Vaksin Covid-19 sebaiknya diberikan secara gratis kepada masyarakat. Hal itu bertujuan untuk mengoptimalkan cakupan imunisasi sehingga terbentuk kekebalan komunitas yang diinginkan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah hanya menyediakan vaksin Covid-19 gratis untuk 32 juta orang dikhawatirkan bakal gagal memenuhi cakupan untuk mencapai kekebalan kelompok. Vaksin hanya akan efektif menciptakan kekebalan kelompok guna memutus rantai penularan jika cakupannya besar, selain tingkat kemanjurannya tinggi.
”Vaksin Covid-19 akan diberikan kepada masyarakat melalui dua skema, yaitu melalui program sebanyak 32 juta orang dan skema mandiri 72 juta orang,” kata juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Nadia Wiweko, dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, secara daring, Kamis (10/12/2020).
Menurut dia, program vaksin yang akan diberikan gratis ini bakal dikelola Kementerian Kesehatan dan diprioritaskan untuk tenaga kesehatan, pelayan publik, dan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan penerima bantuan iuran.
Vaksin Covid-19 akan diberikan kepada masyarakat melalui dua skema, yaitu melalui program sebanyak 32 juta orang dan skema mandiri 72 juta orang.
Sementara itu, vaksin mandiri yang ditargetkan untuk 75 juta orang tidak dibiayai pemerintah alias harus membeli sendiri dengan pengadaan oleh BUMN. ”Selama tahun 2020-2022 target vaksinasi kita 67 persen untuk 107 juta orang,” kata Nadia.
Namun, rencana pemberian vaksin melalui dua skema ini dinilai bakal sulit memenuhi target cakupan yang optimal. Pakar sosiologi bencana Indonesia yang menjadi pengajar di Nanyang Technological University, Sulfikar Amir, mengatakan, vaksin Covid-19 seharusnya disediakan gratis untuk masyarakat.
”Harus digaungkan, vaksin Covid-19 harus gratis. Uangnya ada seharusnya,” tuturnya. Sulfikar menginisiasi petisi daring di situs www.change.org yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Ketua dan Wakil Ketua DPR, serta Menteri Kesehatan agar menggratiskan vaksin Covid-19 kepada masyarakat.
”Program vaksin mandiri ini dapat menggagalkan proses vaksinasi Covid-19 karena tidak ada jaminan setiap warga Indonesia yang tidak mendapatkan vaksin gratis mau dan mampu membayar biaya vaksin. Jika vaksinasi Covid-19 gagal, Indonesia tidak akan pernah bebas dari virus korona,” sebut Sulfikar.
Epidemiolog dari Lapor Covid-19, Iqbal Elyazar, memaparkan, tujuan vaksinasi saat terjadi pandemi yakni untuk mencapai kekebalan kelompok. Dengan rendahnya cakupan vaksinasi ditambah lamanya durasi yang diperlukan untuk mencapai titik kekebalan itu, maka upaya untuk mencapai kekebalan kelompok sulit tercapai. Itu berarti percepatan pemulihan dari pandemi tidak akan terjadi.
”Vaksin yang sedang dipakai ini pun belum diketahui berapa lama bisa membentuk antibodi yang mampu menetralisasi antigen (virus),” ungkapnya.
Menurut Iqbal, vaksinasi mandiri akan menimbulkan masalah baru, selain memicu ketidaksetaraan akses dalam mendapatkannya, juga harus diatur batasan atas harga vaksin ini.
”Belum lagi vaksin yang akan digunakan bervariasi efektivitas dan durasi antibodinya. Keragaman ini mungkin akan menimbulkan kekacauan, seperti halnya beragamnya jenis dan kualitas tes cepat antibodi di awal pandemi,” ujarnya.
Pilihan vaksin
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, mengingatkan agar pemerintah tidak terpaku pada satu vaksin, seperti Sinovac, yang hingga kini belum ada data efikasi atau kemanjurannya. Jika kemanjurannya rendah, ditambah lagi cakupan pemberiannya kecil, upaya memutus penularan Covid-19 di Indonesia melalui vaksin bakal menuai kegagalan.
Selain itu, pemilihan vaksin harus sangat hati-hati karena setiap produk memiliki keterbatasan dan kelebihan. ”Laporan terbaru FDA (Food Drug Adaministration/Administrasi Makanan dan Obat) telah mengumumkan adanya dua orang yang menerima vaksin Covid-19 buatan Pfizer/BioNTech yang meninggal selama uji klinis,” katanya.
Dokumen tersebut mengungkapkan bahwa dua orang yang menerima vaksin percobaan telah meninggal selama uji klinis. Empat orang lainnya yang meninggal menggunakan plasebo. Sebelumnya, Pfizer/BioNTech telah mengumumkan bahwa vaksinnya 95 persen efektif dalam mencegah infeksi virus korona.
Laporan juga menyebutkan, tingkat kematian dari pemberian vaksin ini dinilai sangat kecil, sekitar 0,015. ”Yang meninggal dari kelompok vaksin punya immunocompromised disease. Namun, saat ini data tidak cukup memadai bagi FDA untuk menyimpulkan seberapa aman vaksin pada anak berusia di bawah 16 tahun, perempuan hamil, dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang terganggu,” kata Dicky.
Menyusul laporan FDA ini, tiga orang Inggris yang mendapatkan vaksin Pfizer/BioNTech mengalami reaksi alergi ”langka”. Sebelumnya, Inggris menjadi negara pertama yang memberikan vaksin Covid-19 kepada penduduknya menggunakan skema otorisasi darurat.
Hal itu mengakibatkan Badan Pengatur Obat dan Produk Perawatan Kesehatan (MHRA) Inggris mengumumkan siapa pun dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap vaksin, obat-obatan, atau makanan tidak boleh menerima suntikan vaksin ini. Dikatakan juga bahwa vaksinasi hanya boleh dilakukan di tempat-tempat di mana fasilitas resusitasi tersedia.
Dalam pernyataannya, MHRA menyebutkan, reaksi anafilaksis ketiga pasien, termasuk dua petugas kesehatan, berhasil pulih. ”Kebanyakan orang tidak akan terkena anafilaksis dan manfaat (vaksin) melindungi orang dari Covid-19 lebih besar daripada risikonya,” sebut MHRA.
Selain Inggris, regulator Kanada juga telah menyetujui penyuntikan vaksin Covid-19 dan Badan Pengawas Obat Amerika Serikat (FDA) diperkirakan bakal menyetujui vaksin Pfizer dalam beberapa hari mendatang.