Covid-19 di Indonesia pada Senin (23/11/2020) mulai tembus lebih dari setengah juta kasus. Jumlah kasus dan korban jiwa bisa terus bertambah seiring kembali meningkatnya laju penularan di daerah dan penuhnya rumah sakit.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Total kasus Covid-19 di Indonesia telah melampaui setengah juta orang dan 16.002 orang meninggal. Jumlah kasus dan korban jiwa dikhawatirkan terus bertambah seiring dengan kembali meningkatnya laju penularan di daerah dan rumah sakit yang kembali dipenuhi pasien. Diperlukan upaya meningkatkan kapasitas tes, pelacakan, dan perawatan pasien di daerah.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan kasus baru mencapai 4.442 orang pada Senin (23/11/2020) sehingga total menjadi 502.110 kasus yang tersebar di 505 kabupaten/kota di 34 provinsi. Sementara korban jiwa bertambah 118 orang sehingga total menjadi 16.002 orang.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta mendapatkan penambahan kasus terbanyak dengan 1.009 orang dan korban jiwa 17 orang. Penambahan kasus terbanyak kedua adalah Jawa Tengah dengan 1.005 kasus dan korban jiwa 10 orang, Jawa Barat 602 kasus baru dan korban jiwa 2 orang. Jawa Timur mendapatkan penambahan 365 kasus baru, tetapi dengan jumlah korban jiwa mencapai 35 orang.
Penambahan kasus harian secara nasional ini didapatkan dengan pemeriksaan terhadap 27.334 orang sehingga rasio positif mencapai 16,2 persen. Ini berarti, dari enam orang yang diperiksa, ditemukan satu kasus positif. Mengacu standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia seharusnya minimal melakukan pemeriksaan 1 per 1.000 populasi per minggu atau 38.500 orang per hari.
”Dua minggu terakhir ini terasa sekali ada penambahan pasien dari rumah sakit-rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya. Informasi dari sejawat di berbagai daerah juga menyebutkan adanya peningkatan kasus,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam.
Ari mengkhawatirkan, jika situasi ini terus berlanjut, rumah sakit bakal kembali penuh dengan pasien. Jika itu terjadi, angka korban jiwa bakal kembali meningkat.
”Penambahan kasus ini terkait dengan meningkatnya kerumunan dan mobilitas warga. Sebelumnya ada demo-demo dan libur panjang. Untuk kerumunan massa terkait aktivitas Rizieq Shibab kemungkinan akan terlihat seminggu ke depan kalau tidak segera dilakukan tracing dan isolasi,” kata Ari.
Seperti disampaikan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Muhammad Budi Hidayat, sebanyak 50 orang yang terlibat kegiatan pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Shihab, di Tebet positif Covid-19. Sebanyak 30 orang yang terlibat kegiatan di Petamburan juga diketahui positif. Sementara 15 orang di Megamendung, Jawa Barat, masih menunggu hasil pemeriksaan.
”Dengan situasi seperti saat ini, jika pemilihan kepala daerah tetap akan dilanjutkan, risikonya bakal lebih besar. Apalagi kalau kemudian sekolah tetap dibuka saat belum ada tanda-tanda penurunan kasus,” kata Ari.
Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Tonang Dwi Ardyanto mengatakan, peningkatan pasien juga terjadi di daerah. ”Saat ini sulit mencari kamar untuk pasien Covid-19. Sudah penuh. Ini sudah sejak sepekan terakhir dan masuk pekan kedua,” ujarnya.
Tingkatkan tes
Epidemiolog Laporcovid-19, Iqbal Elyazar, mengatakan, melihat tren saat ini, pemerintah daerah harus bersiap-siap menambah jumlah tes dan tracing serta fasilitas tambahan untuk perawatan. ”Masalahnya, penambahan jumlah tes kita juga belum signifikan dengan tracing juga terbatas. Daerah perlu mencontoh DKI Jakarta dalam hal jumlah tes dan penambahan tenaga sukarelawan untuk membantu tracing,” ujarnya.
Menurut Iqbal, angka kesembuhan Covid-19 yang kerap diumumkan pemerintah bukanlah bukti keberhasilan penanganan wabah. Namun, ukuran kesuksesan adalah dengan menekan jumlah kasus serta mencegah penambahan pasien dan korban jiwa. Ini bisa dilakukan dengan adanya peningkatan jumlah tes dan pelacakan kasus sehingga pasien bisa segera dirawat atau diisolasi.
Menurut Tonang, yang juga pengurus Bidang Organisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS Patklin), saat ini seharusnya tidak ada alasan tidak bisa meningkatkan tes. Jika memang kapasitas untuk melakukan tes usap dengan analisis reaksi berantai polimerase (PCR) terbatas, bisa dilakukan dengan uji antigen.
Tonang menambahkan, hingga saat ini masih ada daerah yang mengandalkan tes cepat antibodi, termasuk dalam menghadapi pilkada. ”Saya mendapat informasi ada daerah akan memeriksa dengan tes cepat antibodi terhadap seluruh Panitia Pemungutan Suara (PPS) sebelum hari pelaksanaan dan diulang beberapa hari menjelang pelaksanaan. Ini tidak tepat,” katanya.
Apabila tetap mengandalkan tes antibodi sebagai penapis, ada dua risiko yang bisa terjadi. Pertama, lolosnya orang yang tes antibodi nonreaktif tetapi sebenarnya menularkan karena sedang terinfeksi. Kedua, tidak dapat ditugaskannya orang hanya karena tes antibodi reaktif, padahal sebenarnya justru yang bersangkutan aman dari risiko menularkan.
”Apabila memang tes PCR dirasa lama, juga karena alasan biaya, atau sulit mencari tempat pemeriksaan, lakukan tes antigen sebagai alternatif,” katanya.
Menurut Tonang, tes antigen juga menggunakan sampel swab, seperti PCR. Setelah diambil swab, hasilnya juga langsung diketahui. ”Bisa dikerjakan di lab, bisa juga di luar lab, asal hati-hati dan menggunakan reagen yang sesuai,” ujarnya.
Menurut dia, tes antigen ini akan reaktif pada saat orang terinfeksi dan jumlah virusnya sedang tinggi. Apabila jumlah virus tinggi, berarti itu saat paling berisiko terjadi penularan ke orang lain.
Sementara untuk biaya, tes antigen hampir sama dengan tes antibodi, di bawah biaya tes PCR. ”Tes ini tidak bisa sepenuhnya menggantikan PCR, tetapi bisa digunakan dalam keadaan mendesak dan tidak sempat menunggu hasil PCR,” ucap Tonang.
Menurut Tonang, dengan kapasitas tes PCR yang masih terbatas, sebaiknya diprioritaskan untuk kasus-kasus lain yang bergejala. Sementara selebihnya bisa didukung dengan tes antigen.
Pada 11 September 2020, WHO memberi lampu hijau penggunaan darurat tes cepat antigen di area dengan transmisi komunitas meluas, tetapi pengujian diagnostik berbasis PCR terbatas. WHO telah memvalidasi satu merek tes cepat antigen buatan Korea Selatan.