Penundaan Revisi Aturan Pengendalian Produk Tembakau Bukti Lemahnya Komitmen Pemerintah
Proses revisi aturan pengendalian tembakau mengalami kemunduran. Hal ini dinilai menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah untuk melindungi masyarakat dari ancaman rokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi peraturan pemerintah mengenai pengendalian produk tembakau yang terus ditunda menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat. Aturan yang kini berlaku sudah tidak relevan. Itu dibuktikan dari tingginya jumlah perokok pemula.
Kementerian Kesehatan mencatat 39 persen dari populasi berumur 15 tahun ke atas di Indonesia merokok. Prevalensi ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, angka perokok anak usia 10-18 tahun juga meningkat. Pada 2013, angka perokok usia itu 7,2 persen, lalu naik menjadi 9,1 persen pada 2018.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Jakarta, Jumat (21/1/2022), menyampaikan, revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan seharusnya tidak lagi ditunda. Penundaan aturan tersebut justru memperkuat persepsi publik yang menilai pemerintah tidak serius menurunkan prevalensi perokok anak di Indonesia.
”Jangan sekadar wacana. Revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 sangat dibutuhkan dalam mengatur pengendalian zat adiktif rokok. Kegagalan revisi aturan tersebut justru menyimpang dari target yang sudah ditentukan pemerintah sendiri,” katanya.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, pemerintah menargetkan angka perokok usia 10-18 tahun turun menjadi 8,7 persen. Target tersebut dinilai tidak akan berhasil tercapai apabila tidak ada langkah serius yang dilakukan.
Menurut Usman, upaya pemerintah dalam mengendalikan dampak buruk produk rokok sangat lambat jika dibandingkan dengan upaya perusahaan rokok mempromosikan produknya kepada masyarakat, khususnya masyarakat usia muda. Promosi dan iklan saat ini makin masif dilakukan di media daring, sedangkan belum ada aturan untuk membatasi hal tersebut.
Selain itu, produsen rokok makin gencar mempromosikan produk rokok elektrik. Aturan yang mengendalikan produk tersebut bahkan belum ada. Padahal, rokok elektrik memiliki dampak kesehatan yang sama buruknya dengan rokok konvensional.
Jangan sekadar wacana. Revisi PP 109 Tahun 2012 sangat dibutuhkan dalam mengatur pengendalian zat adiktif rokok. Kegagalan revisi aturan tersebut justru menyimpang dari target yang sudah ditentukan oleh pemerintah sendiri.
Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyampaikan, kegagalan revisi PP No 109/2012 akan makin menyulitkan upaya negara untuk menjauhkan dan melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya paparan rokok. Produk tembakau tersebut tidak hanya memberikan dampak langsung, tetapi juga tidak langsung pada anak.
Anak dari ayah yang merupakan perokok aktif juga rentan mengalami kekurangan gizi. Rokok telah menjadi sumber pengeluaran keluarga tertinggi kedua setelah beras. Akibatnya, pendapatan keluarga yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli makanan kaya nutrisi bagi anak dialihkan untuk membeli rokok. Tidak dimungkiri, hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab tingginya angka tengkes di Indonesia.
”Kami menyayangkan gagalnya revisi PP No 109/2012 yang menjadi beban bagi anak dalam masa usia produktifnya. Ini bisa menjadi beban ganda bagi anak. Selain menjadi perokok pasif, mereka juga bisa berhadapan dengan orangtua yang memiliki penyakit berat yang disebabkan oleh rokok,” ucap Jasra.
Transparan
Koordinator Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau Ifdhal Kasim menyampaikan, pemerintah diharapkan lebih transparan terkait proses penyusunan revisi PP No 109/2012. Dalam kondisi yang mendesak saat ini, banyak pertanyaan muncul setelah pemerintah memutuskan tidak melanjutkan pembahasan revisi tersebut yang justru mengembalikan kembali ke Kementerian Kesehatan yang sebelumnya sudah sampai ke Sekretariat Negara.
Kondisi itu pun dinilai menjadi kemunduran dalam proses revisi peraturan pengendalian produk tembakau di Indonesia. Adapun isi dari revisi aturan tersebut meliputi, antara lain, mengenai pelarangan penjualan rokok secara eceran, aturan mengenai rokok elektrik, larangan iklan dan promosi rokok, penguatan pengawasan dan sanksi di kawasan tanpa asap rokok, serta perluasan peringatan bergambar pada bungkus rokok.
”Presiden perlu memberikan penjelasan ke publik, apakah keputusan tidak melanjutkan pembahasan revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 merupakan keputusan yang sejalan dengan komitmen membangun Indonesia Sehat? Kami memandang pemerintah perlu transparan mengenai kelanjutan revisi tersebut,” kata Ifdhal.