Definisi Perundungan di Institusi Pendidikan Kedokteran Harus Lebih Jelas
Perlu definisi yang jelas apa saja yang termasuk sebagai perundungan di institusi pendidikan kedokteran.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perundungan yang terjadi di lingkungan pendidikan kedokteran bukan hanya tanggung jawab organisasi profesi, melainkan tanggung jawab semua pihak. Meski begitu, perlu definisi yang jelas apa saja yang dikategorikan sebagai tindak bullying atau perundungan di institusi pendidikan kedokteran.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) berkomitmen mendukung pencegahan kasus perundungan di lingkup pendidikan kedokteran, terutama bagi calon dokter maupun pendidikan dokter spesialis. IDI juga berkomitmen untuk segera menindaklanjuti apabila perundungan berpotensi menjadi tindak kriminal.
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi menyampaikan, perundungan di dunia kedokteran bukan merupakan sebuah tradisi. Perundungan tidak ada dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran (KED). Untuk itu, perilaku perundungan bertentangan dengan kode etik kedoktern.
Perlu definisi yang jelas apa saja yang termasuk sebagai perundungan di institusi pendidikan kedokteran.
”Jika ada hal-hal yang berkaitan dengan perundungan, yang harus ditindak adalah para oknumnya. Kami tidak akan melindungi para oknum kalau sudah berhubungan dengan pelanggaran etik,” tutur Adib dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (22/7/2023).
Menurut Adib, perundungan merupakan satu dari beberapa tindakan yang tidak bisa ditoleransi di dunia kedokteran seperti kekerasan fisik, penyalahgunaan uang, dan pelecehan seksual.
IDI juga telah membuka komunikasi dengan institusi pendidikan dan kolegium, mengingat Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau dokter residen berada di ranah keduanya.
Selain itu, IDI juga telah mengeluarkan Fatwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran tentang perundungan pada lingkup profesi kedokteran pada 1 Maret 2022 yang sudah disosialisasikan serta ditindaklanjuti bersama institusi pendidikan. Pihaknya akan segera menindaklanjuti apabila berkaitan dengan pidana umum.
”Kita harus samakan persepsi dulu terkait apa yang dimaksud perundungan dan mana yang berpotensi menjadi tindak kriminal. Kalau sudah menyangkut kekerasan fisik, penyalahgunaan uang, dan pelecehan seksual, itu sudah merupakan kriminal,” tutur Adib.
Adib meminta institusi pendidikan dan kolegium untuk lebih proaktif menindaklanjuti perilaku perundungan yang terjadi di lapangan agar proses pendidikan fokus pada peningkatan kualitas dan mutu dokter.
Adib juga menekankan agar setiap institusi pendidikan dokter dan dokter spesialis memiliki saluran siaga (hotline) yang terakses langsung dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, serta dekan di setiap fakultas kedokteran. Apabila ada dokter residen yang menjadi korban, maka IDI siap mengadvokasi agar mereka bisa tetap melanjutkan pendidikan spesialis.
Menurut Adib, tidak hanya di Indonesia, perundungan dokter juga menjadi perhatian dunia, terutama organisasi profesi dokter se-Asia Tenggara.
Harus lebih jelas
Sementara itu, Ketua Junior Doctors Network (JDN) Indonesia Tommy Dharmawan mengatakan, perlu definisi yang jelas terkait apa saja yang dikategorikan sebagai perundungan di institusi pendidikan kedokteran.
”Perlu definisi yang jelas dan cerdas untuk menentukan apa saja tindakan yang kira-kira masuk dalam kategori bullying. Walaupun sudah ada beberapa definisi dalam keputusan Menteri Kesehatan, tetapi saya kira memang harus lebih jelas karena dalam institusi pendidikan tentu saja ada beberapa tugas pelayanan kesehatan," tutur Tommy.
Menurut Tommy, salah satu masalah utama mencuatnya kasus perundungan ialah akibat tidak adanya definisi yang jelas terkait hal ini. Sebab, dalam pendidikan kedokteran ada beberapa tugas yang termasuk dalam kompetensi akademis, seperti tugas pelayanan kesehatan kepada pasien yang memang harus dilakukan.
”Hal tersebut tidak bisa dikategorikan perundungan dan menjatuhkan organisasi profesi,” kata Tommy.
Tommy menyoroti bahwa perundungan dapat terjadi karena berbagai faktor. Penyebab yang paling mendasar adalah para Peserta Pendidikan Kedokteran Spesialis (PPDS) tidak mendapatkan gaji yang seharusnya meskipun sudah menjadi dokter dan bekerja di rumah sakit vertikal atau rumah sakit pendidikan.
”Saya rasa sudah tertera pada undang-undang pendidikan kedokteran tahun 2013. Pemerintah harus menggaji PPDS, tetapi sampai sekarang tidak ada gaji untuk mereka. Meski ada beberapa tunjangan, tetapi tunjangan itu masih jauh di bawah UMR,” ujar Tommy.
Tommy mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, IDI, dan Kemendikbudristek untuk menyelesaikan kasus perundungan di pendidikan kedokteran. Pihaknya juga akan membuat forum bagi PPDS agar dapat bersuara.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menerbitkan Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan terhadap Peserta Didik Pada Rumah Sakit Pendidikan Pemerintah. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, ada tiga tingkatan sanksi yang akan diberikan untuk dokter senior yang melakukan perundungan kepada dokter residen di rumah sakit vertikal Kemenkes. Sanksi yang diberikan berupa sanksi ringan, sedang, dan berat.
Kemenkes juga telah menyediakan laman dan hotline bagi korban perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes, yakni www.perundungan.kemkes.go.id dan hotline 0812-9979-9777. Nantinya, data laporan yang masuk akan diterima oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes.