Beradu Cepat dengan Guncangan Gempa Bumi
Ilmu pengetahuan belum bisa memprediksi gempa bumi. Namun demikian, guncangan gempa bisa dideteksi lebih dini sehingga kita bisa bersiap menghadapinya, termasuk misalnya menghentikan laju kereta apiagar tak tergelincir.
Sembilan belas kereta Tohoku Shinkansen dengan penumpang nyaris penuh tengah melaju saat gempa berkekuatan M 9,1 mengguncang Tohoku, di pesisir timur Jepang pada 11 Maret 2011. Namun, beberapa detik sebelum guncangan gempa tiba, ke-19 kereta cepat yang bisa melaju hingga 500 kilometer per jam itu telah berhenti.
Tak ada satu pun gerbong kereta yang tergelincir dan terbalik. Tak ada korban jiwa dari penumpang kereta.
Ini bukan suatu kebetulan, namun berkah dari kemajuan ilmu pengetahuan. Sebelum guncangan gempa terjadi, JR East Japan yang mengoperasikan Tohoku Shinkansen telah mendapatkan peringatan dini dari Japan Meteological Agency (JMA) dan secara otomatis menghentikan kereta.
Kalau gempa berpusat di Sesar Lembang, jeda waktu dengan guncangannya kurang dari 10 detik. Bahkan, kalau kereta cepat berada di dekat Bandung, itu tidak ada jeda,
"Sistem Peringatan Dini Gempa (earthquake early warning system/EEWS) bertujuan agar rem bekerja dengan aman dan secepat mungkin untuk menghentikan kereta dengan aman," kata Reiko Seki dari Departemen Fasilitas JR East Japan, dalam publikasi tentang pelajaran dari Gempa Tohoku, yang diterbitkan Pemerintah Jepang di www.gov-online.go.jp.
Sistem peringatan dini ini mampu mendeteksi gempa bumi (gelombang seismik) secara dini, dan secara otomatis menghentikan transmisi daya dari gardu transformator ke kereta api, dan berikutnya secara otomatis pula mengaktifkan rem darurat kereta api.
"Jepang telah memiliki EEWS sejak bertahun-tahun lalu. Mereka termasuk pionir dan telah menerapkannya untuk menghentikan kereta api cepat hingga mematikan PLTN dan aliran gas," kata Kepala Pusat Seismologi Teknik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono.
Tak hanya untuk memitigasi sejumlah infrastruktur penting, sejak 1 Oktober 2007, JMA meluncurkan layanan EEWS kepada publik melalui sejumlah media seperti TV, radio, dan kemudian ke operator telepon genggam. Dengan sistem ini, setiap terjadi gempa bumi, sebelum guncangannya tiba, maka penduduk Jepang sudah lebih dulu mendapatkan peringatan.
Pada umumnya, peringatan dini ini memiliki rentang detik hingga menit sebelum guncangan tiba, tergantung jarak pusat gempa dengan lokasi kita. Semakin jauh pusat gempanya, rentang waktunya bisa semakin panjang.
Cara kerja
Menurut Rahmat, EEWS ini memiliki prinsip untuk mendeteksi lebih dini setelah terjadinya gempa bumi dengan memanfaatkan selisih rambat gelombang P (primary wave) dan gelombang S (secondary wave). Gelombang P diketahui tiba lebih awal, sebelum tibanya gelombang S yang merusak. "Jadi ini bukan untuk memprediksi gempa bumi," kata dia.
Gelombang P pada umumnya bergerak antara 5 dan 8 kilometer per detik. Namun bila sumber gempa lebih dalam, di mana tekanan lebih tinggi dan material lebih padat, gelombang ini dapat merambat hingga 13 kilometer per detik. Sementara itu, gelombang S bergerak sekitar 60 persen dari kecepatan gelombang P. Jadi, di sepanjang permukaan bumi mereka bergerak dengan kecepatan antara 3 dan 4,8 kilometer per detik.
Sistem peringatan dini gempa bumi ini terdiri dari jaringan sensor dan model matematika untuk mendeteksi gempa bumi secara real time dan memperingatkan daerah yang bakal terkena dampak sebelum terjadi guncangan. "Dengan mendeteksi kedatangan gelombang P, kita bisa menyiapkan respons, misalnya dengan mematikan mesin-mesin atau kereta cepat, MRT (mass rapid transport) agar bisa berhenti dulu sebelum terjadinya guncangan," kata dia.
