Badai Magnetik Menghancurkan 40 Satelit Starlink
Badai geomagnetik membuat 40 satelit Starlink gagal mencapai orbit. Badai ini umumnya tidak berdampak langsung pada manusia, tetapi mengancam berbagai teknologi manusia.
Badai geomagnetik membuat 40 satelit dari 49 satelit Starlink yang baru diluncurkan gagal mencapai orbit. Sebagian satelit sudah masuk kembali ke atmosfer Bumi dan menimbulkan rangkaian bola api. Satelit yang lain diperkirakan akan masuk dan terbakar di atmosfer Bumi dalam sepekan ke depan.
Sebanyak 49 satelit Starlink milik SpaceX itu diluncurkan ke orbit dari landas luncur 39A di Bandar Antariksa Kennedy di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, pada Kamis (3/2/2022). Satelit-satelit itu meluncur menggunakan roket peluncur Falcon 9, juga milik SpaceX.
Sesuai rencana, satelit-satelit ini akan ditempatkan di orbit rendah Bumi dengan ketinggian 550 kilometer (km) untuk bergabung dengan 1.800-an satelit Starlink lain yang sudah mengorbit. Peluncuran satelit-satelit ini merupakan bagian dari cita-cita SpaceX untuk membangun megakonstelasi satelit yang terdiri atas 42.000 satelit untuk penyediaan akses internet mudah di seluruh penjuru Bumi.
Namun sehari setelah peluncuran, Jumat (4/2/2020), badai geomagnetik datang. Badai ini berupa peningkatan aliran partikel bermuatan yang ada dalam angin Matahari. Peningkatan jumlah partikel bermuatan itu merupakan konsekuensi dari meningkatnya aktivitas Matahari.
Baca juga : Proyek Starlink dan Akhir Era Pembatasan Internet
Badai yang datang saat itu diduga berasal dari lontaran massa korona (CME) yang terjadi di Matahari pada 30 Januari 2022. Lontaran massa korona ini dihasilkan dari ledakan kuat di permukaan Matahari. Materi muntahan dari Matahari itu kemudian tersebar ke lingkungan Tata Surya dan diperkirakan sampai di Bumi pada 2 Februari 2022.
Aliran angin Matahari yang intens itu memunculkan pergeseran arus dan plasma di magnetosfer atau medan magent Bumi. Menurut Pusat Prediksi Cuaca Antariksa, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), interaksi antara angin Matahari dan magnetosfer Bumi itu bisa menghangatkan dan meningkatkan kepadatan atmosfer Bumi bagian atas.
Kondisi ini bisa mengganggu peluncuran satelit-satelit di orbit rendah Bumi, seperti yang dialami Starlink. Semula, setelah diluncurkan, 49 satelit Starlink itu diitempatkan di orbit awal setinggi 210 km sebelum mencapai orbit tujuan. Menurut SpaceX, seperti dikutip Space, Rabu (9/2/2022), penempatan orbit awal yang rendah itu dilakukan agar jika terjadi kegagalan setelah peluncuran, satelit-satelit tersebut dapat dibuang dengan cepat.
Namun, desain orbit itu ternyata membuat satelit rentan dengan badai geomagnetik. ”Sistem penentuan posisi global positioning system (GPS) yang ada di satelit menunjukkan peningkatan 50 persen hambatan di atmosfer Bumi dibanding peluncuran sebelumnya dan memengaruhi kecepatan eskalasi satelit,” kata SpaceX dalam keterangan tertulisnya.
Untuk meminimalkan dampak yang terjadi akibat peningkatan hambatan tersebut, satelit diatur dalam ”mode aman” dan diperintahkan untuk terbang melayang, tanpa menggunakan bahan bakar yang ada dalam satelit.
Proses itu dilakukan SpaceX bekerja sama dengan Angkatan Luar Angkasa (Space Forces) AS, cabang baru dari angkatan bersenjata AS yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2018, dan perusahaan LeoLabs untuk melacak keberadaan satelit-satelit itu menggunakan radar darat.
Baca juga : Industri Satelit, Industri Masa Depan
Ternyata, hambatan yang terjadi bagi satelit-satelit itu terlalu besar. Terlebih, mereka dipasang dalam mode aman yang membuatnya sulit bermanuver dengan keadaan yang ada, meski manuver ini juga berisiko. Akibatnya, ke-40 satelit Starlink itu diperkirakan akan jatuh beberapa hari setelah diluncurkan.
Prediksi itu akhirnya terjadi. Senin (7/2/2022) pagi, sebagian puing-puing luar angkasa dari satelit Starlink akhirnya jatuh ke atmosfer Bumi dan terlihat sebagai rangkaian bola api di Puerto Riko. Kehadiran bola api itu berhasil direkan dengan kamera yang dioperasikan Himpunan Astronomi Karibia (Sociedad de Astronomia del Caribe) yang berpusat di Puerto Riko.
