Sastrawan Serba Bisa Itu Telah Berpulang
Sastrawan Yudhistira ANM Massardi (70) berpulang. Ia dianggap menjembatani karya sastra adiluhung dan populer.
Kabar duka melingkupi dunia sastra Indonesia. Sastrawan Yudhistira Ardi Nugraha Moelyana (ANM) Massardi (1954-2024) mengembuskan napas terakhir pada usia 70 tahun pada Selasa (2/4/2024) malam di Bekasi, Jawa Barat.
Salah satu anak Yudhistira, Kafka Massardi, menulis di X bahwa ayahnya meninggal di RSUD Kota Bekasi dan akan disemayamkan di kawasan Pondok Pekayon Indah, Bekasi. Jenazah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Pedurenan Kota Bekasi pada Rabu (3/4/2024).
Kenangan mendalam atas Yudhistira dirasakan Noorca Marendra Massardi, kakak kembarnya. Yudhistira meminta Noorca agar merayakan bersama hari ulang tahun ke-70 mereka pada 28 Februari 2024.
”Itu diminta enam bulan sebelumnya. Yudhistira ingin merayakan dengan meluncurkan buku puisi bersama,” ujar Noorca melalui telepon di sepanjang perjalanan menuju pemakaman.
Noorca menyepakati untuk meluncurkan buku 70 puisi. Puisi diambil dari pengalamannya studi di Ecole Superieure de Journalisme di Paris, Perancis, selama enam tahun (1976–1982). Hingga November 2023 sempat terkumpul 60 puisi. Ketika itu Noorca yang bekerja di Lembaga Sensor Film ditugaskan ke Paris dan di sana ia menyusun 10 puisi lagi untuk dituangkan ke buku tersebut.
”Akhirnya, buku kumpulan puisi saya sudah genap berisi 70 puisi. Sebetulnya, saya menolak untuk disebutkan di buku itu untuk memperingati usia kami 70 tahun karena saya merasa masih 50 tahun,” ujar Noorca, anak kelima dari 12 bersaudara. Yudhistira anak keenam.
Mereka lahir di Subang, Jawa Barat. Sebagai anak kembar, di masa kecil keduanya selalu bersama. Akan tetapi, Yudhistira segera pindah untuk menempuh studi di Yogyakarta.
Mereka bertemu kembali ketika duduk di bangku kelas 2 SMP di Yogyakarta. Pada 1972, ketika menginjak usia 18 tahun, mereka menetap di Jakarta. Pada 1976, keduanya berpisah kembali karena Noorca memutuskan untuk menempuh studi di Paris hingga 1982.
Selanjutnya, Yudhistira memilih tinggal di Bekasi, sedangkan Noorca di Bintaro. Karena aktivitas dan beban pekerjaan masing-masing, mereka hanya sesekali bertemu.
Baca juga: Manifestasi Angan-angan Iga
”Sepuluh tahun yang lalu, kesehatan Yudhistira menurun. Ada gangguan jantungnya sehingga dipasang klep untuk alat pemacu jantungnya. Setelah itu, Yudhistira sehat kembali dalam rentang sekitar tujuh tahun,” kata Noorca.
Pada akhir 2023, Yudhistira terlihat kelelahan setelah berkeliling Jawa untuk kegiatan sastra. Seingat Noorca, pada periode Desember 2023 hingga Januari 2024 sepulang dari Magelang, Jawa Tengah, Yudhistira terlihat begitu kelelahan.
”Pada 2024 ini Yudhistira sering keluar masuk rumah sakit yang juga berbeda-beda rumah sakitnya. Ada sekitar enam kali keluar masuk rumah sakit dan setiap kali saya menjenguk, pesannya kepada saya agar selalu menjaga kesehatan,” kata Noorca.
Sastrawan jurnalis
Yudhistira adalah penulis yang telah menghasilkan berbagai karya sastra, antara lain novel, puisi, naskah sinetron, dan cerpen. Tulisan pertamanya yang dipublikasi berjudul Aku Cinta Padamu di Warta Minggu. Saat itu Yudhistira masih SMP.
