RUU Cipta Kerja Dinilai Tak Jawab Perbaikan Tata Kelola dan Sengkarut Perizinan Perkebunan
Ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja dinilai tidak menyelesaikan permasalahan perkebunan di Indonesia yakni tata kelola yang buruk dan sengkarut perizinan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja dinilai tidak menyelesaikan permasalahan perkebunan di Indonesia, yakni tata kelola yang buruk dan sengkarut perizinan. Sejumlah permasalahan ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu dengan cara harmonisasi undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”UU Cipta Kerja dan Masa Depan Lingkungan Indonesia” yang diselenggarakan Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (10/10/2020). Turut hadir sebagai pembicara, Guru Besar Bidang Hukum Agraria UGM Maria SW Sumardjono; pengajar Hukum Lingkungan UGM, Wahyu Yun Santoso; dan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya.
Teguh mengemukakan, berdasarkan dokumen UU Cipta Kerja yang beredar, tidak ada satu pun yang memuat ketentuan tentang model pembagian keuntungan dari bisnis perkebunan khususnya sawit antara nasional dan daerah. Padahal, sampai sekarang masih ada ketimpangan yang mencolok dalam pembagian keuntungan dan kondisi ini merupakan persoalan mendasar dari sektor sawit nasional.
”Jadi mau ada sertifikasi RSPO (sertifikasi untuk pengelolaan sawit berkelanjutan) dan lainnya, jika model bisnisnya tidak diubah, tetap tidak akan memberikan keuntungan kepada kita secara menyeluruh atau pemerintah daerah dan petani kecil,” ujarnya.
Madani Berkelanjutan mencatat, seluruh pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan hasil pungutan ekspor dari sawit diterima oleh pemerintah pusat. Sementara pemerintah daerah tidak mendapat sedikit pun dari PNBP dan pungutan ekspor.
Ketimpangan juga terjadi pada penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di mana pemerintah pusat mendapat 10 persen dari sawit dan 9 persen untuk pemungutan. Adapun PBB dari sawit sebesar 16,2 persen diberikan untuk pemerintah provinsi dan 64,8 persen untuk pemerintah kabupaten/kota. Namun, dari studi pada 2018, jumlah PBB yang ditanggung perusahaan sawit lebih kecil daripada tanggungan PBB orang miskin di DKI Jakarta.
Sementara terkait dengan sengkarut perizinan ekstraksi sumber daya alam di Indonesia, hasil analisis Madani Berkelanjutan menyebutkan, seluas 75,6 persen atau setara 143 juta hektar dari daratan Indonesia merupakan area silang sengkarut izin dan perlindungan hutan.
”Jadi, pertanyaannya, investasi apa yang sedang didorong oleh UU Cipta Kerja karena 75,6 persen daratan Indonesia terdapat sengkarut perizinan. Akan menjadi lebih cermat dan bijak jika masalah ini diselesaikan terlebih dahulu dengan mengharmonisasi undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam seperti yang sudah direkomendasikan KPK pada 2018,” ungkapnya.
Terkait sengkarut perizinan, menurut materi paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 7 Oktober 2020, disebutkan UU Cipta Kerja mengatasi masalah yang sudah cukup panjang sejak desentralisasi
big bang. Ketika itu, izin-izin kebun sesuai dengan UU Pemda (1999 dan 2004)
diberikan oleh kabupaten dan ternyata berada dalam kawasan hutan tanpa izin, sehingga menjadi telanjur.
Penyelesaian keterlanjuran kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang memiliki perizinan (dispute tata ruang) dilakukan dengan beberapa pilihan. Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan
memiliki perizinan di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan
persyaratan paling lambat 3 tahun sejak UU Cipta Kerja ini berlaku.
Jika setelah lewat 3 tahun sejak berlakunya undang-undang ini tidak
menyelesaikan persyaratan, pelaku usaha dikenai sanksi administratif berupa
ketentuan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan
sanksi administratif yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Terkait penyelesaian perambahan hutan (kebun sawit, tambang, dan kegiatan
lainnya) yang tidak memiliki perizinan diatur seperti ini. Setiap orang yang melakukan pelanggaran di kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang dilakukan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja dikenai sanksi administratif, berupa: penghentian sementara kegiatan usaha; denda; dan/atau paksaan pemerintah.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan. Pengaturan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan pemerintah.
Besaran denda ditentukan berdasarkan luasan kawasan hutan yang dikuasai; jangka waktunya dihitung sejak mulai panen; dan persentase dari keuntungan yang diperoleh setiap tahun.
Melemahkan komitmen
Selain tata kelola dan sengkarut perizinan, Wahyu Yun Santoso mengatakan, UU Cipta Kerja juga akan melemahkan secara sistematis dan terstruktur pada proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL), serta perizinan lingkungan.
Ketentuan yang tertuang di UU Cipta Kerja juga berdampak pada sejumlah substansi dalam UU No 39/2014 tentang Perkebunan. Sejumlah pasal yang terdampak tersebut, antara lain, Pasal 14, 15, 16, 58, 67, dan 68. Salah satu ketentuan dalam UU Perkebunan yang menjadi sorotan utama adalah Pasal 67. Pasal tersebut mengatur tentang kewajiban perusahaan perkebunan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan sebelum memperoleh izin usaha.
Sejumlah hal yang wajib dilakukan perusahaan sebelum memperoleh izin, di antaranya membuat amdal serta memiliki analisis dan manajemen risiko. Selain itu, perusahaan juga harus membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.
Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketiga ketentuan kewajiban perusahaan tersebut dihapus. Ketentuan yang berlaku hanya menyebutkan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sementara ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara kelestarian diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Pengaturan dalam PP tersebut dinilai lebih lemah dibandingkan UU. Selain karena hanya dibuat oleh satu pihak saja, yaitu pemerintah, PP juga tidak dapat memuat sanksi pidana untuk pelanggaran berat yang merugikan publik. Kondisi ini juga berpotensi membuat perusahaan abai terhadap penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan yang hampir setiap tahun terjadi di Indonesia.
”Semua penegasan aturan menunggu PP dan tidak berlaku lagi sifatnya untuk peraturan daerah. Yang menjadi permasalahan, apakah satu standar dapat berlaku untuk semua wilayah. Apakah standar di Jakarta atau di Jawa bisa disamakan dengan standar di Papua,” kata Wahyu.
Maria Sumardjono menegaskan, tidak ada urgensi yang membuat UU Cipta Kerja harus segera ditetapkan. Bahkan, pembentukan UU Cipta Kerja juga melanggar banyak ketentuan atau syarat formal hingga materiil dan dibuat tergesa-gesa.
”Banyak sekali hal kontroversial, tetapi dipaksakan untuk diketuk palu dan dituangkan di dalam PP. Akan tetapi, pertanyaannya, kalau undang-undang tidak jelas, PP yang dihasilkan seperti apa. Aturan turunan semakin ke bawah pasti akan semakin kacau,” tuturnya.