Starlink membuat siapa pun di mana pun bisa mengakses internet yang terhubung ke satelit. Dalam kondisi itu, mustahil membatasi akses internet, seperti dilakukan beberapa negara.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Roket Falcon 9 kembali berdiri di pelantar peluncuran pada Rabu (24/6/2020) sore waktu Florida, Amerika Serikat, atau Kamis dini hari WIB. Roket perusahaan SpaceX itu dijadwalkan diluncurkan pada Kamis sore pukul 16.34 waktu setempat atau Jumat dini hari WIB. Roket itu membawa mimpi buruk bagi banyak pemerintah serta perusahaan telekomunikasi dan perantara transaksi keuangan global.
Seperti penerbangan-penerbangan sebelumnya, Falcon 9 akan kembali mengangkut satelit-satelit Starlink. Penerbangan kali ini akan membuat hampir 600 satelit Starlink mengorbit pada akhir Juni 2020. Dalam sejumlah wawancara dengan CNN, Presiden SpaceX Gwynne Shotwell mengatakan bahwa jumlah itu cukup untuk memulai uji coba layanan Starlink di Amerika Serikat dan Kanada.
Starlink bukan satu-satunya penyedia jasa di sektor itu. Sejumlah perusahaan lain juga membidik bisnis itu dan sebagian telah mulai meluncurkan satelitnya.
Ke depan, kala ribuan satelit itu sudah mengorbit, layanan akan tersedia untuk siapa pun di permukaan bumi. Dalam beberapa tahun ke depan, tidak perlu lagi investasi hingga triliunan dollar AS untuk membentangkan berkilometer kabel di bawah laut atau ke daerah terpencil demi menyediakan internet. Setiap pelanggan Starlink atau perusahaan sejenis hanya membutuhkan antena sebesar piring makan untuk mengakses layanan internet berbasis satelit itu. Inilah bencana untuk perusahaan telekomunikasi yang kini bisnisnya mengandalkan bentangan kabel.
Selain bisa diakses dari mana saja, teknologi membuat internet dari Starlink berkecepatan tinggi. Dalam uji coba dengan Angkatan Udara AS, kecepatan unduhan dengan Starlink mencapai 600 mbps atau 60 kali lebih tinggi dari rata-rata kecepatan internet di Indonesia. Hanya butuh kurang dari 5 detik untuk mengunduh berkas, yang bisa berupa film atau musik, berukuran 2 gigabita.
Dalam artikel di South China Morning Post, pengamat pasar modal Neil Newman menulis, Starlink membawa mimpi buruk bagi lembaga investasi dan perusahaan perantara transaksi keuangan global. Sebab, teknologinya memangkas waktu tunda sambungan dari rata-rata 77 milidetik menjadi hampir separuhnya.
Pemangkasan itu tidak penting bagi pengguna internet biasa. Walakin, selisih sekian puluh milidetik amat penting dalam pemrosesan jutaan transaksi keuangan global. Jika nilai penawarannya sama, penawaran yang lebih dulu akan diproses. Perusahaan-perusahaan yang masih mengandalkan sambungan kabel akan terus-menerus kalah saing dalam proses penawaran seperti itu. Karena itu, perusahaan-perusahaan tersebut akan meninggalkan internet kabel dan hal itu berarti bencana besar bagi penyedia internet berbasis kabel. Sebab, perusahaan keuangan adalah konsumen besar internet.
Isu pembatasan internet
Bukan hanya swasta yang terancam oleh Starlink dan perusahaan sejenis. Peluang Starlink diakses dari mana saja membuat pembatasan internet nyaris mustahil dilakukan.
Pembatasan internet masa kini terjadi karena kombinasi tiga hal. Pertama, internet lewat satelit kini terlalu mahal. Kedua, layanan internet dengan harga terjangkau belum mencapai banyak tempat di bumi. Ketiga, pemerintah masih memegang kendali pada penyediaan layanan internet dengan harga terjangkau. Paling tidak untuk izin menanam kabel atau penggunaan frekuensi pada stasiun pemancar.
Pakar internet Onno W Purbo bolak-balik mengatakan bahwa izin penggunaan frekuensi menjadi salah satu hambatan pengembangan internet komunitas yang mandiri dan lebih terjangkau masyarakat.
Adapun perusahaan penyedia jasa sambungan internet tidak berani mengambil risiko kehilangan izin operasi jika tidak mematuhi ketentuan atau permintaan pemerintah. Permintaan itu termasuk pembatasan akses, baik sebagian maupun seluruhnya. Pembatasan sebagian berupa penutupan untuk kata kunci atau laman tertentu. Sementara pembatasan total berarti sama sekali tidak ada layanan internet. Pemerintah di Eropa, Amerika, Asia, hingga Afrika memberlakukan pembatasan akses dengan cara masing-masing.
Dengan Starlink, tiga hal itu teratasi. Mungkin saja beberapa negara berusaha melarang pembelian antena Starlink atau perusahaan sejenis. Walakin, kemajuan teknologi akan menyediakan cara menembus hambatan itu. Cara lain, meminta Elon Musk, pemilik SpaceX, membatasi akses untuk lokasi atau hal tertentu. Hal itu mendekati mustahil karena Musk, sebagaimana dikutip Bloomberg dan Financial Times, menginginkan Starlink menjadi sumber pemasukan untuk mendanai proyek penjelajahan ke Mars. Hal itu membuat Musk sulit menyetujui apa pun yang mungkin membatasi Starlink menambah pelanggan.