Isu Rokok, Toleransi, hingga Peringatan Iklim Jadi Kepedulian Anak Muda
Anak-anak muda memiliki caranya dan pemikirannya terkait berbagai isu yang sedang mereka gumuli. Soal intoleransi, rokok, hingga krisis iklim di antaranya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·7 menit baca
Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini menjadi momentum untuk menunjukkan kepedulian pemuda terhadap sejumlah isu penting. Anak-anak muda Indonesia unjuk kepedulian untuk mengatasi berbagai masalah, mulai dari isu kesehatan, toleransi, hingga lingkungan hidup dengan pemikiran-pemikiran dan aksi nyata.
Pada akhir pekan lalu, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) menggelar acara Konsolidasi Poros Pelajar bertajuk ”Quit Smoking, Di mana Peran Organisasi Pelajar?” Acara digelar tim kerja Tobacco Control PP IPM. Turut hadir organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) tingkat nasional lainnya, di antaranya Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU), Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Wathan (PP IPNW), Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII), Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar PERSIS Putri, Dewan Pengurus Pusat Gerakan Siswa Nasional Indonesia (DPP GSNI), dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Al-Washliyah.
Ketua Umum PP IPM Nashir Efendi menyatakan, mereka resah karena anak muda semakin mudah mengonsumsi rokok, ”Kita harus berperan dengan berupaya melakukan pengendalian rokok ini,” kata Nashir.
Deni Wahyu Kurniawan, dosen Universitas Prof Dr Hamka, Jakarta, selaku pemantik pada Konsolidasi Poros Pelajar ini, memaparkan, berdasarkan data, sekitar 75 persen perokok hidup di negara yang memiliki pendapatan menengah dan rendah. Jumlah perokok di Indonesia semakin bertambah, terutama untuk kalangan remaja.
Pokoknya gimana caranya supaya jumlah perokok di negara tersebut jangan lebih dari 5 persen.
Usia merokok dimulai sejak usia yang sangat muda. Untuk usia 10-14 tahun mengalami peningkatan, usia 5-9 tahun yang berarti masih dalam usia SD, sebesar 1,5 persen pada 2013, pada 2019 menjadi 2,5 persen.
”Indonesia sedang panen merokok karena trennya semakin muda. Sekitar 50 persen anak muda yang mulai merokok, umumnya akan terus merokok sehingga berisiko untuk meninggal di usia muda,” kata Deni.
Deni menjelaskan, salah satu faktor peningkatan jumlah perokok muda diakibatkan iklan rokok di Indonesia masih belum diregulasi dengan baik. Hasil dari pemantauan menunjukkan 62,7 persen mengenal rokok dari media elektronik dan media cetak. 89,3 persen melihat melalui billboard, 9 persen melihat barang/benda dengan logo rokok yang dimiliki, 7,9 persen karena ditawari rokok gratis oleh perusahaan rokok. Di sisi lain, 43,6 persen remaja mulai merokok karena iklan yang ditayangkan dalam pelbagai media, baik elektronik maupun inetenet.
Deni menyodorkan MPOWER sebagai salah satu cara untuk mengendalikan tembakau. MPOWER merupakan kepanjangan dari monitor konsumsi produk tembakau dan pencegahannya, melalui jalannya kebijakan. Perlindungan dari paparan asap orang lain. Optimalkan dukungan layanan berhenti merokok. Waspadakan masyarakat bahaya konsumsi tembakau. Eliminasi iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau. Raih kenaikan harga rokok melalui peningkatan cukai dan pajak rokok.
Deni menyampaikan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Ikatan Pelajar Muhammadiyah untuk ikut terlibat dalam agenda pengontrolan tembakau. Pelajar bisa melakukan penyadaran kepada para pelajar. Lalu, pelajar juga bisa melakukan advokasi penguatan kebijakan pengendalian tembakau, serta melakukan denormalisasi industri rokok, dan belajar dari pengalaman negara lain.
”Di negara seperti Selandia Baru, Inggris, Australia, dan Singapura, sudah bukan pengendalian tembakau rokok lagi, melainkan sudah endgame tobacco. Pokoknya gimana caranya supaya jumlah perokok di negara tersebut jangan lebih dari 5 persen,” kata Deni.
Dosa besar pendidikan
Tak hanya soal rokok, isu tentang kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di kalangan anak remaja, terutama pelajar SMA, juga jadi kepedulian anak-anak muda. Untuk itu, Maarif Institute bekerja sama dengan Direktorat Sekolah Menengah Atas Kemendikbudristek menggagas Konferensi Pelajar dengan mengangkat tema yang disebut oleh Mendikbudristek sebagai ”3 dosa besar dalam dunia pendidikan”.
Konferensi Pelajar selama tiga hari ini dihadiri 50 pelajar SMA dari sejumlah daerah di Indonesia. Konferensi dibuka dengan seminar umum yang menghadirkan Ayu Kartika Dewi (Staf Khusus Presiden dan Co-Founder Toleransi.id), Retno Listyarti (komisioner KPAI), dan Yulianti Muthmainnah (Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta). Lalu, ada sesi yang dikhususkan bagi 50 pelajar peserta kongres ditemani oleh para fasilitator dan pemantik diskusi yang bertujuan untuk membincang dan merumuskan bersama upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di sekolah menengah atas.
