Ada enam strategi yang bisa ditempuh setiap negara ASEAN untuk menyelamatkan cagar biosfer dari dampak perubahan iklim.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
WAKATOBI, KOMPAS — Hampir semua negara di ASEAN menghadapi permasalahan serupa dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati cagar biosfer di wilayah mereka. Kolaborasi antarnegara di kawasan regional menjadi kunci agar sejumlah tujuan dari kesepakatan yang sudah dibuat bisa terwujud.
Ketua Komite Pelaksana Program Program Manusia dan Biosfer (Program MAB) Indonesia Maman Turjaman mengungkapkan, banyak tantangan untuk mewujudkan Rencana Aksi Lima di Indonesia, di antaranya perkembangan infrastruktur dan manusia di cagar biosfer, rendahnya dukungan logistik, dana, dan kerja sama untuk riset, serta birokrasi pemerintahan yang membuat anggaran tidak digunakan secara maksimal.
Rencana Aksi Lima adalah kesepakatan pelestarian cagar biosfer yang disepakati kongres Jaringan Cagar Biosfer Dunia (WNBR) yang digelar di Lima, Peru, pada 2016. Kongres sepuluh tahunan ini selanjutnya akan digelar di Hangzhou, China, pada 2025.
”Dana untuk program riset dan inovasi sangat terbatas, kami di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) selalu menyampaikan bahwa ini penting dan kami berharap kolaborasi negara anggota program MAB bisa saling mendukung,” kata Maman saat Konferensi Internasional Jaringan Cagar Biosfer Asia Tenggara (SeaBRnet) ke-15 di Patuno Resort, Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Selasa (30/4/2024).
Selain itu, kata Maman, ada pula faktor eksternal, seperti kepentingan investasi pembangunan dari pemerintah ataupun swasta yang mengganggu cagar biosfer. Belum lagi masalah pergantian kepemimpinan pemerintahan yang membuat program tidak berkelanjutan.
Ini bergantung pada kerja kolektif dan inovasi kita. Kolaborasi multipihak untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati.
Tantang serupa juga dialami negara ASEAN lain, seperti Kamboja. Perwakilan dari Direktorat Perikanan, Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Kamboja, Hong Chamnan, mengungkapkan, masalah di negaranya juga terkait dengan pertumbuhan populasi, penangkapan ikan berlebihan, minimnya dana, dan perubahan iklim yang hambatan pelestarian cagar biosfer Tonle Sap.
”Musim kering yang berkepanjangan mengakibatkan penurunan kualitas air dan memengaruhi habitat ikan dan biota laut lainnya, serta mengakibatkan meningkatnya kebakaran hutan di wilayah cagar biosfer,” kata Hong.
Indonesia memiliki 20 kawasan cagar biosfer seluas 30,5 juta hektar yang sudah dikukuhkan UNESCO. Mulai dari Cibodas, Komodo, Tanjung Puting, Lore Lindu, Siberut, Gunung Leuseur, Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Wakatobi, Bromo Tengger Semeru-Arjuno, Takabonerate-Kepulauan Selayar, Blambangan, Betung Kerihun Danau Sentarum, Berbak-Sembilang, Rinjani, Togean Tojo Una-una, Saleh-Moyo-Tambora, Bunaken Tangkoko Minahasa, Karimunjawa, Merapi-Merbabu-Menoreh, dan Bantimurung Bulusaraung Ma’rupanne.
Namun, Maman mengungkapkan, Pemerintah Indonesia memang belum secara keseluruhan melakukan Rencana Aksi Lima pada 20 cagar biosfer tersebut. Oleh karena itu, pemerintah masih perlu melaporkan upayanya mendukung dan mempertahankan cagar biosfer bumi di sidang UNESCO yang belum pernah dilaporkan.
Kegiatan pelestarian di tiga cagar biosfer, yakni Cibodas, Giam Siak Kecil-Bukit Batu, dan Wakatobi, sudah ditinjau ulang dan dilaporkan dalam Kongres Jaringan Cagar Biosfer Dunia (WNBR) pada Juli 2023 di Kantor UNESCO, Paris, Perancis. Pemerintah Indonesia juga tengah berupaya menambahkan Raja Ampat di Papua Barat atau Palung Mendawak di Kalimantan Barat untuk menjadi cagar biosfer UNESCO selanjutnya.
Enam strategi
Sekretaris SeaBRnet Ryuichi Fukuhara menjabarkan, setidaknya ada enam strategi yang bisa ditempuh dalam pelestarian cagar biosfer dalam 10 tahun ke depan. Pertama, setiap negara perlu membandingkan capaian kerjanya dalam 10 tahun terakhir dengan program manusia dan biosfer (Program MAB UNESCO).
Kemudian tetapkan ukuran hasil untuk menilai kemajuan, seperti integrasi praktik berkelanjutan, tingkat keterlibatan masyarakat, dan kontribusi pembangunan regional, lalu dihubungkan dengan indikator SDG yang relevan. Setelah itu, identifikasi kesenjangan antara hasil yang diinginkan dan pencapaian saat ini dengan mencatat bagian-bagian yang belum mencapai target.
”Dengarkan masyarakat lokal, lembaga konservasi, dan pembuat kebijakan untuk bisa mendapatkan gambaran untuk tentang tantangan di area pengembangan cagar biosfer,” kata Ryuichi.
Selain itu, pertimbangkan pula faktor eksternal, seperti perubahan lingkungan, perubahan politik, dan tantangan sosio-ekonomi yang bisa menghambat kemajuan, lalu lakukan penyesuaian. Terakhir, pastikan strategi yang ditetapkan adalah perbaikan yang berkelanjutan dengan memperkuat kolaborasi lintas sektor yang bersama-sama berinovasi.
Kolaborasi antarnegara
Direktur Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) di Jakarta Maki Katsuno Hayashikawa menegaskan, saat ini Bumi tengah menghadapi bermacam masalah lingkungan akibat aktivitas manusia yang yang bermuara para terjadinya perubahan iklim. Sementara itu, generasi masa depan lah yang harus menanggung akibatnya.
SeaBRnet ke-15 yang digelar di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 30 April sampai 2 Mei 2024 ini akan menjadi wadah diskusi dan evaluasi atas berbagai upaya yang dilakukan negara-negara ASEAN atas permasalahan ini. Peluang untuk menjalin kolaborasi juga terbuka.
”Ini bergantung pada kerja kolektif dan inovasi kita. Kolaborasi multipihak untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati,” kata Maki.
Hasil SeaBRnet akan dicanangkan dalam Deklarasi Bajau pada akhir konferensi sebagai kontribusi pemikiran ASEAN yang akan dibawa ke kongres WNBR di Hangzhou, China, pada 2025.