Terapi Menulis Bantu Pasien Kanker Hadapi Ketakutan
Terapi menulis membantu pasien kanker mengatasi ketakutan dan kecemasan berkaitan dengan penyakit yang dideritanya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasien kanker sering dibayangi ketakutan akan penyakit yang dideritanya. Tidak jarang ketakutan itu menyebabkan kecemasan dan depresi. Penelitian terbaru di University of Colorado Boulder, Amerika Serikat, mengungkapkan, terapi menulis membantu pasien kanker stadium akhir menghadapi ketakutan tersebut.
Hasil laporan penelitian ini telah dipublikasikan di Journal of Palliative Medicine pada April 2024. Dalam studi tersebut, puluhan pasien kanker stadium III dan IV diminta menceritakan perasaan mereka tentang skenario terburuk terhadap penyakit yang dideritanya. Setelah itu, pasien menuliskan rencana mereka dalam menghadapinya untuk menghadirkan skenario yang lebih baik.
Profesor di Departemen Psikologi dan Ilmu Saraf University of Colorado Boulder, Joanna Arch, mengatakan, lebih mudah menulis tentang sesuatu yang traumatis ketimbang mengungkapkannya dengan lantang. ”Temuan kami menunjukkan bahwa peserta dapat menulis jalan mereka menuju kesehatan yang lebih baik sehingga membantu mengurangi trauma, depresi, kecemasan, dan ketakutan terkait kanker,” ujarnya dilansir dari Eurekalert.org, Selasa (23/4/2024).
Menuliskan berbagai kekhawatiran terhadap penyakit mungkin saja menakutkan bagi sebagian orang. Namun, bagi pasien kanker yang berjuang melawan kecemasan dan masalah kesehatan mental lainnya, cara ini bisa menjadi salah satu terapi yang dibutuhkan.
Arch mengembangkan terapi yang dikenal dengan istilah write exposure-based coping (EASE) untuk mengisi kesenjangan kritis dalam layanan kesehatan mental. Menurut National Cancer Institute, hampir 700.000 orang di AS menderita kanker metastatik.
Sebagian terapi kesehatan mental telah dirancang untuk membantu pasien kanker tahap awal yang dapat disembuhkan. Namun, mereka tidak luput dari bayangan ketakutan terkait perkembangan kanker menuju kesehatan yang lebih buruk.
”Ketakutan mereka sangat nyata, tetapi mereka sering kali takut akan sesuatu yang untungnya tidak akan pernah terjadi,” kata Arch.
Menuliskan berbagai kekhawatiran terhadap penyakit mungkin saja menakutkan bagi sebagian orang. Namun, cara ini bisa menjadi salah satu terapi.
Ketika Arch berbicara dengan sejumlah pasien kanker stadium akhir, banyak di antara mereka menyadari bahwa pada akhirnya mereka bisa meninggal karena penyakitnya. Menurut mereka, penawaran pengobatan yang tersedia tidak sesuai dengan yang diharapkan.
”Pasien-pasien ini hidup dalam ketidakpastian yang kuat mengenai masa depannya, terkait pengobatan yang bisa berhenti bekerja. Pengalaman mereka sangat berbeda dan perhatian terhadap mereka jauh lebih sedikit,” ucapnya.
Bagi kebanyakan pasien dalam penelitian itu, ketakutan terburuk sering muncul karena mereka tidak memiliki orang terdekat untuk diajak bicara mengenai penyakit yang dideritanya. Peran keluarga sangat penting untuk membantu pasien mengatasi kecemasan yang dihadapi sehingga dapat mencegah depresi.
Arch menambahkan, terapi tersebut belum tentu cocok untuk semua orang. Masih diperlukan lebih banyak penelitian sehingga hal itu dapat direkomendasikan lebih luas.
Salah satu peserta penelitian, Melissa Sanchez, mengatakan, ia merasa lebih sehat dan tidak mengalami kepanikan setelah mengikuti terapi menulis. Ibu empat anak itu telah menjalani tiga kali operasi dan 16 kali imunoterapi untuk melanoma stadium III yang dideritanya.
”Saya ingat hari pertama saat saya hanya menangis. Ada suara yang keluar dari diri saya yang bahkan saya tidak menyadarinya. Suara itu seperti terkubur begitu dalam. Menuliskannya membantu saya mengendalikan perasaan saya. Saya merasa damai dengan berbagai hal sekarang,” ujarnya.