Anak Korban Kekerasan dalam Keluarga dan Masalah Baru
Kekerasan terhadap anak berpotensi melahirkan masalah baru yang merugikan masa depan anak. Mereka berpotensi menjadi orang bermasalah.
Tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah satu isu serius yang terus terjadi. Sepanjang tahun 2023 paling tidak terjadi lima kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga yang berujung hingga korban tewas.
Kasus terbaru, empat anak berusia 1 hingga 6 tahun ditemukan tewas mengenaskan di kamar rumah kontrakan orangtuanya di Jagakarsa, Jakarta. Sang ayah diduga sebagai pelaku setelah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istrinya.
Sebelumnya, di Gresik seorang anak berusia 9 tahun juga dilaporkan tewas dibunuh ayahnya. Keluarga ini acap kali dirundung akibat pekerjaan istri sebagai pramuria karaoke (Kompas, 8/12/2023).
Kasus kekerasan terhadap anak sering luput dari perhatian masyarakat di sekitarnya karena dianggap sebagai bagian dari hak orangtua untuk mendidik anak-anak dengan cara mereka sendiri (Campbell, 2020; Fegert, et al, 2020). Kekerasan terhadap anak masih dianggap sebagai persoalan privat masing-masing keluarga sehingga orang luar cenderung tidak berani ikut campur (Suyanto, 2019). Warga masyarakat biasanya baru terlibat ketika korban sudah menderita luka yang parah atau ketika anak yang dianiaya orangtuanya sudah meninggal.
Baca juga: Pelajaran Mahal dari Kasus Pembunuhan Empat Anak di Jagakarsa
Pada 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapat aduan sebanyak 249 anak menjadi korban kekerasan fisik. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan data pada 2019 yang hanya 157 kasus. Komnas Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat sejak Maret 2020 hingga Juni 2021 mendapat laporan 2.726 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu, setidaknya 52 persen berhasil dikonfirmasi.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada 2022 ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan. Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tetapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi.
Rentan
Anak dalam keluarga di mana pun merupakan salah satu anggota keluarga yang paling rentan menjadi korban penganiayaan dan penelantaran (Suyanto, 2019; Enriquez & Goldstein, 2020; Fisher, et al, 2020). Contoh paling jelas penganiayaan terhadap anak adalah pemukulan atau penyerangan fisik yang menimbulkan luka atau cakaran. Namun, perlu dipahami bahwa bentuk kekerasan terhadap anak tidak hanya dalam bentuk serangan fisik, tetapi bisa juga dalam bentuk pemberian makan yang tidak tepat untuk anak atau kurang gizi, penelantaran pendidikan dan medis, serta kekerasan medis.
Kekerasan yang menyerang fisik anak biasanya meninggalkan bekas luka terlihat, yang mana menyebabkan korban terjebak dalam keadaan sulit karena malu dengan bekas luka yang dimiliki dan merasa harus menutupi luka tersebut (Massarweh & Kosher, 2023). Organisasi Kesehatan Dunia/WHO (dalam Almirhij & Diab; 2020) mempertegas bahwa kekerasan dan penelantaran terhadap anak adalah segala jenis perlakuan buruk secara fisik maupun emosional, kekerasan seksual, penelantaran, pelalaian dan perdagangan, atau bentuk eksploitasi lainnya kepada anak yang berpotensi melukai kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan atau harga diri anak dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan.
Studi yang dilakukan Suyanto dan Sugihartati (2023) menemukan cukup banyak responden yang mengalami abuse secara fisik. Mereka tidak hanya dicubit (15 persen) atau dikurangi uang jajannya (18,8 persen), tetapi yang tak kalah memprihatinkan cukup banyak anak yang ternyata mengalami tindak kekerasan. Dari 500 anak yang diwawancarai, sebanyak 3,8 persen responden mengaku sering ditendang dan 11,4 persen mengaku hanya terkadang saja ditendang orangtuanya.
Pengalaman kekerasan semasa kecil dapat berpengaruh secara negatif pada hubungan keluarga yang nanti dimiliki korban di masa dewasa.
