Ketika Perempuan Pengemudi Ojol Belajar Bela Diri
Kota Surabaya berjuang untuk mewujudkan kota layak anak dunia. Upaya perlindungan harus serius dilakukan semua pihak.
Pengemudi ojek daring merupakan salah satu pilihan pekerjaan yang kini bisa dijalani oleh masyarakat di perkotaan, termasuk para perempuan. Di Kota Surabaya, Jawa Timur, sejumlah perempuan, termasuk ibu rumah tangga yang menjadi orangtua tunggal, terpaksa memilih profesi tersebut demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, perempuan pengemudi ojek daring atau ojek online (ojol) saat bekerja rentan menjadi korban kejahatan, terutama mengalami pelecehan seksual dari penumpang laki-laki. Karena itu, bekal bela diri menjadi sangat bermanfaat bagi ibu-ibu.
Sejak setahun lalu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK), menginisiasi Gerakan Sayang Perempuan Ojek Online (Gaspol), salah satunya melalui pelatihan bela diri.
Untuk melatih bela diri para perempuan pengemudi ojol, DP3AK Jatim bekerja sama dengan Institut Ju Jitsu Indonesia. Di Kota Surabaya, latihan bela diri jujitsu dilakukan di salah satu ruangan di kantor Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di Jalan Raya Arjuno 88, Surabaya.
Di kantor tersebut, puluhan perempuan pengemudi ojol setiap pekan datang berlatih bela diri jujitsu. Mereka dibekali ilmu bela diri dasar oleh tiga pelatih jujitsu, yakni Sabdo Sahono, Jaya Ariwibowo, dan Don Iskandar. Saat ini ada sekitar 30 perempuan pengemudi ojol yang tekun berlatih bela diri.
”Kita memberikan pelatihan bela diri praktis, simpel tetapi efektif. Selain dengan teknik tangan kosong, mereka juga kita bekali cara membeli diri dengan menggunakan senjata yang simpel, seperti pulpen dan helm,” kata Sabdo, pelatih jujitsu, Rabu (27/4/2024) siang.
Hari itu, belasan perempuan pengemudi ojol di Kota Surabaya tengah berlatih bela diri jujitsu. Mereka turut menyambut tim Child Friendly City Initiative (CFCI) Unicef, yang dipimpin Shema Sen Gupta, Director Child Protection Section Unicef Headquarter New York, saat berkunjung ke UPT PPA Jatim.
Tim CFCI selama tiga hari berada di Kota Surabaya mengunjungi sejumlah tempat sekolah, pusat pembelajaran keluarga (puspaga), dan tempat perlindungan anak dalam rangka penilaian pada Kota Surabaya yang menjadi calon kota layak anak tingkat dunia.
Kepada Shema dan tim CFCI antara lain Rachel Harvey (Child Protection Adviser, Unicef Regional Office Bangkok), Millen Kidane (Chief of Child Protection Section Unicef Indonesia), para perempuan pengemudi ojol memperagakan gerakan-gerakan bela diri yang dipelajari selama ini.
Sabdo mengungkapkan, para perempuan tersebut sangat antusias berlatih bela diri. Alhasil, beberapa dari perempuan pengemudi ojol telah mempraktikkan ilmu bela diri yang diperoleh. Misalnya, seorang ibu yang selama 15 tahun terakhir menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya, akhirnya bisa membela dirinya saat akan dipukul suaminya.
Dengan gerakan sederhana, ibu tersebut menendang kemaluan suaminya hingga akhirnya suami harus dilarikan ke unit gawat darurat. Gara-gara hal tersebut akhirnya KDRT suaminya diproses hukum.
Pengalaman lain juga dialami Ani (55). Perempuan kepala keluarga ini mengaku pernah mengalami kekerasan dari penumpangnya. Berkat kemampuan bela diri yang dipelajarinya, dia berhasil melumpuhkan pelaku. ”Saya terpaksa mengemudi ojol, anak-anak saya masih sekolah. Bela diri membuat saya tidak takut saat bekerja,” ujar Ani.
Kepala DP3AK Provinsi Jatim Tri Wahyu Liswati mengungkapkan, bela diri jujitsu adalah salah satu program Gaspol yang dilaksanakan DP3A Jatim.
Beberapa program lainnya meliputi pemberdayaan ekonomi seperti kelas memasak, kursus kecantikan, menjahit, kerohanian, psikologi, serta pembelajaran secara luring dan daring tentang politik dan hukum.
