Depresi, 3,3 Persen Calon Dokter Spesialis Ingin Akhiri Hidup atau Lukai Diri
Dari hasil skrining ditemukan sebanyak 22,4 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis alami gejala depresi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 22,4 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis terdeteksi mengalami gejala depresi. Sekitar 3 persen di antaranya bahkan mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.
Hal itu disebutkan pada data Kementerian Kesehatan berdasarkan hasil penapisan atau skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024. Skrining dilakukan pada 12.121 PPDS dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire -9.
Dari hasil skrining tersebut ditemukan sebanyak 22,4 persen PPDS mengalami gejala depresi. Dari jumlah itu, sebanyak 0,6 persen di antaranya mengalami gejala depresi berat; 1,5 persen dengan depresi sedang-berat; 4 persen depresi sedang; dan 16,3 persen dengan gejala depresi ringan.
Dalam skrining bahkan ditemukan dalam dua minggu terakhir, sebanyak 3,3 persen PPDS atau 399 PPDS merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun. Sebanyak 2,7 persen merasakannya dalam beberapa hari; 0,4 persen merasakannya lebih dari separuh waktu; dan 0,2 persen di antaranya merasakannya hampir setiap hari.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya dihubungi di Jakarta, Senin (15/4/2024), menuturkan, skrining kesehatan jiwa terhadap PPDS ini dilakukan di seluruh rumah sakit pendidikan milik Kementerian Kesehatan. Lantaran skrining ini dilakukan berbasis kuesioner, pemeriksaan lebih lanjut masih harus dilakukan.
”Hasilnya memang harus di-follow up. Sementara untuk (hasil) yang depresi berat dan ingin bunuh diri akan ditangani oleh psikiater dan diterapi. Sementara yang depresi ringan, kita akan membuat kelas terapi dengan psikolog,” katanya.
Dalam skrining bahkan ditemukan dalam dua minggu terakhir, sebanyak 3,3 persen PPDS atau 399 PPDS merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.
Disebutkan, pada PPDS yang ditemukan dengan pemikiran lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun semakin sering dirasakan pada PPDS yang memiliki gejala depresi yang lebih berat. Pada PPDS dengan gejala depresi berat ditemukan sekitar 22,7 persen hampir setiap hari memikirkan hal tersebut, sedangkan pada PPDS dengan gejala depresi sedang-berat ditemukan 2,8 persen hampir setiap hari memikirkan lebih baik mengakhiri hidup atau melukai diri sendiri.
Selain itu, hasil skrining yang dilakukan pada PPDS di rumah sakit vertikal pendidikan juga menemukan sebanyak 51 persen PPDS merasa lelah atau kurang bertenaga pada dua minggu terakhir saat pengisian kuesioner dilakukan. Sebanyak 38 persen juga mengaku mengalami gangguan tidur; 35 persen kurang tertarik dalam melakukan apa pun; 25 persen merasa murung, muram, dan putus asa; serta 24 persen mengalami gangguan makan berupa kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan.
Tindak lanjut
Azhar mengungkapkan, hasil skrining yang dilakukan mengenai kesehatan jiwa PPDS tersebut akan disosialisasikan kepada pemangku kepentingan terkait. Hal itu baik pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta perguruan tinggi maupun rektor universitas serta dekan fakultas kedokteran yang terkait.
”Kami akan sosialisasikan ini agar mengambil langkah-langkah lebih lanjut,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, hasil skrining terkait gejala depresi yang ditemukan pada PPDS di rumah sakit vertikal perlu ditindaklanjuti dengan baik dan bijak. Penyebab dari gejala depresi tersebut juga perlu dievaluasi agar intervensi yang dilakukan pun bisa lebih tepat.
Menurut dia, pendidikan untuk PPDS memang memiliki beban yang cukup besar. Beban pelayanan di rumah sakit vertikal juga sangat besar sehingga tidak menutup kemungkinan peserta PPDS yang belajar dan melayani di rumah sakit vertikal berisiko mengalami depresi.
”Sebagai PPDS, beban kerjanya cukup besar. Belum lagi bagaimana menghadapi pasien dengan tingkat sosial, ekonomi yang bermacam-macam sehingga mereka (PPDS) terpapar risiko terjadi depresi,” katanya.
Selain itu, Ari mengatakan, latar belakang dari setiap PPDS juga bisa berpengaruh pada kondisi psikologis dari setiap individu. Persoalan ekonomi yang dihadapi juga bisa menjadi penyebab. Saat ini 80-85 persen PPDS menggunakan biaya sendiri untuk pendidikan dalam program pendidikan dokter spesialis.
Meski begitu, Ari menuturkan, antisipasi telah dilakukan untuk meminimalkan dampak depresi pada PPDS. Itu dilakukan mulai dari hulu, sejak pendaftaran dan seleksi dilakukan. Tes psikologi dan wawancara dilakukan untuk memastikan kesehatan mental dari calon peserta didik.
”Dalam prosesnya juga dilakukan upaya meminimalkan (depresi). Setiap PPDS ada pembimbing akademis yang jika terjadi apa-apa bisa melakukan konsultasi. Ada juga pembimbing akademis dan tim konseling. Berbagai kegiatan juga dilakukan, seperti olahraga dan acara lainnya,” tuturnya.