Putus Obat Masih Jadi Kendala, Inovasi Pengobatan Tuberkulosis Perlu Diperluas
Pengobatan tuberkulosis yang lebih singkat diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk menuntaskan pengobatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengobatan tuberkulosis sampai tuntas menjadi salah satu kunci utama untuk memutus rantai penularan penyakit tersebut. Namun, angka keberhasilan pengobatan di Indonesia masih belum optimal.
Lamanya waktu pengobatan dan efek samping yang dialami menjadi penyebab kejadian putus obat pada pasien. Untuk itu, inovasi pengobatan tuberkulosis yang dapat mempersingkat waktu pengobatan diharapkan bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.
Wakil Ketua I Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) sekaligus anggota staf Departemen Respirologi dan Penyakit Kritis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Herikurniawan mengatakan, pemberian obat antituberkulosis dalam terapi tuberkulosis harus dilakukan secara adekuat. Itu artinya, pengobatan diberikan dengan dosis yang tepat dan dalam jangka waktu yang cukup.
”Pemberian OAT (obat antituberkulosis) diberikan mulai dari fase awal sampai fase lanjutan karena memang ada tujuan tertentu yang ingin dicapai. Pada fase awal itu bertujuan untuk membunuh atau menonaktifkan bakteri-bakteri yang ada di tubuh pasien, sedangkan fase lanjutan untuk mencegah terjadi kekambuhan,” tuturnya dalam seminar web Hari Tuberkulosis Sedunia 2024 yang diikuti di Jakarta, Kamis (4/4/2024).
Pada tahap awal atau intensif biasanya akan berlangsung selama dua bulan sejak pengobatan dimulai. Pada jangka waktu ini, pasien tuberkulosis diwajibkan untuk meminum obat setiap hari. Penggunaan empat macam obat di fase awal terbukti dapat mencegah terjadinya resistensi dan kekambuhan pada pasien.
Sementara pada fase lanjutan akan dilakukan sejak bulan ke-2 sampai bulan ke-6 terapi pengobatan. Pada fase lanjutan bisa diberikan lebih lama bergantung pada tingkat keparahan penyakit tuberkulosis dari pasien. Obat bisa diberikan setiap hari, tapi ada beberapa obat program nasional yang diberikan secara intermiten atau diberikan tiga kali seminggu.
Pemberian obat antituberkulosis dalam terapi tuberkulosis harus dilakukan secara adekuat. Itu artinya, pengobatan diberikan dengan dosis yang tepat dan dalam jangka waktu yang cukup.
Pemberian terapi obat yang cukup lama tersebut sering kali membuat kepatuhan pasien untuk menuntaskan pengobatan menjadi kurang. Angka putus obat yang tercatat masih cukup tinggi. Kementerian Kesehatan melaporkan angka keberhasilan pengobatan TBC baru mencapai 87 persen. Itu artinya, masih ada lebih dari 10 persen kasus yang tidak menuntaskan pengobatannya.
Lebih singkat
Herikurniawan menyampaikan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan adanya regimen obat untuk tuberkulosis sensitif obat yang bisa diberikan selama empat bulan. Dengan regimen tersebut, pengobatan pada pasien menjadi lebih singkat, hanya sampai empat bulan.
”Namun, obat ini memang belum diadopsi dalam program nasional. Kita harapkan mudah-mudahan ke depan bisa diadopsi sehingga kita punya obat-obatan yang bisa diberikan lebih singkat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, obat tersebut merupakan kombinasi dari isoniazid (INH), rifapentine (P), Pyrazinamide (Z), dan Moxifloxacin (M). Terapi ini diberikan untuk pasien usia lebih dari 12 tahun dengan TB paru. Obat ini tidak disarankan untuk anak usia di bawah 12 tahun, pasien dengan berat badan kurang dari 40 kilogram, pasien dengan tuberkulosis ekstraparu, pasien HIV, serta ibu hamil, menyusui, dan pascamelahirkan.
Pengobatan tuberkulosis empat bulan ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada angka kesembuhan dan mortalitas. Efek sampingnya pun tidak berbeda. Namun, pengobatan yang lebih singkat tersebut dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk menuntaskan pengobatan sehingga penularan tuberkulosis bisa dicegah. Orang yang sudah menuntaskan pengobatan dan terbukti tidak ditemukan bakteri penyebab tuberkulosis di tubuhnya, maka ia tidak lagi berisiko menularkan tuberkulosis pada orang lain.
Inovasi pengobatan tuberkulosis lainnya juga telah ditemukan untuk pengobatan pasien tuberkulosis resisten obat (TB RO). Pengobatan TB RO biasanya berlangsung 18-24 bulan. Namun, dengan adanya pilihan lain dengan durasi lebih pendek bisa dipersingkat menjadi enam bulan. Terapi ini diberikan dengan paduan BPaL/M atau bedaquiline, pretomanid, dan linezolid/moxifloxacin.
Dalam keterangan pers yang ditulis oleh Stop TB Partnership Indonesia pada 1 April 2024, panduan BPaL/M telah direkomendasikan oleh WHO pada Desember 2022. BPaL/M memiliki tingkat efektivitas hingga 90 persen dan durasi pengobatan selama enam bulan. Dibandingkan dengan pengobatan tuberkulosis resisten obat (TBC RO) saat ini, efektivitasnya sebesar 60-80 persen dengan durasi pengobatan 9-12 bulan atau 8-20 bulan, bergantung pada derajat penyakit yang diderita pasien.
Ketua Yayasan Stop TB Partnership Indonesia Nurul Luntungan mengungkapkan, adanya BPaL/M diharapkan bisa mengurangi beban dan tantangan dalam penanggulangan tuberkulosis di masyarakat. ”Semakin lama sembuh, semakin banyak beban yang harus dihadapi orang dengan TBC RO, seperti beban ekonomi, termasuk stigma dan diskriminasi yang masih ada,” katanya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menuturkan, kasus tuberkulosis di Indonesia masih sangat tinggi. Diperkirakan ada 1.092.000 kasus tuberkulosis yang ada di Indonesia. Dari jumlah itu baru sekitar 821.200 kasus yang ditemukan. Sebanyak 12.483 kasus di antaranya merupakan kasus tuberkulosis resisten obat.
Berbagai tantangan masih dihadapi dalam penanggulangan tuberkulosis. Selain temuan kasus yang belum optimal, orang yang sudah terkonfirmasi tetapi belum memulai pengobatan juga menjadi tantangan. Selain itu, angka putus obat juga masih tinggi sehingga risiko penularan bisa terjadi.
Menurut Imran, tingginya angka putus pengobatan dikarenakan durasi pengobatan yang cukup lama, yaitu minimal 6 bulan, adanya efek samping obat, kesulitan akses pengobatan, serta diskriminasi. Persoalan tersebut harus segera diatasi agar tuberkulosis bisa dituntaskan.
”Kami harap seluruh pemangku kepentingan bisa memperkuat komitmen untuk mendukung eliminasi tuberkulosis di Indonesia,” ucapnya.