Kekerasan pada Anak Menimbulkan Pengalaman Buruk Sepanjang Hidup
Ancaman kekerasan pada anak meningkat yang justru dilakukan orang terdekat anak. Hal ini mengancam tumbuh kembang anak.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan hingga pelecehan seksual masih mengancam kehidupan anak-anak. Ironisnya, si pelaku justru kebanyakan orang-orang yang dekat dengan kehidupan anak, mulai dari orangtua, kerabat, hingga pengasuh anak. Ancaman ini harus diwaspadai bersama karena dapat menjadi pengalaman yang menghantui hidup anak dalam waktu panjang.
Pada kuartal akhir tahun 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 1.056 (58,7 persen) pelanggaran hak anak berasal dari lingkungan keluarga dan pengasuh alternatif. Hingga saat ini pun masih terus terjadi, anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandung serta anak yang menjadi korban kekerasan pengasuh.
”Segala bentuk perbuatan orang dewasa terhadap anak tentu akan meninggalkan jejak dan bayang-bayang bagi anak,” kata dosen psikologi sosial Universitas Airlangga (Unair), Ike Herdiana, seperti dikutip dari laman resmi Unair, Sabtu (13/4/2024).
Jika orangtua dan kerabat terdekat dapat berlaku baik dalam tumbuh kembangnya, ucap Ike, pengalaman baik akan terus membersamai anak. Sebaliknya, jika anak mendapatkan perlakuan buruk pada masa tumbuh kembangnya, akan ada bayangan buruk yang terus menghantui anak.
Baca juga: Anak Korban Kekerasan dalam Keluarga dan Masalah Baru
Menurut Ike, ada banyak faktor yang memengaruhi perilaku orang terdekat anak yang justru melakukan kekerasan pada anak. Masyarakat masih menormalisasi kekerasan orangtua terhadap anak dengan berkedok pendisiplinan.
”Lebih banyak faktor kemiskinan, kurangnya wawasan, pendidikan rendah, dan faktor personal lain. Pelaku juga bisa saja orang yang memiliki masa lalu buruk sebagai korban atau berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hingga konflik dengan perkawinan,” ucap Ike.
Secara terpisah, psikolog klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Indria Laksmi Gamayanti, mengatakan, kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja. ”Sayangnya, menurut penelitian, kekerasan banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut. Pada banyak kasus, pelaku merupakan orangtua, guru, pengasuh, bahkan sesama anak sendiri dapat melakukan tindak kekerasan,” papar Indria.
Indria menjelaskan, dalam ilmu psikologi, kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai adverse childhood experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa.
Berbagai kasus juga menunjukkan gejala yang berbeda. Beberapa anak menjadi pribadi yang pendiam, murung, tercekat, cenderung nakal, sering menangis, bahkan ada yang terlihat baik-baik saja hingga sering disalahartikan sebagai proses penyembuhan trauma yang cepat. Gejala ini banyak luput disadari oleh orangtua, padahal sebenarnya anak membutuhkan penanganan lebih dari dampak kekerasan tersebut.
Anak harus dijauhkan dari pelaku, pendampingan piskologis tetap harus dilakukan, dan pelaku harus diproses secara hukum.
Lebih lanjut Idria menjelaskan, ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual. Saat anak mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual, pasti diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis.
Namun, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi. Kondisi ini dialami anak ketika mendapatkan ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya. Paling banyak yang melakukan justru berasal dari orang terdekat anak, khususnya orangtua dalam hal pola asuhnya.
”Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orangtua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” ujar Indria.
Orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak, kata Indria, umumnya merupakan orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan, mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan. Padahal, ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, ada potensi ia akan melakukan kekerasan yang lebih parah ketika beranjak dewasa.
”Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orangtua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya,” kata Indria.
Baca juga: Pelajaran Bisa Dipetik dari Kekerasan terhadap Anak Selebgram di Malang
Kini, marak juga kekerasan yang dilakukan pada sesama anak. Bentuk kekerasan ini banyak ditemui dalam kasus-kasus perundungan atau bullying pada lingkungan sekolah atau teman bermain.
Menurut Indria, penyebab anak melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya juga bisa disebabkan dari lingkungan dan pola asuh orangtua. ”Bisa jadi anak tersebut juga menerima kekerasan dari orangtua atau kurangnya validasi sehingga cenderung mencari validasi pada sesamanya,” ujar Idria.
Penanganan pada anak
Ike menyampaikan, anak yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan di dalam dirinya munucl perasaan pantas mendapatkan perlakuan yang dialaminya. Selain itu, akan muncul rasa bersalah, malu, dan tidak berdaya.
”Kemudian, percaya bahwa mereka tidak diinginkan dan tidak layak untuk dicintai atau dihormati. Ada rasa takut untuk melakukan sesuatu yang membuat pelaku kesal, mengalami susah tidur, berkonsentrasi, hingga sulit melakukan aktivitas yang sebelumnya mereka sukai,” ujar Ike.
Pada beberapa kasus, pelaku kerap kali mengancam korban jika korban melapor sehingga anak memilih diam. Padahal, anak sebagai korban tidak seharusnya berada terus-terusan di dekat pelaku. Anak sebagai korban harus mendapat langkah penanganan dan pemulihan agar kejadian tidak terulang kembali.
Ike memaparkan, ada beberapa poin yang perlu dikenali oleh orangtua atau kerabat terdekat lainnya sebagai tanda jika anak mengalami tindak kekerasan atau pelecehan. ”Selain jejak fisik, dapat dilihat pada ciri-ciri, seperti mimpi buruk, sulit tidur dan mengigau, tampak lebih murung, tiba-tiba menjadi pemberontak, pemarah, dan impulsif, takut dengan orang yang memiliki ciri yang mirip dengan pelaku, takut dengan barang yang berhubungan dengan kejadian, hingga tindakan sengaja membahayakan diri,” kata Ike.
Baca juga: Anak Jadi Korban Kekerasan, Kesehatan Mental Orangtua Perlu Perhatian
Anak dapat dipindahkan ke rumah aman agar berjarak dari pelaku. Anak tetap perlu didampingi oleh keluarga yang dapat bertanggung jawab atas kondisi anak pascakejadian.
”Intinya, anak harus dijauhkan dari pelaku, pendampingan piskologis tetap harus dilakukan, dan pelaku harus diproses secara hukum,” ujar Ike.
Indria menambahkan, apabila terjadi kekerasan, sebaiknya memberikan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kondisi anak. Metode pemulihan (recovery) pada anak bermacam-macam. Ada asesmen yang harus dilakukan untuk memberikan penanganan terbaik dan ada pula yang membutuhkan perubahan pola asuh hingga lingkungan yang mendukung.
”Jadi bukan hanya anak sebagai faktornya, tetapi orangtua juga perlu mendapatkan penanganan,” kata Indria.
Baca juga: Anak dalam Lingkaran Kekerasan
Orang dewasa yang berada di lingkungan tempat anak tinggal, kata Indria, harus dapat memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan. Karena itu, penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak, tidak hanya pada anggota keluarga, tetapi juga orang-orang sekitar.
Masa kecil pada anak merupakan masa pertumbuhan yang krusial untuk membentuk karakter sehingga perlu pengawasan dan pengasuhan yang baik agar bentuk kelalaian berujung kekerasan tidak terjadi. Yang tidak kalah penting lagi, penerapan pola asuh yang baik secara berkelanjutan akan menghasilkan anak-anak dengan mental dan fisik yang sehat di masa depan.