Studi yang dilakukan di lima kota di Jawa Timur tersebut menemukan, sebanyak 14,6 persen responden mengaku sering dipukul orangtuanya memakai tangan, 4 persen mengaku pernah disetrap, dan sebanyak 6,6 persen responden mengaku pernah dipukul pakai alat, seperti kemoceng, sapu lidi, dan lain-lain, untuk membuat anaknya tidak lagi nakal atau berani melawan orangtuanya. Sebanyak 18,8 persen responden mengaku mereka dikurangi uang jajannya ketika dinilai nakal oleh orangtuanya.
Tindak kekerasan terhadap anak adalah setiap tindakan yang mempunyai dampak fisik dan psikologis, yang mengakibatkan luka traumatik pada anak, baik yang dapat dilihat dengan mata telanjang maupun dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan perkembangan mental-psikologis anak, seperti gangguan kecemasan dan depresi (Tyler & Schmitz, 2018). Kekerasan terhadap anak tidak sekadar menyebabkan anak mengalami luka fisik yang dalam hitungan hari bisa sembuh melalui perawatan medis, tetapi acap kali juga berdampak terjadinya luka traumatik yang bukan tidak mungkin tetap diingat anak hingga mereka dewasa.
Pengalaman kekerasan semasa kecil dapat berpengaruh secara negatif pada hubungan keluarga yang nanti dimiliki korban di masa dewasa (Kong, et al, 2019). Semakin tinggi frekuensi anak menerima tindak kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, maka semakin rendah dukungan positif dan semakin tinggi ketegangan yang dirasakannya dalam keluarga. Selain itu, kekerasan terhadap anak juga dapat berpengaruh kepada perilaku dan perkembangan kemampuan anak, misalnya perilaku menyimpang yang dilakukan dan kemampuan pengolahan emosi (Tilstra-Ferrell, et al, 2022; Florez, et al, 2022; Elsaesser, et al, 2020; Oh, et al, 2018).
Orangtua dengan tekanan pekerjaan tinggi, durasi kerja lama, dan tingkat kelelahan tinggi cenderung hanya memiliki waktu terbatas untuk berinteraksi dengan anak dan mengawasinya. Hal ini dapat menciptakan jarak emosi dan berpotensi memunculkan kekerasan dan penelantaran anak (Hansotte, et al, 2020; Kohli & Fineran, 2019).
Di masa pandemi Covid-19, kasus kekerasan terhadap anak meningkat. Salah satu penyebabnya adalah orangtua yang terjebak dalam situasi sulit di berbagai aspek kehidupan, seperti isolasi sosial, resesi ekonomi, dan kehilangan pekerjaan (Heimann, et al, 2021).
Isolasi sosial semasa pandemi ditemukan berhubungan dengan risiko penelantaran fisik dan emosi serta agresi verbal pada anak, yang mana hal ini disadari oleh orangtua karena merasakan perbedaan cara didik anak yang dilakukannya setelah mengalami isolasi sosial (Lee, et al, 2022). Selain isolasi sosial, amarah yang dirasakan oleh ibu semasa pandemi juga ditemukan berkaitan pada risiko penganiayaan kepada anak, termasuk penelantaran dan agresi psikologis (Rodriguez & Lee, 2023).
Faktor yang ditengarai menjadi penyebab tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga meningkat, bukan hanya berkaitan dengan kondisi psikologis orangtua yang kurang sabar dan terbiasa melakukan tindak kekerasan atau berkaitan dengan kondisi ekonomi orangtua yang terganggu akibat situasi krisis. Hal itu juga berkaitan dengan pandangan budaya di sebagian masyarakat yang masih meyakini bahwa tindak kekerasan adalah instrumen atau bagian dari cara mendidik atau mendomestifikasi anak (Ahad, et al, 2021; Al Khatib, 2022; Bakhtiar, Minarni & Gunawan, 2019; Çetin & Hacısoftaoğlu, 2020; Chen, 2022).
