Penundaan dalam aksi global bersama akan kehilangan kesempatan untuk mengamankan masa depan Bumi yang layak huni. Manusia tidak bakal bisa selamat sendiri tanpa lingkungan yang bisa mendukung kesehatan populasi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Perubahan iklim telah membuat Bumi mendekati ambang batas untuk mendukung kehidupan manusia. Bahkan, beberapa bagian planet ini kini tidak lagi dapat ditinggali. Suhu sudah menjadi terlalu panas, bencana menjadi terlalu parah, permukaan laut terus meninggi, dan biaya untuk tetap tinggal menjadi terlalu mahal sehingga bakal memicu migrasi besar-besaran.
Data ini menjadi bagian penting penilaian komprehensif terbaru dari kelompok peneliti perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Laporan setebal 3.600 halaman yang diterbitkan pada Senin (28/2/2022) itu berfokus pada dampak perubahan iklim, adaptasi, serta kerentanannya menyusul laporan sebelumnya yang dirilis pada Agustus 2021 tentang ilmu dasar di balik pemanasan global.
Laporan baru ini mendefinisikan dua kategori ambang batas adaptasi. Ambang batas ”lunak” adalah skenario yang masih ada opsi untuk mengatasi dampak perubahan iklim, tetapi terkendala keterbatasan biaya atau teknologi. Ambang batas "keras" adalah situasi ketika perubahan fisik begitu drastis dan permanen sehingga tidak ada cara mengurangi risikonya.
Ekosistem yang sehat lebih tahan terhadap perubahan iklim dan menyediakan layanan penting bagi kehidupan, seperti makanan dan air bersih.
Beberapa bagian dunia saat ini sudah melewati ambang batas keras itu. Ekosistem yang sudah melampaui batas adaptasi yang tak bisa dipulihkan itu termasuk beberapa terumbu karang di wilayah tropis, beberapa lahan gambut pesisir, beberapa hutan hujan, serta beberapa ekosistem kutub dan pegunungan.
Dan manusia yang bergantung pada ekosistem ini telah terpengaruh. Terumbu karang, misalnya, merupakan ekosistem yang berharga untuk pariwisata dan perikanan pesisir yang menyumbang sekitar 375 miliar dollar AS untuk ekonomi global setiap tahun. Namun, peningkatan suhu air dan karbon dioksida terlarut dalam air membuat laut lebih asam, menyebabkan beberapa spesies terumbu karang melewati ambang kemampuan bertahan hidup.
Tak hanya dialami flora dan fauna, kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang berubah juga bukan tanpa batas. Kenaikan permukaan laut, misalnya, telah memaksa penduduk pulau-pulau kecil untuk mengungsi secara permanen. Setidaknya lima pulau di Samudra Pasifik telah hilang karena kenaikan air laut. Meningkatnya suhu juga mengubah pola curah hujan dan mencairkan salju, membatasi air tawar untuk minum, dan menghancurkan pertanian.
Para ilmuwan iklim menyebutkan, suhu pemanasan saat ini mengarah pada lebih banyak ”ekstrem majemuk”. Ini terjadi ketika beberapa bahaya iklim, seperti suhu dan curah hujan ekstrem, bisa terjadi bersamaan di tempat yang sama, atau terjadi secara berurutan.
Suhu tinggi yang berkelanjutan, misalnya, dapat menurunkan kelembaban tanah yang akan menekan pertumbuhan tanaman dan pada gilirannya mengurangi curah hujan lokal serta memicu kekeringan. Dengan tren pemanasan saat ini, sekitar 30 persen dari semua area penanaman jagung di Afrika akan berhenti berproduksi dan kacang-kacangan merosot sekitar 50 persen.
Sekitar 3,5 miliar orang di seluruh dunia sudah tidak punya pilihan selain beradaptasi dengan pemanasan yang sedang berlangsung karena mereka tinggal di titik panas yang rentan. Wilayah tropis dan kepulauan, seperti Indonesia, termasuk yang berada di titik rentan itu.
Bukti ilmiah itu kian nyata: perubahan iklim adalah ancaman bagi keberlangsungan manusia dan kesehatan planet ini. Penundaan lebih lanjut dalam aksi global bersama akan kehilangan kesempatan untuk mengamankan masa depan Bumi yang layak huni.
Harapan
Laporan IPCC kali ini sebenarnya tidak mengungkapkan informasi baru, tetapi meringkas dan mengevaluasi bukti ilmiah yang ada. Namun, laporan kali ini memberikan wawasan baru tentang potensi menjaga alam, tidak hanya untuk mengurangi risiko iklim, tetapi juga untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Ekosistem yang sehat lebih tahan terhadap perubahan iklim dan menyediakan layanan penting bagi kehidupan, seperti makanan dan air bersih.
Dengan memulihkan ekosistem yang terdegradasi secara efektif dan merata, berarti kita juga melestarikan 30-50 persen habitat daratan, air tawar, dan laut di Bumi. Sebagai imbalannya, masyarakat dapat memperoleh manfaat dari kapasitas alam untuk menyerap dan menyimpan karbon, dan kita dapat mempercepat kemajuan menuju pembangunan berkelanjutan.
Para ilmuwan menunjukkan bahwa perubahan iklim berinteraksi dengan tren global, seperti penggunaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, urbanisasi yang meningkat, kesenjangan sosial, ataupunkerugian dan kerusakan akibat peristiwa ekstrem dan pandemi, yang membahayakan pembangunan di masa depan.
Penilaian para ilmuwan ini dengan jelas menunjukkan bahwa mengatasi semua tantangan yang berbeda ini membutuhkan keterlibatkan semua orang, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat sipil. Semua mesti bekerja sama untuk memprioritaskan pengurangan risiko serta kesetaraan dan keadilan dalam pengambilan keputusan dan investasi.
Pesan penting lainnya, pengetahuan adat dan lokal juga perlu mendapat tempat penting dari solusi berbasis pengetahuan ilmiah dan teknologi. Dengan cara ini, berbagai kepentingan, nilai, dan pandangan dunia dapat didamaikan. Kegagalan untuk mencapai pembangunan yang tahan terhadap iklim dan berkelanjutan akan menghasilkan masa depan yang lebih suram bagi manusia dan alam.
Laporan ini juga mengakui saling ketergantungan antara iklim, keanekaragaman hayati, dan manusia dan mengintegrasikan ilmu alam, sosial, dan ekonomi lebih kuat daripada penilaian IPCC sebelumnya. Upaya setengah hati dan egois bukanlah pilihan karena pada dasarnya manusia tidak bakal bisa selamat sendiri tanpa lingkungan yang bisa mendukung kesehatan populasi.