Para pemantik diskusi yaitu Alimatul Qibthiyah (komisioner Komnas Perempuan), Andika Zakiy Nugroho (Program Koordinator SEJIWA), David Krisna Alka (Managing Editor Geotimes), Habib Husein Ja’far Al Hadar (content creator, pendakwah, dan penulis), Irfan Amalee (pendiri dan pimpinan Pondok Peacesantren Welas Asih Garut), Pdt Jacklevyn Frits Manuputty (Sekretaris Umum PGI), Khelmy K Pribadi (Project Leader).
Komisi Nasional Perempuan dalam Catatan Tahunan 2021 mengungkapkan pada tahun 2020 ada sekitar 30 tenaga pendidik menjadi pelaku kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, pada 2011-2019 terdapat 2.473 kasus perundungan di dunia pendidikan. Lalu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta dalam riset bertajuk ”Api dalam Sekam” menyebutkan sebanyak 51,1 persen siswa dan mahasiswa memiliki opini intoleran terhadap aliran minoritas.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali mengatakan, berulangnya kasus kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi di sekolah menunjukkan bahwa kekerasan masih kerap terjadi dalam dunia pendidikan. ”Berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan akan menimbulkan dampak yang buruk dan menjadi ancaman serius bagi peserta didik,” katanya.
Karena itu, katanya, para pelajar harus menumbuhkan kesadaran dalam kegiatan-kegiatan positif dan menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan terburuk. Ia pun menekankan agar jangan sampai generasi muda seperti tunas-tunas yang tumbuh di hutan belantara, yang akan dengan mudah diintai oleh para predator.
Direktur SMA Kemendikbudristek Suhartono Arham mengatakan, di tengah perbedaan, tidak ada ruang bagi tumbuhnya kekerasan. Dengan berkembangnya media informasi, selalu ada peluang untuk memecah kesatuan bangsa. Namun, keragaman yang ada di Indonesia harus dimaknai sebagai berkah, bukan musibah.
”Keragaman adalah fakta sosial yang tidak bisa kita bantah. Kita berharap, para generasi muda mampu menjadi agen dari pencegahan tiga dosa besar, yaitu kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi,” kata Suhartono.
Perubahan iklim
Tak hanya anak-anak muda di dalam negeri, para pemuda Indonesia di luar negeri juga merayakan Sumpah Pemuda dengan fokus pada masalah tentang isu iklim. Salah satunya dilakukan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris, Perancis, yang mendukung generasi muda Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi dengan semangat Merdeka Belajar yang digaungkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Rekomendasi dari hasil analisis dan kajian dari para pemateri di webinar bertajuk ”Pelajar Indonesia Aksi Peduli Iklim”, karya ilmiah peserta, dan juga kajian praktik baik tentang pengelolaan perubahan iklim di Perancis kemudian disampaikan kepada Pemerintah Indonesia. Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis Hari Restu menyampaikan, webinar digelar sebagai bentuk kepedulian pelajar Indonesia di Perancis untuk mendukung pemerintah menyukseskan komitmen Indonesia mengantisipasi perubahan iklim.
”Komitmen tersebut di antaranya mengurangi emisi demi menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius,” kata Hari.
Kegiatan juga diisi dengan paparan karya ilmiah para mahasiswa yang terpilih sebagai finalis kompetisi karya ilmiah yang bertema aksi iklim. Tampil dalam presentasi sebanyak lima mahasiswa. Lalu, dipilih tiga pemenang.
Juara pertama diraih Ariq Kusuma Wardana dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dengan judul esai ”Peluang Akselerasi Energy Storage di Indonesia Guna Meningkatkan Keandalan Sistem Tenaga Listrik pada Era Transisi EBT”. Peringkat kedua diraih Ridho Arisyadi dari Institut Teknologi Bandung dengan judul esai ”PLTS Atap dan Peralatan Rumah Cerdas sebagai Solusi Krisis Iklim Dari Rumah Tangga Indonesia”, serta peringkat ketiga, Putri Indah Purwati dari Universitas Jember, yang menampilkan karya ”Meminimalisir Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Pertanian melalui Optimalisasi Proses Budidaya pada Lahan Pertanian”.
Wakil Duta Besar KBRI di Paris, Fernando Alwi, menyampaikan, KBRI Paris mendukung upaya para pelajar Indonesia, khususnya yang berkedudukan di Perancis, untuk menyebarluaskan keberhasilan Indonesia dan komitmen pemerintah dalam aksi iklim.
”Contoh keberhasilannya adalah berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menunjukkan bahwa luas kebakaran lahan dan hutan semester pertama tahun 2020 secara keseluruhan mengalami penurunan 52,41 persen. Capaian ini bukti nyata komitmen Indonesia dalam penandatanganan COP ke-21 tahun 2015,” kata Fernando.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Paris, Warsito, mendorong pemuda Indonesia yang belajar di Perancis untuk menimba pengalaman, terutama terkait aksi iklim. Tak kalah penting tentang praktik baik bagaimana Pemerintah Perancis peduli terhadap perubahan iklim, termasuk komitmen para politisi.