Tes, Lacak, dan Isolasi Menjadi Kunci Pembukaan Sekolah
Sejumlah riset menyebutkan, pembukaan kembali sekolah bisa memicu ledakan wabah Covid-19 jika tak disertai pengendalian penyakit itu secara efektif. Pemeriksaan, isolasi, dan pelacakan kontak jadi keharusan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelusuran kontak yang efektif, tes massal, dan isolasi menjadi syarat penting untuk membuka sekolah secara aman selama pandemi Covid-19. Tanpa melakukan strategi pengendalian penularan ini, pembukaan sekolah bakal memicu ledakan wabah.
Kesimpulan ini didapatkan dari dua penelitian yang diterbitkan secara bersamaan dalam jurnal The Lancet Child & Adolescent Health pada Senin (3/8/2020).
Kajian pertama dilakukan dengan memodelkan dampak pembukaan kembali sekolah-sekolah di Inggris pada bulan September 2020 dan menunjukkan gelombang kedua Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru dapat dihindari di Inggris jika disertai dengan tes, pelacakan, dan isolasi dengan cakupan yang cukup luas.
Adapun studi kedua dilakukan dengan menganalisis data yang dikumpulkan antara Januari dan April 2020 di New South Wales, Australia. Kajian menemukan tingkat transmisi yang rendah di sekolah ketika langkah pengendalian dilakukan dengan baik.
Dalam studi pemodelan di Inggris, para peneliti Univesity College London dan London School of Hygiene and Tropical Medicine membuat model enam skenario berbeda pembukaan sekolah. Hal itu termasuk penerapan paruh waktu dengan separuh siswa dan membandingkannya dengan penerapan jadwal dan jumlah siswa seperti biasa.
Setiap skenario kemudian diuji dengan tiga skenario yang mencerminkan berbagai tingkat pelacakan kontak dan tes. Untuk setiap skenario, mereka memperkirakan jumlah infeksi dan kematian baru, serta jumlah reproduksi efektif (R).
Hasil pemodelan menunjukkan gelombang kedua di Inggris dapat dihindari dengan peningkatan pengetesan, yaitu memeriksa antara 59 persen dan 87 persen dari orang yang bergejala di beberapa titik selama infeksi SARS-CoV-2 aktif, dan pelacakan kontak yang efektif dan isolasi.
Untuk pelacakan dan isolasi kontak yang efektif, mengasumsikan minimal 68 persen kontak dapat ditelusuri, 75 persen individu dengan infeksi simtomatik atau bergejala perlu didiagnosis dan diisolasi jika sekolah kembali penuh waktu pada bulan September. Jika hanya 40 persen kontak yang dapat ditelusuri, angka ini masing-masing harus meningkat menjadi 87 persen dan 75 persen,
Namun, jika tingkat diagnosis dan pelacakan kontak berada di bawah angka ini di seluruh populasi Inggris, pembukaan kembali sekolah bersama dengan pelonggaran bertahap langkah lockdown atau penguncian menghasilkan gelombang kedua yang akan memuncak pada Desember 2020, jika sekolah dibuka penuh waktu pada September. Puncak wabah akan terjadi pada Februari 2021 jika sistem pembukaan paruh waktu diadopsi pada September mendatang.
Jasmina Panovska-Griffiths, yang memimpin penelitian ini, mengatakan, ”Pemodelan kami menunjukkan, dengan tes yang sangat efektif dan melacak strategi di seluruh Inggris, dimungkinkan bagi sekolah untuk membuka kembali dengan aman pada bulan September nanti.”
Namun, tanpa cukup cakupan dari strategi tes-jejak-isolasi Inggris berisiko mengalami puncak epidemi kedua. ”Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah untuk memastikan kapasitas uji-jejak-isolasi ditingkatkan hingga tingkat yang cukup sebelum sekolah dibuka kembali,” ungkapnya.
Bukti di Australia
Studi kedua merupakan hasil observasi yang dilakukan dari Januari hingga April 2020 dengan melacak Covid-19 di 25 sekolah di New South Wales, Australia. Studi ini menemukan, risiko anak-anak dan staf yang menularkan virus dalam pengaturan pendidikan ini amat rendah ketika pelacakan kontak dan manajemen epidemi dilakukan.
Meski ada 27 anak atau guru yang telah terinfeksi masuk ke sekolah, hanya 18 orang kemudian terinfeksi, dari 1.448 kontak. Temuan menunjukkan sekolah tidak menimbulkan risiko tinggi penularan Covid-19 asalkan ada strategi pengujian kontak yang efektif dilakukan.
Kami mendesak pemerintah untuk memastikan kapasitas uji-jejak-isolasi ditingkatkan hingga tingkat yang cukup sebelum sekolah dibuka kembali.
Tidak seperti banyak negara lain, Australia, yang memiliki kejadian Covid-19 rendah selama gelombang pertama, tetap membuka sekolah dengan panduan untuk jarak fisik dan kebersihan. ”Ini merupakan data paling komprehensif yang kami miliki tentang transmisi SARS-CoV-2 di sekolah dan lingkungan pendidikan awal,” kata Kristine Macartney, Direktur Pusat Nasional untuk Penelitian dan Pengawasan Imunisasi dan dengan Universitas Sydney, Australia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dengan minimnya jumlah tes dan pelacakan kontak, pembukaan sekolah hanya akan menimbulkan ledakan wabah. Hingga saat ini, Indonesia berada di urutan ke-23 negara dengan jumlah kasus terbanyak. Namun, jumlah tes yang dilakukan per populasi di Indonesia merupakan yang terendah di daftar 23 negara ini.
Data dari Worldometers.info, Indonesia baru melakukan tes 5,6 per 1.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Inggris yang telah memeriksa 249,9 per 1.000 penduduk. Sementara Australia telah memeriksa 170,7 per 1.000 penduduk.