Baca juga : BMKG Bangun Sistem Peringatan Dini Gempa
Selain Jepang, sejumlah negara yang berada di jalur gempa bumi juga sudah memiliki sistem ini, seperti Amerika Serikat, Taiwan, maupun China. "Kebutuhan EEWS di Indonesia memang tak bisa dinafikkan lagi, terutama setelah kita memiliki MRT dan sekarang membangun kereta cepat," kata Rahmat.
Pada 2020, Indonesia mendapat hibah 200 alat EEWS dari China yang dipasang di Yogyakarta, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, hingga Sumatera Utara. Namun demikian, jumlah sensor yang dipasang ini belum memadai mengingat banyaknya sumber gempa di Indonesia. Padahal, untuk bisa mendeteksi dini gempa, dibutuhkan kerapatan alat sensor.
"Bantuan alat dari China ini kan black box, kita tidak bisa utak-atik. Untuk kemandirian, akhirnya kami mencoba membuat sendiri dengan belajar dari sejumlah negara lain, seperti Jepang dan Taiwan," kata Rahmat.
Sejak dirintis dalam dua tahun terakhir, menurut Rahmat, BMKG saat ini sudah memiliki 144 prototipe awal sensor yang terhubung dengan EEWS. Alat ini telah dipasang di 50 lokasi di Bali dan 96 di Banten serta Jawa Barat. "Ke depan, kita akan bangun lebih banyak lagi karena prinsipnya semakin rapat alatnya, akurasinya semakin baik," kata dia.
Menurut Rahmat, EEWS yang dibangun BMKG ini sudah diuji oleh 16 gempa bumi, salah satunya gempa berkekuatan M 6,6 yang berpusat di Samudra Hindia, sebelah selatan Banten pada 14 Januari 2022.
Dalam gempa M 6,6 itu, sistem EEWS telah menerima informasi dini akan datangnya guncangan sekitar 19 detik sebelumnya. "Untuk akurasi parameter gempanya memang harus ditingkatkan, tapi concern (perhatian) kita memang sistem kita bisa mendeteksi hitungan mundur sebelum guncangan tiba," kata dia.
Saat ini EEWS yang dibangun BMKG masih diprioritaskan untuk memberi informasi dini kepada sistem transportasi dan infrastruktur vital lain. Namun, menurut Rahmat, ke depan juga akan meniru Jepang untuk memberi peringatan langsung ke publik.
Keterbatasan
Efektivitas EEWS juga dilaporkan para peneliti dari University College London (UCL) dan European Center for Training and Research in Earthquake Engineering (EUCENTRE) di Nature Communications pada Selasa (8/2/2022). Para peneliti ini menyimpulkan, sistem peringatan dini gempa, dapat memberikan lebih dari 10 detik waktu peringatan di berbagai lokasi di seluruh Eropa jika terjadi gempa di wilayah yang memiliki pergerakan seismik aktif, terutama Yunani, Italia, dan Turki.
Menurut para peneliti ini, jeda waktu yang tertangkap dalam EEWS, bisa menghentikan elevator di lantai terdekat dan membuka pintu serta memperlambat kereta api berkecepatan tinggi untuk menghindari tergelincir. Selain itu, bisa juga mengubah lampu lalu lintas menjadi merah dan mencegah mobil memasuki struktur yang tidak aman seperti jembatan dan terowongan, hingga mematikan saluran pipa gas guna meminimalkan bahaya kebakaran.
Sekalipun demikian, penulis utama penelitian, Carmine Galasso dari UCL mengingatkan,"Penting untuk diingat bahwa sistem peringatan dini gempa selalu melibatkan beberapa ketidakpastian karena proses waktu nyata yang digunakan untuk memperkirakan karakteristik gempa. Beberapa aplikasi dapat menghasilkan kerugian ekonomi yang signifikan jika alarm palsu terjadi, yang pada akhirnya memengaruhi masyarakat."
Rahmat juga setuju dengan keterbatasan ini. Keterbatasan lainnya yaitu kalau sumber gempanya sangat dekat. "Kami sudah memodelkan, kalau gempa berpusat di Sesar Lembang, jeda waktu dengan guncangannya kurang dari 10 detik. Bahkan, kalau kereta cepat berada di dekat Bandung, itu tidak ada jeda," kata dia.
Dengan banyaknya sumber gempa bumi di Indonesia, sistem EEWS harus diintegrasikan dengan tata ruang dan tata bangunan. Infrastruktur vital seharusnya tetap memperhitungkan pentingnya zona bahaya, dan bangunan aman gempa tak bisa ditawar lagi. Peringatan dini gempa tidak akan berguna jika bangunan dan infrastukturnya roboh.