Untuk mengurangi risiko kerugian dan korban jiwa akibat gempa, BMKG membangun sistem peringatan dini gempa. Sistem ini mampu memberi peringatan sebelum guncangan gempa yang merusak tiba.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun gempa bumi belum bisa diprediksi, datangnya guncangan gempa bisa diantisipasi melalui sistem peringatan dini gempa bumi. Kebutuhan peringatan dini gempa meningkat dengan banyaknya pembangunan infrastruktur di zona rawan gempa, termasuk kereta cepat.
”Kami sedang membangun EEWS (earthquake early warning system/sistem peringatan dini gempa) sejak tahun 2020. Prototipenya sudah jadi dan berhasil merekam dua kali kejadian gempa di Banten beberapa waktu lalu. Tahun ini, direncanakan mulai diopersionalkan,” kata Kepala Pusat Seismologi Teknik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono di Jakarta, Kamis (10/2/2022).
Menurut Rahmat, EEWS ini memiliki prinsip untuk mendeteksi lebih dini setelah terjadinya gempa bumi dengan memanfaatkan selisih rambat gelombang P (primary wave) dan gelombang S (secondary wave). Gelombang P diketahui tiba lebih awal sebelum gelombang S yang cenderung merusak. ”Jadi, ini bukan untuk memprediksi gempa bumi,” katanya.
Sistem peringatan di seluruh negara akan memberi orang beberapa detik berharga untuk mengurangi dampak gempa yang berpotensi merusak.
Sistem peringatan dini gempa bumi ini terdiri dari jaringan sensor dan model matematika untuk mendeteksi gempa bumi secara real time dan memperingatkan daerah yang bakal terkena dampak sebelum terjadi guncangan. ”Dengan mendeteksi kedatangan gelombang P, kita bisa menyiapkan respons, misalnya dengan mematikan mesin-mesin atau MRT (mass rapid transport) agar bisa berhenti dulu sebelum terjadinya guncangan,” katanya.
Rahmat menambahkan, prototipe EEWS mampu menerima, mengolah, dan merespons gempa Sumur-Banten M 6,6 pada 14 Januari 2022 dengan baik. ”Parameter hasil EEWS cukup bagus dibandingkan hasil InaTEWS. Akan tetapi, peningkatan model dan parameter tetap diperlukan di masa yang akan datang, termasuk peningkatan kecepatan analisis dan diseminasi,” ujarnya.
Menurut Rahmat, pada tahun 2020 Indonesia mendapat hibah 200 alat EEWS dari China. Meskipun demikian, jumlahnya belum memadai mengingat banyaknya sumber gempa kita. ”Untuk kemandirian, akhirnya kami mencoba membuat sendiri dengan belajar dari sejumlah negara, seperti Jepang, Taiwan, dan sejumlah negara lain yang sudah berhasil menjalankan,” katanya.
Menurut Rahmat, maraknya pembangunan infrastruktur penting, seperti MRT, kereta cepat, dan industri strategis nasional lain, membutuhkan EEWS ini untuk meminimalkan risiko kerusakan dan korban jiwa saat terjadi gempa bumi. ”EEWS secara otomatis bisa dihubungkan ke operator MRT atau kereta cepat sehingga sebelum tibanya guncangan gempa bisa dikurangi kecepatannya atau bahkan dihentikan sehingga tidak tergelincir,” ujarnya.
Rahmat menambahkan, sudah ada 144 prototipe awal EEWS buatan BMKG yang dipasang di 500 lokasi di Bali dan 96 di Banten, serta Jawa Barat. ”Ke depan, kita akan bangun lebih banyak lagi karena prinsipnya semakin rapat alatnya, akurasinya semakin baik,” ucapnya.
Terbukti efektif
Efektivitas EEWS juga dilaporkan para peneliti dari University College London (UCL) dan European Center for Training and Research in Earthquake Engineering (EUCENTRE) di Nature Communications pada Selasa (8/2/2022). Para peneliti dari lembaga tersebut menyimpulkan, sistem peringatan dini gempa yang telah digunakan di Amerika Serikat dan Jepang dapat memberikan lebih dari 10 detik waktu peringatan di berbagai lokasi di seluruh Eropa.
Sebagaimana disebutkan dalam keterangan tertulis yang dirilis UCL, wilayah Eropa Tenggara memiliki pergerakan seismik yang aktif, terutama Yunani, Italia, dan Turki. Saat ini, Yunani dan Italia belum memiliki sistem peringatan operasional, tetapi Romania dan Turki telah memilikinya.
Penulis utama penelitian itu, Gemma Cremen, dari UCL Civil, Environmental & Geomatic Engineering mengatakan, ”sistem peringatan di seluruh negara akan memberi orang beberapa detik berharga untuk mengurangi dampak gempa yang berpotensi merusak.”
Jeda waktu yang tertangkap dalam EEWS bisa memberi peringatan dini untuk menghentikan elevator di lantai terdekat dan membuka pintu, memperlambat kereta api berkecepatan tinggi untuk menghindari tergelincir, mengubah lampu lalu lintas menjadi merah, dan mencegah mobil memasuki struktur yang tidak aman, seperti jembatan dan terowongan, hingga mematikan saluran pipa gas guna meminimalkan bahaya kebakaran.
Dengan temuan ini, tim peneliti merekomendasikan EEWS perlu dibangun lebih rapat lagi di wilayah yang berpotensi terdampak gempa. Laporan penelitian ini juga menyebutkan, komponen terpenting dari sistem peringatan dini gempa ialah jaringan sensor yang padat dengan infrastruktur komunikasi yang cepat dan kuat.
Meskipun demikian, sistem seperti itu juga memerlukan ambang batas guncangan untuk menentukan kapan peringatan dini akan dikeluarkan. Ini akan menghindari kepanikan dan kerugian ekonomi yang tidak perlu di mana tingkat guncangan minimal dan tidak menyebabkan kerusakan.
Penulis utama lainnya, Carmine Galasso dari UCL, mengingatkan, ”Penting untuk diingat bahwa sistem peringatan dini gempa selalu melibatkan beberapa ketidakpastian karena proses waktu nyata yang digunakan untuk memperkirakan karakteristik gempa. Beberapa aplikasi dapat menghasilkan kerugian ekonomi yang signifikan jika alarm palsu terjadi, yang pada akhirnya memengaruhi masyarakat.”