Baca juga: Kekerasan terhadap Anak: Kisah-kisah yang Harus Diketahui
Cara mendidik anak yang bersifat tradisional dan masih diterapkan di kelompok masyarakat tertentu acap kali ditemukan cenderung kasar dan membahayakan anak. Hal ini terlebih apabila dilihat dari sudut pandang kelompok lain yang tidak mengadopsi cara mendidik anak serupa, seperti perbedaan cara mendidik anak yang dilakukan masyarakat Afrika dan Barat (Welson & Mohamed, 2019).
Di banyak kasus, tidak sedikit orangtua yang masih menggunakan ancaman sanksi, pukulan, cubitan, tamparan, dan bahkan tendangan untuk mendisiplinkan perilaku anaknya yang dinilai nakal (Dako-Gyeke, 2019; Di, Yongjie & Guowei, 2018; Habes, et al, 2022). Pemberian sanksi dalam pendisiplinan anak yang melibatkan kekerasan fisik ini dinilai berpotensi tinggi untuk melukai kesehatan mental anak (Welson & Mohamed, 2019).
Cara mendidik anak yang keras seperti itu berkaitan erat dengan terjadinya kekerasan dalam keluarga (Robinson, Moss & Jones, 2021). Selain cara mendidik yang dilakukan orangtua, kekerasan di antara pasangan orangtua diketahui juga berkaitan dengan terjadinya kekerasan pada anak, khususnya kekerasan fisik (O’Leary & Jouriles, 2021).
Dampak
Dari segi tingkah laku, anak-anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan perilaku: penarikan diri, ketakutan atau mungkin juga tingkah laku agresif, emosi yang labil, juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, gangguan tidur, fobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, gangguan stres pascatrauma, dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif. Kekerasan yang dialami anak mampu mengguncang mental dan ini dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak, juga hubungan antara orangtua dan anak (Wan, Wang & Chen, 2019).
Studi yang dilakukan Suyanto dan Sugihartati (2023) menemukan, berdiam diri dan hanya menumpaskan kesedihan di kamar adalah mekanisme yang kerap dilakukan anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan orangtuanya. Anak yang menjadi korban tindak kekerasan sering mengalami kesulitan dalam hubungannya dengan teman sebayanya dan menunjukkan tingkah laku menyakiti diri sendiri, bahkan tingkah laku bunuh diri.
Studi yang dilakukan Moreno-Manso, et al (2021) menemukan bahwa anak yang mengalami tindak kekerasan memiliki kesulitan dalam fleksibilitas kognitif, mengatur tindakan, serta perencanaan dan perhatian. Anak korban kekerasan menjadi kian rentan setelah mengalami tindak kekerasan, bahkan mereka berpotensi untuk mengalami kekerasan kembali di masa dewasanya (Stroem, Aakvaag & Wentzel-Larsen, 2019).
Baca juga: Melindungi Anak dan Masa Depan Kita
Menceritakan dan melaporkan tindak kekerasan merupakan hal yang sulit bagi anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Anak korban kekerasan cenderung tidak menceritakan atau melaporkan kekerasan yang dialaminya, bahkan kepada keluarga atau orangtuanya. Hanya orang-orang tertentu saja yang dikenal dekat, seperti teman, yang biasanya menjadi tempat cerita dan mengadu terkait kekerasan yang dialami (Landberg, Kaldal & Eriksson, 2023). Hal ini karena mereka merasa takut dan malu. Salah satu faktor rendahnya pelaporan kasus kekerasan kepada anak adalah ketakutan anak terhadap respons orangtua dan konsekuensi sosial yang nanti akan diperoleh (Al Khatib, 2022; Markwei & Tetteh, 2021).
Sebagai sebuah masalah sosial, kekerasan terhadap anak akan berpotensi melahirkan berbagai masalah baru yang merugikan masa depan anak. Sebagai korban, anak biasanya akan bersikap pasrah atau ekstrem lainnya melawan keadaan sehingga dalam proses tumbuh kembangnya kemudian mereka akan berpotensi menjadi orang yang bermasalah dan benci pada lingkungan sosialnya.
Bagong Suyanto, Dosen Sosiologi Anak FISIP Universitas Airlangga