Baca juga: Kota Surabaya Calon Anggota Kota Layak Anak Dunia
Pihak UPTD PPPA Jatim memiliki strategi penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui Program Lapor PAK (Layanan Perempuan dan Anak Dalam Kasus Kekerasan), yang melayani pengaduan langsung dan daring kasus kekerasan perempuan dan anak.
Hal itu dilanjutkan dengan penanganan kasus melalui penjangkauan, penampungan sementara, pendampingan medis, pendampingan psikologis, pendampingan hukum, mediasi, dan reintegrasi sosial atau pemulangan.
Program pemberdayaan perempuan dan anak yang dilakukan UPTD PPA Jatim diapresiasi Shema dan tim Unicef. Bahkan, Shema sangat terkesan saat bertemu ibu-ibu pengemudi ojol yang berlatih bela diri. ”Dengan bela diri, para ibu tidak takut lagi keluar karena mereka mendapatkan kemampuan bela diri,” katanya.
Penanganan kekerasan
Sehari sebelumnya, Selasa (26/3/2024), tim CFCI Unicef juga menemui puluhan ibu di Kampung Puspaga di Balai RW 05 Kecamatan Genteng, Surabaya. Selain menyapa anak-anak di Balai RW 05, Shema, Rachel, dan Millen selama sekitar satu jam berdialog dengan ibu-ibu sukarelawan dan fasilitator masyarakat di Puspaga RW 05.
Mari bergerak bersama, berempati kepada korban. Kita harus melakukan pendekatan agar mereka merasa nyaman dan tidak merasa sendiri.
Kepada Shema, sejumlah ibu mengungkapkan situasi pendampingan anak-anak di wilayah tersebut, mulai dari anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual akibat berhubungan anak orang dewasa melalui media sosial, hingga anak-anak yang jadi korban kekerasan seksual oleh orangtuanya.
”Ada anak kelas VI sekolah dasar bertemu orang dewasa melalui Whatsapp, terjadi pergaulan bebas, hingga hamil tiga bulan, kemudian terjadi aborsi. Anak itu putus sekolah dan akhirnya dinikahkan siri oleh orangtuanya,” ujar Susi, fasilitator masyarakat terkait kekerasan seksual secara daring.
Bahkan, ada seorang ibu tunggal yang memiliki anak perempuan dimanipulasi oleh pacarnya untuk mengambil gambar dan merekam video bagian-bagian tubuh sensitif dari anak perempuannya.
Baca juga: Surabaya Menuju Kota Layak Anak Dunia
Karena itu, para ibu sukarelawan Puspaga RW 05 berharap dukungan dari pemerintah untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya kekerasan seksual di dunia daring. Sebab, sejumlah anak telah menjadi korban, bahkan ada anak yang sampai ingin mengakhiri hidup akibat kekerasan seksual yang dialami.
Di tengah dialog tersebut, beberapa ibu sampai menangis saat menceritakan kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak di wilayah mereka. Mereka menggambarkan kesulitan mendampingi anak-anak dan mengedukasi orangtua agar mewaspadai ancaman pada anak di dunia daring.
Millen meminta kepada para ibu untuk menjaga kesehatan mental, serta tetap kuat mendampingi anak-anak dan perempuan yang berkasus. Dia juga meminta kepada ibu-ibu untuk berani melaporkan kasus-kasus kekerasan pada anak dan perempuan.
”Mari bergerak bersama, berempati kepada korban. Kita harus melakukan pendekatan agar mereka merasa nyaman dan tidak merasa sendiri,” kata Millen.
Pemberdayaan perempuan dan penguatan kapasitas perempuan di puspaga maupun komunitas masyarakat amat penting. Sebab, tiap hari perempuan berhadapan langsung dengan kondisi anak-anak di lingkungan mereka.
Di sisi lain, pemberdayaan ekonomi, dan pelatihan-pelatihan para perempuan termasuk bela diri akan menguatkan perempuan sehingga mampu mandiri dan berdaya di masyarakat.
Tentu tidak mudah mewujudkan hal itu. Sebab, saat Kota Surabaya mencalonkan diri menjadi anggota kota layak anak sedunia, berbagai kekerasan terus mengancam anak-anak di Kota Surabaya.
Pencegahan dan penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan anak perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan semua pemangku kebijakan di Kota Surabaya. Jika hal itu tidak dilakukan, kota layak anak dunia hanya akan menjadi status semata.