Gangguan Kognitif Pasca-Covid-19
Setelah sembuh dari Covid-19, sejumlah orang masih mengeluhkan sesak napas, mudah lelah, bahkan gangguan kognitif seperti mudah lupa, tidak fokus, bingung, dan sulit berpikir. Perlu dipikirkan perawatan untuk mengatasi.

Pasien Covid-19 sedang dirawat di salah satu rumah sakit di Kupang, Kamis (7/1/2021). Pasien Covid-19 butuh oksigen untuk membantu pernapasan. Gangguan pernapasan menyebabkan otak kekurangan oksigen yang bisa menimbulkan gangguan kognitif hingga beberapa bulan sesudah pasien sembuh.
Setelah pulih dari Covid-19, banyak orang dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari tanpa kesulitan. Namun, ada sebagian penyintas yang mengalami masalah.
Meski hasil tes reaksi rantai polimerase (PCR) telah negatif, sejumlah orang masih merasakan gejala penyakit hingga beberapa bulan. Kondisi itu dikenal sebagai long Covid.
Selain sesak napas, mudah lelah, dan gejala fisik lain, ada yang mengeluhkan gangguan kognitif, yakni proses mental yang berhubungan dengan memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Manifestasinya dari mudah lupa, tidak fokus, sering bingung, hingga sulit berpikir dan hambatan komunikasi.
Sejumlah penelitian membuktikan adanya masalah dengan ingatan, perhatian, dan pemrosesan pikiran pada penyintas Covid-19. Hal itu terutama pada mereka yang mengalami gejala parah sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Baca juga: Virus Korona Penyebab Covid-19 Diduga Dapat Menyerang Otak
Jacqueline H Becker dan kolega dari Sekolah Kedokteran Icahn di Mount Sinai, New York, Amerika Serikat (AS), di JAMA Network Open, 22 Oktober 2021, melaporkan, orang yang selamat dari Covid-19 mungkin mengalami gangguan kognitif, yang digambarkan sebagai kabut otak (brain fog), selama beberapa bulan pasca-Covid-19.
Tim menganalisis data studi cross-sectional dari April 2020 hingga Mei 2021 pada 740 penyintas Covid-19 yang terdaftar di Sistem Kesehatan Mount Sinai. Mereka pernah mendapat perawatan untuk Covid-19, baik rawat jalan, rawat inap, maupun unit gawat darurat.
Peserta berusia 18 tahun atau lebih, rata-rata 49 tahun, dan tidak memiliki riwayat demensia. Para peneliti menggunakan langkah-langkah neuropsikologis yang divalidasi dengan baik untuk meneliti, antara lain, perhatian, kecepatan pemrosesan, fungsi eksekutif (kemampuan merencanakan, menetapkan, dan menyelesaikan tujuan), pengodean memori, ingatan memori, dan kemampuan pengenalan.

Salah seorang penyintas Covid-19, Landhyta Swastika (27), menceritakan pengalamannya masih bergulat dengan long Covid saat ditemui secara virtual pada Minggu (6/12/2020).
Hasilnya, 24 persen peserta memiliki masalah dalam pengodean memori atau kemampuan mempelajari informasi baru. Gangguan ingatan memori, yakni pengambilan informasi yang dipelajari sebelumnya, terjadi pada 23 persen peserta, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas yang membutuhkan pikiran atau kecepatan pemrosesan lebih lambat 18 persen.
Penelitian itu menunjukkan, gangguan kognitif masih terjadi rata-rata 7,6 bulan setelah diagnosis Covid-19.
Dibandingkan dengan pasien rawat jalan, mereka yang sempat dirawat di rumah sakit berisiko lebih tinggi mengalami masalah perhatian, pengodean memori, serta fungsi eksekutif. Penelitian itu menunjukkan, gangguan kognitif masih terjadi rata-rata 7,6 bulan setelah diagnosis Covid-19.
Baca juga: Mewaspadai Fenomena ”Long Covid”
Penelitian lain dilakukan tim gabungan ilmuwan Inggris dan AS, Hannah E Davis dan kolega dari Patient-Led Research Collaborative, yang dipublikasi secara daring 15 Juli 2021 di EclinicalMedicine. Mereka melakukan survei daring yang disebar lewat kelompok dukungan long Covid dan media sosial. Data dikumpulkan sejak 6 September 2020 hingga 25 November 2020 pada responden yang gejalanya berlangsung selama 28 hari dan muncul sebelum Juni 2020.
Tim menganalisis respons dari 3.762 peserta yang terkonfirmasi Covid-19 (antibodi positif; 1.020) dan suspek (antibodi negatif atau belum diuji; 2.742) dari 56 negara. Tim mengukur dampaknya pada kehidupan, pekerjaan, dan waktu pemulihan.
Lebih dari 91 persen responden menyatakan, perlu waktu pemulihan lebih dari 35 minggu. Selama sakit, mereka mengalami gejala pada hampir 10 sistem organ. Gejala paling sering terjadi setelah bulan keenam pasca-Covid-19 meliputi kelelahan, tidak enak badan setelah beraktivitas, serta disfungsi kognitif.
Masalah long Covid juga dilaporkan Adam Hampshire dan kolega dari Inggris di EClinicalMedicine, 23 Juli 2021. Tim meneliti hubungan fungsi kognitif dengan infeksi Covid-19 yang bergejala gangguan pernapasan pada 81.337 responden antara Januari dan Desember 2020. Peserta mengisi kuesioner daring untuk menilai defisit kognitif. Kemudian semua peserta menjalani tes psikologi secara langsung untuk menilai fungsi kognitif.
Didapatkan, mereka yang pulih dari Covid-19, termasuk yang tidak lagi melaporkan gejala, menunjukkan defisit kognitif yang signifikan dibandingkan kontrol atau yang belum pernah terinfeksi Covid-19.
Menyerang sistem
Laman kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Harvard menyebutkan, semakin banyak bukti bahwa SARS-CoV-2 menyerang sistem saraf. Covid-19 dapat menyebabkan kerusakan otak melalui infeksi langsung berupa ensefalitis, stroke, dan kekurangan oksigen. Penderita Covid-19 umumnya mengalami penurunan saturasi oksigen. Ada bukti kerusakan otak ringan pada mereka yang selamat dari Covid-19 yang menyebabkan masalah pada kemampuan kognitif, perilaku, dan psikologis.
Dokter di pusat medis besar Chicago, AS, menemukan, lebih dari 40 persen pasien Covid-19 menunjukkan manifestasi neurologis, dan lebih dari 30 persen mengalami gangguan kognisi. Penelitian di Inggris terhadap 12 pasien dengan ensefalitis mendapatkan, satu sembuh total, 10 sembuh sebagian, dan satu meninggal. Studi ini juga menemukan, sejumlah pasien Covid-19 mengalami stroke.