Analis penjejak satelit Marco Langbroek yang berbasis di Belanda, seperti dikutip Space, Kamis (10/2/2022), menyebut, dalam video 3 menit rangkaian bola api itu ada dua kelompok bola api yang terpisah selama 1 menit. Dua kelompok bola api itu bisa berasal dari satu satelit sama lalu terpecah jadi dua bagian saat memasuki atmosfer Bumi atau dari dua satelit berbeda yang memiliki bidang orbit sama.
Namun, dari analisis bidang orbit peluncuran satelit Starlink yang ada di atas wilayah Puerto Riko dan arah gerak bola api yang sama dengan arah gerak satelit Starlink, yaitu dari barat daya ke timur laut, maka rangkaian bola api yang terlihat di Puerto Riko itu diduga berasal dari satelit Starlink.
”Sebanyak 40 satelit yang masuk kembali ke atmosfer Bumi dalam waktu satu minggu itu unik. Pekan depan, penduduk Bumi yang tinggal di antara 53 derajat lintang utara hingga 53 derajat lintang selatan bisa menyaksikan rangkaian bola api tersebut. Jadi, jangan lupa pantau langit,” kata Langbroek. Rentang wilayah yang bisa menyaksikan bola api itu merupakan konsekuensi dari kemiringan orbit Starlink sebesar 53,2 derajat.
Ancaman masa depan
Meski badai geomagnetik telah menghancurkan 40 satelit Starlink, koordinator program di Pusat Prediksi Cuaca Antariksa NOAA, Bill Murtagh, mengatakan, badai geomagnetik itu bukanlah persoalan besar. ”Ini hanya kesalahan dalam penentuan waktu peluncuran,” tegasnya.
Baca juga: Menguasai Teknologi Satelit, Merengkuh Kesejahteraan
Namun, itu bukan berarti cuaca antariksa tidak berpengaruh pada kerja satelit di luar angkasa. Partikel bermuatan dan berenergi tinggi dari badai geomagnetik itu bisa menembus satelit hingga menimbulkan gangguan atau berdampak pada satelit. Partikel bermuatan itu bisa melepaskan listrik statis atau menambah daya satelit hingga memengaruhi sistem daya satelit.
Dalam beberapa tahun ke depan, ancaman badai geomagnetik itu akan semakin besar seiring makin dekatnya puncak maksimum dari periode siklus Matahari. Sejak 2020, Matahari memasuki siklus baru cuaca Matahari. Siklus cuaca Matahari ini ditandai dengan peningkatan aktivitas di Matahari.
Selama dua tahun terakhir, tidak banyak pergolakan yang terjadi di Matahari. Kini, aktivitas Matahari mulai meningkat dan diprediksi mencapai puncaknya pada 2025. ”Akan ada peningkatan aktivitas cuaca luar angkasa (dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Murtagh.
Akan ada peningkatan aktivitas cuaca luar angkasa (dalam beberapa tahun ke depan.
Peningkatan aktivitas Matahari dan badai geomagnetik itu menimbulkan risiko yang beragam. Situasi itu membuat jaringan pemantau cuaca antariksa dunia, operator satelit, hingga pengelola jaringan listrik di Bumi khususnya yang ada di daerah lintang tinggi perlu bersiaga.
Bagi operator satelit, saat badai geomagnetik datang, operator umumnya telah memiliki langkah-langkah mitigasi untuk meminimalkan risiko badai pada satelit mereka yang ada di orbit. Saat badai geomagnetik datang, peluncuran satelit seharusnya ditunda.
Badai geomagnetik ini juga bisa berdampak bagi Bumi. Jika badai geomagnetik yang terjadi ringan, bisa memicu munculnya cahaya indah aurora di kutub Bumi. Namun jika ledakan yang terjadi di Matahari besar, bisa mengakibatkan kegagalan jaringan listrik dan kerusakan permanen pembangkit listrik seperti yang terjadi di Kanada pada 1989 dan Swedia 2003.
Baca juga: Kebutuhan Layanan Satelit Telekomunikasi Tumbuh Pesat
”Badai geomagnetik adalah proses yang rumit karena ledakan itu terjadi di permukaan Matahari yang jaraknya mencapai 150 juta km dari Bumi.” kata Murtagh. Karena itu, ketidakpastian dalam memprediksi ledakan di Matahari ini cukup tinggi. Terkadang, prediksi lontaran massa korona meleset dari perkiraan dan menimbulkan dampak bagi Bumi.
Meski demikian, seperti dikutip Kompas, 10 Maret 2011, selama ini badai geomagnetik itu tidak menimbulkan dampak pada manusia di Bumi. Kerentanan umumnya ada pada antariksawan yang bertugas di stasiun luar angkasa dan harus bekerja di luar wahana atau spacewalk.
Dampak terbesar dari badai geomagnetik ini ada pada teknologi buatan manusia, baik yang ada di Bumi maupun luar angkasa, yang akhirnya berdampak juga pada kehidupan manusia.