Perkuat Perlindungan Peserta Didik Kedokteran dari Perundungan
Perlindungan peserta didik program pendidikan dokter spesialis perlu diperkuat, terutama dari kasus perundungan. Aturan terkait pun tengah disiapkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA (ESA)
Muhammad Asroruddin, dokter spesialis mata di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura, Pontianak (baju batik), membimbing koasistensi (koas) sarjana kedokteran Fakultas Kedokteran Untan, Senin (2/5/2015), di Pontianak. Koasistensi merupakan program pendidikan profesi yang harus ditempuh calon dokter setelah menyelesaikan program akademik.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus perundungan yang terjadi terhadap peserta didik kedokteran, khususnya peserta didik dalam program pendidikan dokter spesialis, menjadi sorotan. Upaya pencegahan serta perlindungan peserta didik dari kasus perundungan amat dibutuhkan. Kementerian Kesehatan pun kini tengah menyiapkan aturan terkait.
Ketua Bidang Organisasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Mahesa Paranadipa dihubungi di Jakarta, Selasa (2/5/2023), mengatakan, kasus perundungan yang terjadi pada lingkungan pendidikan kedokteran patut diamati secara cermat. Batasan-batasan mengenai tindakan yang wajar dan tidak dalam sistem pendidikan kedokteran perlu diterapkan dengan jelas.
”Bagaimanapun kita tetap harus cross check apakah benar tindakan yang dilaporkan itu benar bentuk bully (perundungan) atau tidak. Namun, itu bukan berarti kita tidak konsen pada kasus bully. PB IDI pun telah mengeluarkan fatwa mengenai perundungan pada proses pendidikan kedokteran,” katanya.
Dalam Fatwa Etik Kedokteran tentang Perundungan di Lingkungan Profesi Kedokteran disebutkan, setiap dokter di Indonesia tidak boleh melakukan tindak perundungan dalam bentuk apa pun terhadap sejawat dokter, tenaga kesehatan, peserta didik, rekan kerja, sesama pengurus organisasi profesi kedokteran, pasien, keluarga atau wali pasien, dan masyarakat. Disebutkan pula bahwa tindakan perundungan merupakan bentuk pelanggaran terhadap etika kedokteran ataupun etika dan aturan umum.
DEONISIA ARLINTA
Tangkapan layar dari paparan dokter spesialis bedah digestif RS Hasan Sadikin Bandung, Reno Budiman, mengenai alat bedah robotik.
Mahesa menuturkan, upaya pencegahan tindak perundungan dalam lingkungan pendidikan kedokteran, termasuk dalam program pendidikan dokter spesialis, harus semakin diperkuat. Selain itu, penelitian mengenai tindak perundungan juga perlu dilakukan untuk mengenali akar penyebabnya. Proses pendidikan pun perlu dievaluasi.
Menurut dia, tantangan yang dihadapi saat ini terkait perundungan pada pendidikan kedokteran, yakni tidak banyak korban yang bersedia melaporkan kasus yang dialaminya. ”Itu terjadi karena tidak ada tempat atau wadah pengaduan. Selain itu, mereka juga khawatir jika mengadu justru menambah tekanan yang diterima. Jadi, kanal pengaduan itu penting beserta dengan perlindungan dan bimbingan mengenai batasan tugas sebagai residen dan mana yang harus dilaporkan sebagai bentuk bully,” tuturnya.
Tantangan yang dihadapi saat ini dalam penanganan kasus perundungan pada pendidikan kedokteran adalah tidak banyak korban yang bersedia untuk melaporkan kasus yang dialaminya.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya menyampaikan, selama ini sejumlah laporan terkait tindak perundungan pada peserta didik program pendidikan dokter spesialis (PPDS) telah diterima Kementerian Kesehatan dan ditindaklanjuti serta dievaluasi.
Pemerintah pun kini telah berupaya memperbaiki sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, sekaligus mencegah adanya tindak perundungan dalam proses pendidikan kedokteran.
Penelitian sel punca di laboratorium Unit Pelayanan Terpadu Teknologi Kedokteran Sel Punca RSCM-FKUI, Jakarta, Kamis (8/9). Di tempat ini menyediakan dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan, pengolahan, pendidikan, pengembangan, dan penelitian sel punca di rumah sakit.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya menuturkan, surat edaran mengenai upaya pencegahan perundungan di pelayananan kesehatan telah diterbitkan. Dari aturan itu telah disiapkan pula peraturan menteri kesehatan terkait yang tidak hanya mencakup pencegahan perundungan pada sistem pendidikan kedokteran, tetapi juga pada sesama tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Ia mengatakan, peraturan menteri kesehatan tersebut diharapkan bisa segera diterbitkan. Peraturan itu setidaknya memuat aturan pelanggaran pembebanan biaya yang tidak terkait dengan pendidikan kedokteran serta kejelasan tugas dan tanggung jawab antara senior dan yunior dalam lingkungan pendidikan kedokteran di Indonesia.
”Dengan aturan ini setidaknya bisa mengurangi beban biaya yang tidak jelas untuk peserta didik sehingga mereka juga bisa fokus belajar. Dengan begitu, diharapkan mereka dapat menjadi dokter spesialis yang berkualitas,” kata Azhar.
Ia pun menyampaikan, peraturan menteri kesehatan mengenai pencegahan perundungan yang sedang dibahas ini akan diterbitkan sebelum RUU Kesehatan diterbitkan. ”Saya rasa tidak perlu menunggu RUU karena jelas ini tidak melibatkan lintas sektor. Ini lebih ke arah etika dan moral pimpinan, pegawai, dan staf,” tuturnya.