Cerpen-cerpen karyanya juga dimuat di Kompas, antara lain cerpen berjudul Berita Kematian pada 16 September 1979. Ada lagi Wawancara dengan Rahwana yang diselesaikan pada Mei 1980 dan diterbitkan sebulan kemudian. Sejumlah cerpen lain turut menghiasi halaman koran, seperti Mogok (1981), Jembatan Ji’ung (1983), Komar (1984), Karni (1985), Sangit (1990), Telepon (1990), Jurkamin (1992), dan Kuku (1994).
Karya Yudhistira juga pernah mendapat penghargaan. Naskah novel Aku Bukan Komunis menjadi salah satu pemenang pada sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1977. Novel ini lalu terbit dengan judul Mencoba Tidak Menyerah. Ia juga pernah menulis naskah Wot atawa Jembatan yang lantas menang Naskah Lakon DKJ 1977, dan naskah Ke pada 1978. Adapun kumpulan sajak berjudul Sajak Sikat Gigi menjadi kumpulan sajak terbaik 1977 oleh DKJ.
”Kepergian Mas Yudhis itu kehilangan yang sangat besar. Dia seorang seniman, sastrawan yang sangat banyak berkarya,” kata Ketua Komite Sastra DKJ Anton Kurnia. ”Dalam konteks sastra Indonesia, puisi, novel, dan cerpennya mewarnai corak sastra Indonesia.”
Jika dibaca lebih dalam, ini adalah kritik terhadap kemapanan, gap (celah) antargenerasi, kritik anak muda terhadap orang tua, bapakisme, dan situasi sosial politik yang saat itu di masa Orde Baru.
Oleh sejumlah kritikus dulu, karya Yudhistira dianggap sastra hiburan. Namun, bagi Anton, karya Yudhistira menjembatani sastra adiluhung dan populer, misalnya lewat novel trilogi Arjuna Mencari Cinta. Yudhistira juga dinilai mendekonstruksi pakem sastra mapan, antara lain melalui dialek Betawi, humor, dan istilah-istilah beken anak muda Jakarta saat itu.
”Jika dibaca lebih dalam, ini adalah kritik terhadap kemapanan, gap (celah) antargenerasi, kritik anak muda terhadap orang tua, bapakisme, dan situasi sosial politik yang saat itu di masa Orde Baru. Walau tampak seperti karya main-main, saya rasa itu mengandung gugatan yang menohok,” tutur Anton.
Selain itu, Yudhistira juga pernah menjadi wartawan yang pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Lelaki pada 1976-1978, lalu menjadi wartawan di majalah Tempo (1979-1981), lantas Redaktur Pelaksana sekaligus pendiri majalah Jakarta Jakarta (1985-1987), kemudian Redaktur Pelaksana Majalah Humor (1988-1992). Setelahnya ia pernah bekerja di industri televisi. Pada 1994-1998 ia menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Gatra, lalu menjadi Pemimpin Umum majalah itu pada 1998-2001.
Peduli pendidikan
Selain sastra dan pers, Yudhistira juga menggeluti bidang pendidikan. Ia pernah menjadi pengelola sekolah gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi. Beberapa buah pikirannya soal pendidikan dicurahkan dalam tulisan yang dimuat Kompas, salah satunya kritik soal susunan kurikulum yang tak sesuai kebutuhan siswa.
Mengutip yang ia tulis di Kompas pada 23 Maret 2013, kurikulum di sekolah gratis yang dikelolanya mengalir fleksibel, berpusat pada siswa, dikemas secara tematik-integratif-eksploratif, dan membangun rasa bahagia. Ini semua dilakukan untuk membangun individu yang cinta belajar, bahkan setelah lulus sekolah.
Sistem belajar yang kaku dan one size fits all agaknya menjadi kekhawatiran Yudhistira. Sebelum sistem pendidikan sefleksibel sekarang, Yudhistira telah menyarankan pentingnya pendidikan yang membebaskan agar anak bisa berkembang sesuai bakat dan minat masing-masing. Ini abad ke-21 yang disebutnya era inteligensia: masanya membangun manusia bebas yang keahliannya sesuai bakat dan minat individu.
”Jadi, proses pendidikan seharusnya tidak lagi totaliter seperti awal abad ke-19 (memenuhi kehendak politik para diktator), robotik (memenuhi kehendak para industrialis), dan kolonialistik/kleristik (memenuhi kehendak para penjajah dan melahirkan mental pegawai),” tulis Yudhistira.