Petugas menyuntikkan vaksin Covid-19 ke pekerja dalam Gebyar Vaksinasi Covid-19 di Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, pada Rabu (1/9/2021). Vaksinasi bersama penerapan protokol kesehatan menjadi upaya mencegah penularan Covid-19.
Di Kanada, para dokter menemukan, orang berusia di atas 70 tahun berisiko tinggi terkena stroke terkait Covid-19. Bahkan, orang muda tujuh kali lebih mungkin terkena stroke akibat SARS-CoV-2 dibandingkan virus flu biasa.
Data otopsi dari pasien Covid-19 di Finlandia menunjukkan, penyebab utama kerusakan otak adalah kekurangan oksigen. Saat dirawat, beberapa pasien tidak menunjukkan tanda-tanda cedera otak. Namun, ketika diotopsi semua menunjukkan kerusakan otak.
Penelitian tim dokter Universitas Johns Hopkins dan Fakultas Kedokteran Harvard menemukan sel besar yang disebut megakariosit, yakni sel penghasil keping-keping darah untuk pembekuan darah, di kapiler otak orang yang meninggal karena infeksi Covid-19. Sel-sel ini dapat dikaitkan dengan stroke.
Baca juga: Gejala Sisa yang Tak kunjung Reda
Pada pasien yang sembuh setelah dirawat di unit perawatan intensif karena gagal napas akut atau sebab lain, sepertiga menunjukkan kerusakan kognitif parah sebanding dengan penderita gegar otak sedang.
Dalam kehidupan sehari-hari, gangguan kognitif menyebabkan kesulitan mengelola obat, keuangan, memahami bacaan, bahkan berkomunikasi dengan teman dan keluarga. Sementara efek psikologis jangka panjang umumnya kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma.
Penelitian tim dokter Jerman dan AS menyimpulkan, kombinasi efek langsung dari virus, peradangan sistemik, stroke, serta kerusakan pada organ tubuh seperti paru-paru dan hati dapat membuat penderita Covid-19 berisiko tinggi terkena penyakit Alzheimer di masa depan.
Hal itu dikuatkan penelitian Wei-Bin Shen dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Maryland, AS. Dalam makalah yang belum dikaji rekan sejawat dan diunggah di bioRXiv pada 1 Februari 2022, tim memaparkan SARS-CoV-2 menyerang otak lima pasien Covid-19 yang tidak memiliki riwayat Alzheimer dengan menginfeksi sel saraf dan sel lain di jaringan saraf terluar otak. Disebutkan, SARS-CoV-2 menyebabkan gangguan saraf mirip Alzheimer, yakni penumpukan beta-amiloid dan pembentukan plak, endapan protein tau, peradangan saraf, serta kematian sel.
Berbagai temuan itu menunjukkan perlunya perhatian pada pengobatan jangka panjang bagi mereka yang mengalami long Covid. Selain itu, mengingat kita tidak pernah tahu dampak SARS-CoV-2 pada tubuh, yang bisa dilakukan adalah menghindar dari infeksi Covid-19, yakni dengan vaksinasi dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.