Partisipasi Masyarakat Adat Lebih Efektif Melindungi Kawasan Konservasi Laut
Kawasan konservasi laut yang didasarkan, terutama, pada penegakan hukuman saja bisa jadi kurang efektif dibandingkan dengan kawasan yang pengelolaannya melibatkan masyarakat adat.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengizinkan masyarakat adat untuk berpartisipasi mengelola kawasan laut yang berkelanjutan terbukti lebih efektif melindungi biomassa di kawasan tersebut daripada hanya mengandalkan penegakan hukum. Temuan ini didasarkan pada penelitian di perairan sekitar Kepala Burung Papua.
Penelitian yang dilakukan tim gabungan dari Indonesia dan Amerika Serikat ini dipublikasikan dalam jurnal Science Advances edisi Mei 2022. Robert Y Fidler dari Institute of Environment and Department of Biological Sciences Florida International University menjadi penulis pertama kajian ini. Peneliti dari Indonesia yang terlibat di antaranya Awaludin Noer dari The Nature Conservancy Indonesia; Purwanto dan Fitriyanti Pakiding dari Universitas Papua; serta Amkieltiela, Estradivari, dan Christian Handayani dari World Wildlife Fund Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia menyadari perlunya melindungi sebagian kawasan perairan. Dalam upaya ini, ada perairan yang ditetapkan sebagai kawasan yang sepenuhnya dilindungi dan sebagian lain sebagai kawasan perlindungan laut multiguna (multiuse marine protected area), yang berarti kawasan tersebut dilindungi secara umum, tetapi penangkapan ikan dan beberapa kegiatan lain oleh sebagian orang diperbolehkan.
Selain itu, beberapa kawasan konservasi perairan yang dilindungi oleh undang-undang melarang kegiatan tertentu, seperti pengambilan ikan lebih dari jumlah tertentu. Sementara itu, kawasan konservasi laut lain dilindungi oleh masyarakat adat yang tinggal di sana. Dalam kajian ini, para peneliti melihat dua pendekatan untuk menentukan mana yang paling berhasil.
Dalam laporan penelitian yang bisa diakses daring pada Senin (6/6/2022) ini, tim peneliti menggunakan kumpulan data pemantauan kuasi-eksperimental jangka panjang dari empat kawasan konservasi laut di sekitar perairan Kepala Burung Papua yang menjadi segitiga terumbu karang. Keempat kawasan yang diteliti adalah Kofiau dan Pulau Boo, Misool Selatan Timur, Selat Dampier, dan Teluk Mayalibit.
Untuk mengukur tingkat perlindungan di lokasi ini, tim menggunakan jumlah biomassa ikan atau massa total semua ikan di area tertentu. Pengukuran biomassa diperoleh melalui kuesioner, peralatan memancing, dan kamera pengintai. Tim kemudian membandingkan total biomassa di area tertentu dari waktu ke waktu antara area yang dikelola dengan mengandalkan penegakan hukum dan yang dikelola masyarakat adat.
”Kami menghitung perubahan temporal biomassa ikan (kilogram per hektar) di 59 lokasi perlakuan dan 28 lokasi kontrol (di luar kawasan konservasi) dari dua survei visual bawah air yang dilakukan di setiap lokasi antara tahun 2010 dan 2016,” tulis Fidler.
Hasilnya, perubahan total biomassa ikan dalam kawasan konservasi antara periode survei berkisar antara 379,9 kg dan 1162,4 kg per hektar dan secara keseluruhan ada sedikit penambahan biomassa. Sementara itu, lokasi kontrol menunjukkan variabilitas tinggi, dengan perubahan biomassa mulai dari 534,5 kg sampai 984,5 kg per hektar.
Ditemukan juga bahwa perubahan biomassa di kawasan larang tangkap tidak hanya secara umum lebih besar daripada di zona multiguna, tetapi juga lebih bervariasi. Ada variasi yang cukup besar dalam hasil di seluruh kawasan konservasi dengan variasi antarkawasan yang jauh lebih besar daripada variasi di dalam kawasan. Selat Dampier menunjukkan perlindungan yang terbaik dalam hal peningkatan biomassa mentah, diikuti oleh Kofiau dan Pulau Boo, Misool Selatan Timur, dan Teluk Mayalibit.
Hasil kami menunjukkan bahwa kawasan konservasi multiguna yang diatur dengan baik dapat mencapai tujuan konservasi tanpa merugikan hak masyarakat adat.
Keterlibatan masyarakat adat
Hasil kajian menunjukkan, pengelolaan kawasan konservasi laut yang didasarkan, terutama, pada penegakan hukuman saja bisa jadi kurang efektif dibandingkan dengan kawasan yang melibatkan masyarakat adat. Hal ini terlihat dari biomassa berkelanjutan yang lebih besar terdapat di daerah yang dikendalikan masyarakat adat dibandingkan dengan daerah yang dikendalikan negara dengan instrumen penegakan hukuman.
Berdasarkan temuan ini, Fidler dan tim menyarankan agar masyarakat adat terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi laut dibandingkan hanya menerapkan hukum positif. ”Hasil kami menunjukkan bahwa kawasan konservasi multiguna yang diatur dengan baik dapat mencapai tujuan konservasi tanpa merugikan hak masyarakat adat,” demikian disebutkan dalam kajian ini.
Lebih lanjut mereka menyarankan agar lebih banyak kawasan konservasi laut yang diserahkan kepada masyarakat adat sebagai sarana untuk melindungi wilayah pesisir di seluruh Indonesia dan bagian lain dunia.