini tidak ada lagi. Batas minimal itu sulit diterapkan di Jawa yang setengah mati untuk menambah luas hutannya di tengah kebutuhan ruang untuk permukiman, pertanian, dan infrastruktur.
Bukannya mengusahakan agar syarat tersebut bisa dipenuhi, regulasi yang diambil justru menurunkan acuan minimal persentase kawasan hutan. Pengaturan 30 persen luas kawasan hutan itu tentu saja awalnya tidak jatuh dari langit.
Dengan luasan minimal sebesar 30 persen dinilai bisa tetap menjaga keseimbangan ekologi pada suatu ruang atau lanskap DAS. Hutan sebagai habitat pepohonan berkayu diharapkan tetap bisa mencukupi kebutuhan udara bersih, memitigasi perubahan iklim, menyerap polusi emisi karbon, dan mengelola air bagi daerah hidrologinya saat musim hujan dan kemarau.
Dalam UU Cipta Kerja, aturan main 30 persen tersebut kemudian diganti dengan memberi dasar hukum bahwa penetapan (luas minimal kawasan hutan pada DAS atau pulau) dilakukan dengan prinsip karakteristik dan bio-geo-fisik serta daya dukung dan daya tampung setiap daerah. Embel-embel tujuan pengubahan ini yaitu untuk menjamin manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Pembatasan kawasan hutan itu kini diserahkan pada perhitungan dan pertimbangan di atas kertas. Dengan penghitungan spesifik seperti itu, bisa dibayangkan berapa ribu kajian untuk bisa memberi batasan luasan kawasan hutan minimal pada tiap-tiap DAS di Indonesia yang jumlahnya mencapai 17.000 DAS.
Selain itu, disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam peraturan pemerintah. Berbagai pihak menilai ”proyek strategis nasional” ini sebuah kuncian yang berpotensi membiaskan kalkulasi ilmiah dari kecukupan dan kebutuhan hutan.
Substansi kebutuhan akan hutan sebagai pengendali ekologi–manajemen air dan bencana hidrometeorologi–disandingkan dengan kebutuhan proyek strategis nasional yang dicap sebagai sebuah kepentingan negara. Keputusan akan berat ke mana, tentu ini mudah ditebak dari berbagai proyek strategis nasional yang berjalan mulus di mana-mana di era yang mengutamakan percepatan ekonomi.
Pilkada
Selanjutnya terkait pilkada serentak yang digelar pada 9 Desember 2020. Dalam pesta demokrasi di daerah ini, tak terasa sebenarnya pemilih sedang memercayakan nasib hutan pada calon yang dipilih maupun keputusannya untuk tidak memilih. Para gubernur, wali kota, dan bupati yang terpilih ini nantinya menjadi para kepala daerah baru yang perdana menjalankan UU Cipta Kerja.
Catatan Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan, pilkada serentak ini dijalankan di daerah yang memiliki hutan sangat luas. Sekitar 67,72 persen atau 60,5 juta hektar hutan alam Indonesia dan 64,33 persen atau 13,9 juta hektar ekosistem gambut Indonesia berada di provinsi dan kabupaten yang menyelenggarakan pilkada serentak 2020 tersebut.
Dari sembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada, tercatat tiga provinsi yang memiliki kawasan hutan terluas, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah. Ketiga provinsi tersebut juga tercatat memiliki rekam jejak deforestasi yang tinggi pada periode 2003-2018.
Pada rezim perundang-undangan sebelum UU Cipta Kerja, Lembaga Riset Kehutanan Internasional (Cifor) menunjukkan peningkatan potensi deforestasi seusai pilkada. Pada hasil riset yang dipublikasikan pada jurnal Forestry Review ini menunjukkan, hingga 2017 atau sebelum pilkada, izin untuk kepemilikan lahan cenderung meningkat. Izin tersebut dikeluarkan oleh kepala daerah petahana ataupun kandidat bupati atau wali kota di kawasan konservasi, hutan lindung, dan konsesi korporasi.
Meski UU Cipta Kerja kini telah menarik sejumlah kewenangan pemerintah daerah terkait hutan–dan kewenangan terkait pengelolaan lingkungan–keberadaan kepala daerah bagi nasib hutan sangat penting. Setidaknya provinsi masih memiliki kewenangan untuk mengusulkan perubahan fungsi dan kawasan hutan yang penentu keputusannya tetap ada di pusat, yaitu KLHK.
Sekurang-kurangnya para kepala daerah ”pemilik hutan”– terutama yang nanti dilantik–bisa mengupayakan perlindungan hutan dan gambut tersisa dalam perencanaan tata ruang di daerah. Di sisi lain, pasca-UU Otonomi Daerah, gubernur merupakan kepanjangan tangan pemerintah.
Pemerintah daerah tetap memiliki beberapa kewenangan yang penting untuk melindungi hutan alam dan ekosistem gambut. Kewenangan terpenting pemerintah provinsi di antaranya mengajukan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan melalui mekanisme revisi tata ruang; perlindungan dan pengelolaan hutan alam di area penggunaan lain (APL) dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi. Pemprov juga bisa memberikan perizinan berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan, kewenangan terkait pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan (KPH), dan kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat serta mendorong percepatan perhutanan sosial di wilayahnya.
Di sisi pemerintah kabupaten/kota juga masih memiliki beberapa kewenangan penting, yaitu pengajuan usulan perubahan status kawasan hutan kepada gubernur, perlindungan dan pengelolaan hutan alam di APL dalam RTRW kabupaten dan rencana detail tata ruang (RDTR). Ada pula kewenangan pemberian perizinan berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan, serta kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat di wilayahnya.
Meskipun kewenangan-kewenangan pemda ini kemudian keputusan akhirnya tetap akan ditentukan oleh otorita kementerian pengelola hutan di pemerintah pusat, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Harapannya, KLHK yang juga sebagai focal point terkait Kesepakatan Paris konsisten dan lebih ambisius untuk menekan deforestasi di Indonesia. Asa itu sekaligus pertaruhan akan hutan Indonesia yang ada di depan mata.