Pelaku Usaha Diminta Tetap Berkomitmen Menjaga Kelestarian Hutan
UU Cipta Kerja yang dinilai memberikan karpet merah bagi kalangan bisnis agar diikuti komitmen lingkungan. Industri kehutanan juga diminta tetap menjaga dan menjalankan komitmen pelestarian hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap dapat memudahkan pelaku usaha mendapatkan perizinan berusaha, termasuk di sektor kehutanan. Namun, pelaku usaha diminta tetap berkomitmen menerapkan sistem silvikultur dan menjaga kelestarian hutan.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menyampaikan, ketentuan pemanfaaatan hutan telah tertuang dalam dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yakni Pasal 26-33, 35, 48, dan 49. Semua pasal tersebut mengatur ketentuan di antaranya terkait pemanfaatan hutan lindung, hutan produksi, perhutanan sosial, dan kegiatan pengolahan hasil hutan.
Bambang mengatakan, kemudahan perizinan berusaha di sektor kehutanan melalui UU Cipta Kerja ini dapat menjadi momentum bagi para pelaku usaha untuk meningkatkan kinerja kelola usahanya dengan memberikan peluang kerja sama investasi dalam pemanfaatan hutan bersama pemangku kepentingan (stakeholder). Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kompetitif di sektor hulu dan hilir.
”Kami berharap pelaku usaha dapat menciptakan kluster kehutanan. Peraturan presiden tentang kawasan ekonomi khusus mengamanatkan untuk membangun industri pengolahan kayu. Bagaimana membuat kekuatan hulu-hilir pasar ada di dalam negeri dan daya saing produk kita bisa meningkat,” ucapnya dalam webinar bertajuk ”UU Cipta Kerja: Penghela Percepatan Pemulihan Kinerja Sektor Usaha Kehutanan Terdampak Covid-19”, Rabu (2/12/2020).
Selain itu, Bambang menegaskan agar pelaku usaha menerapkan silvikultur dalam pengelolaan hutan sesuai kondisi tapak. Sebab, pemerintah juga memberikan fasilitas untuk semua pemangku kepentingan dalam membangun industri pengolahan hasil hutan di area kerjanya dan mengembangkan konfigurasi bisnis baru dengan mengedepankan peran masyarakat serta usaha kecil menengah melalui perhutanan sosial.
”Tolong tunjukkan komitmennya karena pemerintah menjamin kepastian usaha sebagaimana janji dalam Undang-Undang No 41/1999 (UU Kehutanan). Kami juga meminta kalian (pelaku usaha) menjamin kelestarian hutannya,” ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti mengatakan, faktor keberlanjutan dalam pengelolaan hutan sangat penting dalam kegiatan perdagangan luar negeri. Keberlanjutan pengelolaan sumber daya hutan ini juga ditunjukkan dari adanya jaminan legalitas kayu.
Menurut Nani, saat ini pasar-pasar di Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea, Australia, dan China memberi syarat jaminan legalitas kayu dalam kegiatan ekspor-impor hasil hutan. Sebab, legalitas kayu merupakan perwujudan tata kelola hutan yang baik dan mengeluarkan Indonesia dari citra pengelolaan hutan yang buruk.
Nani mengatakan, Kemenko Kemaritiman dan Investasi telah menetapkan sejumlah arahan dalam langkah-langkah pengelolaan hutan. Pertama, alokasi kayu bulat dari hutan alam yang saat ini banyak dimanfaaatkan untuk panel kayu ke depan akan digunakan juga log dari hutan tanaman. Kedua, perlu juga melakukan hilirisasi produk kayu dan kebijakan industri pengolahan kayu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan, adanya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sudah menjadi standar internasional mengikis stigma negatif sektor industri kehutanan di Indonesia. Sebab, sebelum adanya sertifikasi tersebut, Indonesia terkenal sebagai produsen kayu hasil pembalakan liar.
Secara tidak langsung, kata Indroyono, adanya SVLK juga membuat pelaku industri sektor kehutanan turut menjaga kelestarian hutan. Di sisi lain, angka deforestasi di Indonesia juga tercatat mengalami penurunan. ”Ini semua yang membuat kita harus mendobrak pasar luar. Tetapi, hal ini juga tidak bisa dilakukan APHI sendiri, harus ada industri sekunder dan tersier,” ujarnya.