Rokok, tengkes, dan kemiskinan saling berkaitan. Upaya menekan tengkes dan kemiskinan akan sulit optimal selama konsumsi rokok tidak dibatasi.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paparan rokok, langsung maupun tidak langsung, pada ibu hamil, janin, dan bayi, jadi salah satu penyebab tengkes. Karena itu, percepatan penurunan kasus tengkes akan sulit dilakukan jika konsumsi rokok tidak dikendalikan.
Rokok mengandung lebih dari 6.000 zat kimia. Namun, banyak orangtua justru memaparkan zat tersebut pada janin ataupun anaknya. Sebagian anak jadi perokok pasif akibat asap rokok yang diembuskan orangtuanya. Ada pula yang jadi perokok ketiga karena menghirup zat kimia rokok yang menempel di baju, sofa, dinding, atau lingkungan sekitar meski orangtuanya tidak merokok.
Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangkunkusumo, Jakarta, Bernie Endyarni Medise, dalam webinar yang diselenggarakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kamis (20/1/2022), menyebutkan, janin yang terpapar asap rokok berisiko lebih besar lahir prematur, berat badan lahir rendah, cacat sejak lahir, dan meninggal dunia dibandingkan dengan yang tidak terkena asap rokok.
Pada anak, asap rokok berdampak hampir pada semua organ dan memicu berbagai penyakit, mulai dari meningitis, penumonia, penyakit infeksi serius, limfoma, asma, dan leukimia atau kanker darah. Bahkan, asap rokok juga bisa mengurangi kemampuan kognitif atau kecerdasan anak hingga menimbulkan gangguan perilaku.
Jika belanja rokok dikurangi atau dihilangkan, kesempatan keluarga miskin untuk belanja makanan bergizi jadi lebih besar hingga bisa mencegah stunting.
”Penelitian di keluarga perkotaan Indonesia menunjukkan ayah dan ibu yang merokok merupakan faktor risiko terjadi stunting (tengkes) pada anak,” katanya.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial UI, Risky Kusuma Hartono, menambahkan, selain paparan langsung asap rokok, tengkes juga dipicu rendahnya konsumsi protein dan zat gizi lain pada anak. Sebagian keluarga lebih suka membelanjakan pendapatannya untuk rokok daripada membelikan protein untuk anak mereka.
Dalam belanja keluarga, rokok menempati urutan terbesar kedua setelah makanan pokok. Di sisi lain, belanja rokok juga terus meningkat dari waktu ke waktu, sedangkan pengeluaran untuk nasi, daging, dan ikan cenderung turun. ”Tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi keluarga meningkatkan risiko stunting pada anak,” katanya.
Repotnya, sebagian rumah tangga penerima bantuan tunai dalam Program Keluarga Harapan (PKH) justru memakai uang yang diterimanya untuk membeli rokok. Penerima PKH punya peluang 11 persen lebih tinggi merokok dibandingkan dengan yang tidak menerima PKH. Penerima PKH juga merokok lebih banyak 3,5 batang per orang per minggu dan penerima bantuan beras sejahtera merokok lebih banyak 4,5 batang per orang per minggu dibandingkan dengan yang bukan penerima bantuan.
Situasi ini menunjukkan tingginya konsumsi rokok pada keluarga miskin. Akibatnya, rokok, kemiskinan, dan tengkes menjadi saling berkaitan. ”Jika belanja rokok dikurangi atau dihilangkan, kesempatan keluarga miskin untuk belanja makanan bergizi jadi lebih besar hingga bisa mencegah stunting,” kata Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN M Rizal Martua Damanik.
Situasi ini menjadi tantangan besar mengingat BKKBN telah ditunjuk Presiden sebagai ketua program percepatan penurunan tengkes. Prevalensi anak balita tengkes di Indonesia pada 2021 masih mencapai 24,4 persen. Meski angka ini jauh menurun dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, Presiden menargetkan prevalensi tengkes pada 2024 hanya 14 persen.
Tingginya prevalensi tengkes itu membuat Indonesia berada di peringkat ke-108 dari 132 negara yang diukur dan tertinggi ketiga di ASEAN setelah Timor Leste dan Laos. Tengkes membuat tubuh anak pendek dan otaknya tidak berkembang optimal. Konsekuensinya saat dewasa, anak menjadi kurang produktif dan rentan menderita penyakit degeneratif.
Pengendalian
Karena itu, organisasi masyarakat sipil terus mendorong optimalisasi pengendalian rokok. Upaya itu dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari mendorong peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dari 40 persen menjadi 90 persen, menaikkan harga rokok setinggi mungkin dan tidak bisa dibeli batangan, hingga memperluas larangan, promosi dan kegiatan bersponsor rokok.
Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Komite Nasional Pengendalian Tembakau Rita Damayanti menambahkan, proses edukasi bahaya rokok perlu terus digencarkan. Demikian pula pembangunan pusat layanan berhenti merokok di puskesmas bagi mereka yang sudah kecanduan rokok perlu terus didorong.
”Kawasan tanpa asap rokok perlu diperluas guna melindungi makin banyaknya perokok pasif,” ujarnya. Kawasan tanpa asap rokok ini juga bisa dibangun di rumah tangga hingga ibu hamil dan anak lebih terlindungi dari bahaya paparan asap rokok.
Penetapan kawasan tanpa asap rokok di rumah ini, diharapkan Rizal, bisa membantu menekan tengkes. Studi UI bersama Imperial College, London, Inggris, menunjukkan prevalensi perokok pasif dalam rumah di Indonesia mencapai 74,8 persen atau tertinggi dibandingkan dengan negara lain, seperti China yang hanya 48,4 persen, Bangladesh 46,7 persen, dan Thailand 46,8 persen.
Untuk itu, kesadaran kaum bapak untuk tidak merokok di dekat anak dan istrinya perlu terus dibangun. Namun, lebih baik jika mereka bisa menghentikan perilaku merokoknya dan mengalihkan dana yang ada untuk memenuhi gizi anak.
Tim pendamping keluarga BKKBN bisa mengambil peran pembentukan kawasan tanpa rokok dalam rumah tangga tersebut. Langkah ini tak hanya akan menekan tengkes, tetapi juga bisa meningkatkan ekonomi keluarga dan pembangunan sumber daya manusia yang lebih berkualitas.