Ambil Foto Puncak Merapi, Tim BPPTKG Mendaki hingga Pasar Bubrah
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) mengirim tim untuk mendaki ke Gunung Merapi. Tim itu bertugas memotret kondisi puncak Merapi dan memasang sensor infrasonik.
Oleh
HARIS FIRDAUS/KRISTI DWI UTAMI/PANDU WIYOGA
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi terus memantau aktivitas vulkanik Gunung Merapi termutakhir yang saat ini berstatus Siaga (Level III). Bahkan, pada Minggu (15/11/2020), tim BPPTKG mendaki ke Gunung Merapi guna mengambil foto kondisi puncak gunung api di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan, tim tersebut melakukan pendakian dari wilayah Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada Minggu malam lalu. Tim melakukan pendakian hingga ke area Pasar Bubrah yang berjarak sekitar 600 meter dari puncak Gunung Merapi.
Pasar Bubrah merupakan semacam tanah lapang yang berlokasi di bawah puncak Gunung Merapi. Saat pendakian ke Gunung Merapi masih dibuka, Pasar Bubrah sering dipakai oleh para pendaki untuk beristirahat atau mendirikan tenda sebelum mendaki ke puncak. Di sekitar kawasan itu, BPPTKG membangun satu pos yang berisi alat-alat pemantau kegunungapian.
Hanik menuturkan, tim BPPTKG tidak melakukan pendakian hingga ke puncak Gunung Merapi karena terlalu berisiko. ”Tim tidak sampai ke puncak karena risikonya terlalu tinggi,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Rabu (18/11/2020), di Yogyakarta.
Hanik menjelaskan, setelah melakukan pendakian pada Minggu malam, tim kemudian menerbangkan pesawat nirawak atau drone untuk memotret kondisi puncak Merapi pada Senin (16/11/2020) pagi. Penerbangan drone itu dilakukan tim BPPTKG dari kawasan Pasar Bubrah.
Menurut Hanik, pengambilan foto menggunakan drone itu dilakukan untuk mengetahui kondisi morfologi puncak Gunung Merapi secara detail. Foto tersebut penting untuk melihat apakah sudah ada kubah lava baru yang muncul di puncak Merapi.
Selama ini, BPPTKG memang beberapa kali memotret puncak Merapi menggunakan drone. Pemotretan menggunakan drone itu terakhir kali dilakukan pada 3 November 2020 atau dua hari sebelum status Merapi naik dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III).
Berdasarkan foto tanggal 3 November itu, diketahui belum ada kubah lava baru di puncak Merapi. Dalam foto tersebut, hanya teramati kubah lava lama yang mulai muncul pada Agustus 2018. Selama beberapa bulan terakhir, volume kubah lava lama itu relatif tetap, yakni sekitar 200.000 meter kubik.
Hanik memaparkan, tim BPPTKG yang melakukan pendakian pada Minggu lalu bertugas untuk mengambil foto terbaru puncak Merapi. Foto tersebut penting untuk mengetahui bagaimana kondisi terkini puncak Merapi, terutama setelah statusnya dinaikkan. ”Kami sudah cukup lama tidak update kondisi morfologi puncak Merapi. Terakhir, kan, tanggal 3 November,” ucapnya.
Dia menambahkan, selain mengambil foto menggunakan drone, BPPTKG sebenarnya juga memantau kondisi puncak Merapi menggunakan satelit. Namun, agar bisa mendapatkan data akurat, BPPTKG memutuskan tetap melakukan pemotretan menggunakan drone. ”Walaupun sudah mendapat beberapa informasi dari satelit, kami tetap harus mengambil foto sendiri untuk mengetahui kondisi di atas seperti apa,” katanya.
Menurut Hanik, berdasarkan foto yang diambil tim BPPTKG menggunakan drone pada Senin lalu, belum tampak kubah lava baru di puncak Gunung Merapi. Kondisi tersebut menunjukkan magma dari dalam tubuh Gunung Merapi belum keluar ke permukaan. ”Sudah kami olah datanya, belum ada (kubah lava),” ungkapnya.
Tim tidak sampai ke puncak karena risikonya terlalu tinggi. (Hanik Humaida)
Pasang sensor
Selain mengambil foto puncak Merapi menggunakan drone, tim BPPTKG yang melakukan pendakian pada Minggu lalu juga bertugas memasang sensor infrasonik. Hanik menyebut sensor itu dipasang agar BPPTKG bisa mendeteksi suara-suara yang muncul dari dalam tubuh Gunung Merapi.
Pemantauan terhadap suara-suara tersebut, antara lain, berguna untuk mengetahui kondisi gas yang ada di dalam tubuh Gunung Merapi. ”Sensor itu untuk mendeteksi suara dari dalam (Gunung Merapi). Suara yang muncul itu identik dengan gas yang ada,” ujar Hanik.
Hanik menuturkan, sensor infrasonik itu dipasang di stasiun pemantauan milik BPPTKG di Pasar Bubrah. Di stasiun itu terdapat sejumlah peralatan untuk memantau aktivitas Gunung Merapi. ”Stasiun Pasar Bubrah itu stasiun pemantauan paling lengkap. Di sana ada alat untuk memantau seismik (kegempaan), CCTV (kamera pengawas), dan sebagainya,” katanya.
Salah seorang anggota tim BPPTKG yang melakukan pendakian ke Gunung Merapi itu adalah Yulianto. Dia merupakan petugas Pos Pengamatan Gunung Merapi di Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Yulianto menyebut, dalam pendakian tersebut, dirinya berangkat bersama dua petugas lainnya. Dia juga menuturkan, perjalanan ke Gunung Merapi itu dimulai pada Minggu sekitar pukul 24.00 dari Pos Pengamatan Gunung Merapi di Jrakah, Kecamatan Selo, Boyolali. ”Butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai ke Pasar Bubrah,” katanya.
Menurut Yulianto, setelah sampai di Pasar Bubrah, tim BPPTKG hendak menerbangkan drone pada Senin sekitar pukul 05.30. Namun, saat itu, kecepatan angin mencapai 25 kilometer per jam sehingga berisiko membuat drone terbawa angin. Oleh karena itu, tim membatalkan rencana menerbangkan drone dan memutuskan menunggu kecepatan angin berkurang.
Yulianto menambahkan, pada pukul 07.00, kecepatan angin turun menjadi 17 kilometer per jam. Oleh karena itu, tim BPPTKG pun menerbangkan drone untuk memotret kondisi puncak Merapi. ”Setelah kami amati, visual gunung tidak ada perubahan. Perubahan morfologi juga tidak kelihatan. Namun, kawah tidak tampak karena ada asap putih tebal,” ujar Yulianto.
Setelah mengambil foto dengan drone, Yulianto dan kawan-kawan menjalankan misi selanjutnya, yakni memasang sensor infrasonik. Menurut Yulianto, selain di Pasar Bubrah, sensor infrasonik itu juga dipasang di beberapa lokasi lain.