Merokok jadi gaya hidup sebagian masyarakat. Tak mudah berhenti, meski sudah banyak bukti merugikan dari merokok. Pada perempuan, asap rokok selain merugikan diri sendiri juga berdampak buruk bagi bayi yang dilahirkan.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Paparan asap rokok memiliki dampak menghancurkan, mulai dari pertumbuhan janin hingga sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Demikian peringatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Paparan asap rokok pada janin dari ibu hamil yang merokok ataupun ibu yang menjadi perokok pasif terkait dengan cacat bawaan, kelahiran prematur, dan kematian bayi. Ibu yang merokok selama kehamilan memiliki risiko dua kali lipat terkait kematian bayi mendadak dan cacat bawaan dibanding ibu tidak merokok. Sementara paparan sebagai perokok pasif selama kehamilan meningkatkan risiko bayi lahir mati 23 persen dan peningkatan risiko cacat bawaan 13 persen.
“Paparan asap rokok memengaruhi kelangsungan hidup, kesehatan, dan perkembangan anak-anak sebelum dan sesudah lahir,” kata Bernadette Daelmans, Kepala Unit Kesehatan dan Perkembangan Anak di Departemen Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Anak, Remaja dan Penuaan, WHO, 16 Maret 2021.
Data WHO tahun 2010 menyebutkan, sekitar 200 juta dari satu miliar perokok di dunia adalah perempuan. Dari jumlah itu, lebih dari 2,3 juta perempuan per tahun merokok selama kehamilan. Merokok mengakibatkan cacat bawaan, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, dan obesitas pada masa kanak-kanak. Selain itu merokok menghambat produksi air susu ibu.
Merokok mengakibatkan cacat bawaan, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, dan obesitas pada masa kanak-kanak. Selain itu juga menghambat produksi air susu ibu.
Penyebabnya, asap rokok mengandung banyak zat beracun yang mempengaruhi kesuburan, kehamilan, dan angka kelahiran hidup. Selain pertumbuhan, perkembangan morfologi embrionik tertunda akibat merokok di masa perikonsepsi. Perikonsepsi adalah rentang waktu 14 minggu sebelum pembuahan hingga 10 minggu setelah pembuahan.
Awal kehamilan adalah jendela waktu yang penting untuk perkembangan embrio yang optimal dan kesehatan anak jangka panjang. Ibu yang merokok selama periode perikonsepsi dikaitkan dengan keterlambatan perkembangan embrio, janin yang lebih kecil, serta berat badan lahir lebih rendah.
Hambat perkembangan embrio
Penelitian CS Pietersma dan kolega dari Rumah Sakit Pendidikan Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, yang diterbitkan di Human Reproduction, 23 Februari 2022, mendapatkan, pada minggu ke-10 kehamilan, perkembangan embrio tertunda hampir sehari pada ibu hamil yang merokok 10 batang atau lebih per hari dibandingkan ibu bukan perokok, dan tertunda 1,6 hari pada perempuan perokok yang hamil melalui fertilisasi in vitro (IVF) dan injeksi sperma intrasitoplasmik (ICSI).
Penelitian melibatkan 689 perempuan hamil dengan bayi tunggal antara tahun 2010 hingga 2018 dan dipantau hingga satu tahun setelah melahirkan. Dengan menggunakan hasil pemindaian ultrasonografi transvaginal tiga dimensi antara minggu ke tujuh hingga ke-10 kehamilan, digabungkan dengan teknologi realitas virtual, para peneliti melihat perkembangan embrio dan membandingkan morfologi, yakni bentuk eksternal dan internal embrio, dengan standar tahapan perkembangan embrio yang dikenal sebagai Tahapan Carnegie.
Pada pemindaian ultrasonografi lanjutan di usia kehamilan ke-20 minggu, ukuran janin tetap lebih kecil. Disimpulkan, embrio tidak dapat mengejar perkembangan selama kehamilan dan lebih mungkin dilahirkan prematur serta dengan berat lahir rata-rata 93 gram lebih rendah dibandingkan bayi dari ibu non-perokok. Hal ini diperoleh dengan menimbang berat bayi baru lahir serta mengukur lingkar kepala, perut, dan panjang tulang paha.
"Hasil penelitian menekankan pentingnya berhenti merokok sebelum pembuahan. Jika memungkinkan, perempuan harus berhenti merokok sejak berencana untuk hamil. Merokok tidak hanya berdampak pada pertumbuhan embrio selama kehamilan dan berat lahir, tetapi juga perkembangan embrio sejak tahap awal kehamilan," kata Melek Rousian, ahli obstetri dan ginekologi di RS Pendidikan Universitas Erasmus yang memimpin penelitian tersebut, kepada Science Daily, 23 Februari 2022.
Penelitian lain dilakukan Samir Soneji dari Sekolah Kedokteran Geisel, Dartmouth, dan Hiram Beltrán-Sánchez dari Universitas California, Amerika Serikat (AS), yang dilaporkan di JAMA Network Open, 19 April 2019. Penelitian menggunakan data sertifikat kelahiran bayi yang diterbitkan Pemerintah AS dari 25.233.503 ibu yang melahirkan bayi hidup antara tahun 2011- 2017 dengan usia ibu saat melahirkan 25-29 tahun.
Diketahui, perempuan yang berhenti merokok selama hamil ada 24,3 persen pada 2011 dan 24,6 persen tahun 2017. Perempuan perokok yang berhenti pada trimester ketiga kehamilan adalah 39,5 persen di tahun 2011 dan 39,7 persen pada 2017. Sebagian ibu hamil tetap merokok selama kehamilan. Bahkan di tahun 2017, ada 46,9 persen merokok 10 batang per hari di trimester ketiga.
Hasil analisis mendapatkan, risiko kelahiran bayi secara prematur menurun kalau ibu hamil lebih awal berhenti merokok. Jika ibu hamil tetap merokok selama kehamilan, maka risiko kelahiran prematur adalah 9,8 persen.
Risiko kelahiran prematur menjadi 9 persen pada ibu hamil yang berhenti merokok di awal trimester kedua dan 7,8 persen jika ibu berhenti merokok pada awal kehamilan. Namun, risiko kelahiran prematur masih lebih tinggi pada perempuan perokok yang berhenti selama kehamilan dibandingkan dengan perempuan bukan perokok.
Untuk mencegah hasil merugikan terkait merokok pada bayi baru lahir dan pada tahap perkembangan selanjutnya, WHO mendorong kebijakan pengendalian tembakau dan undang-undang bebas asap rokok pada negara anggota. Hal itu karena dampak merugikan tidak hanya terjadi pada bayi dari ibu perokok tetapi juga bayi dari ibu yang mendapat paparan asap rokok dari suami dan lingkungannya.
Bagi Indonesia, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan pengendalian tembakau secara progresif jika ingin mendapatkan generasi muda unggul dan masyarakat yang sehat.