Puasa Ramadhan, Sarana Melatih Mental
Puasa Ramadhan adalah mekanisme agama melatih mental umatnya. Tanpa kesehatan mental, kesehatan fisik tak ada maknanya.
Puasa Ramadhan sudah berjalan setengah bulan. Sebagian orang sudah ”tumbang” menjalani ujian, tetapi masih banyak pula yang bertahan. Di puasa Ramadhan ini, mental umat diuji dan dilatih agar mampu mengendalikan emosi-emosi negatif yang berdampak bukan hanya pada kesejahteraan psikologis, melainkan juga kesehatan fisik.
Hampir semua ajaran agama dan spiritualitas menekankan pada pentingnya puasa dengan berbagai pola. Puasa-puasa model ini umumnya menekankan pada pengelolaan jiwa, termasuk puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi umat Islam. Kalaupun ada manfaat bagi fisik, hal ini dianggap sebagai hasil sampingan atau bonus.
Namun, puasa masyarakat modern justru berfokus pada kesehatan fisik. Salah satu jenis puasa modern yang paling banyak dipraktikkan saat ini adalah puasa intermitten yang membatasi asupan makanan dan minuman dalam waktu tertentu demi menjaga berat badan dan kesehatan fisik secara keseluruhan.
Puasa Ramadhan adalah perintah agama dan hukumnya wajib, bukan kesukarelaan. Puasa ini tidak hanya sekadar menahan makan, minum, dan hubungan suami-istri dari terbit fajar sampai terbenam matahari, tetapi juga menghindari hal-hal negatif yang bisa merusak pahala puasa, seperti marah, berkata kasar, atau luapan emosi negatif lain.
”Puasa Ramadhan tidak terlalu menekankan pada tujuan fisik, tetapi justru fokus melakukan apa yang dalam bahasa agama disebut sebagai menata hati atau menata mental dalam bahasa psikologi,” kata psikolog klinis dan peneliti di Laboratorium Toward Healthy Mind Body and Sexuality Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adityawarman Menaldi, di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Dalam ajaran agama, tujuan puasa Ramadhan adalah mencapai iman dan takwa dengan imbalan pahala, surga, dan kebahagiaan di masa depan. Dengan berpuasa Ramadhan, umat Islam diajarkan berproses demi tujuan lebih besar di belakang, bukan justru terfokus pengorbanan atau penderitaan sekarang.
Konteks itu berkebalikan dengan konsep puasa intermitten atau banyak studi tentang puasa di Barat. Pengorbanan yang saat ini dialami akibat puasa justru sering kali dianggap memicu kecemasan dan depresi, membuat fisik tidak sehat, serta tidak produktif. harus dilakukan demi kebahagiaan di masa depan. ”Perbedaan pemaknaan atas puasa itu berdampak besar pada psikologi seseorang,” katanya.
Peneliti psikologi Islam yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bagus Riyono, mengatakan, beda puasa intermitten dan puasa Ramadhan terletak pada niatnya yang menunjukkan kesiapan mental mereka menjalankan puasa. Saat niat terbangun, fisik dan psikis manusia akan menyesuaikan diri untuk mewujudkan niat itu.
Kesiapan itu membuat orang-orang yang berpuasa Ramadhan, termasuk anak-anak, bisa bangun pukul 03.00 untuk makan sahur dengan semangat. Padahal, di hari biasa, bangun pukul 05.00 bisa menjadi hal yang memberatkan.
”Sejatinya, baik puasa Ramadhan maupun puasa intermitten sama-sama memiliki niat atau motivasi. Namun, yang membedakan adalah apa yang diinginkan dari tindakan tersebut,” katanya.
Orang yang berpuasa intermitten fokus pada perubahan perilaku disertai keinginan agar bisa kurus atau menyeimbangkan indeks massa tubuh (BMI) dan lebih sehat secara fisik. Ekspektasi (expectation) terhadap target yang jelas ini memunculkan dorongan besar untuk mencapai apa yang diinginkan. Kondisi ini membuat ekspektasi bisa menjebak karena jika tidak sesuai realitas justru bisa memunculkan stres dan kecemasan.
Sementara orang yang berpuasa Ramadhan umumnya tidak mempermasalahkan jika setelah sebulan berpuasa berat badannya tidak turun, bahkan cenderung naik. Dalam puasa Ramadhan, kurus adalah bonus. Tujuan utamanya adalah mampu beribadah dan menjadi insan yang lebih karena yakin akan ada imbalan baik jauh di masa depan.
Apa yang dimiliki orang yang berpuasa Ramadhan itu adalah harapan (hope), bukan ekspektasi. Ekspektasi adalah asumsi bahwa sesuatu akan terjadi, sedangkan harapan adalah keinginan agar sesuatu terjadi. Dalam harapan, terwujud atau tidaknya keinginan itu tidak menjadi masalah. Kemungkinan terwujudnya keinginan dalam ekspektasi lebih besar dibandingkan keinginan dalam harapan.
”Masalahnya, realitas hidup pasti memiliki ketidakpastian. Tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Karena itu, orang yang memiliki harapan memiliki toleransi atas ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan orang yang memiliki ekspektasi,” kata Bagus. Akibatnya, saat harapan itu tidak terpenuhi, mereka tidak terlalu kecewa, stres, atau cemas.
Baca juga: Tetap Bugar Saat Berpuasa di Musim Pancaroba
Kawah candradimuka
Sebagai kewajiban tahunan setiap bulan Ramadhan atau bulan ke-9 dalam kalender Hijriah, umat Islam selalu menyambut datangnya momen ini dengan sukacita. Sejak niat puasa diucapkan atau ketika makan sahur dilakukan, seseorang sudah menata mentalnya untuk bisa menaklukkan berbagai tantangan yang bisa terjadi di sepanjang hari berpuasa.
Karena itu, dengan berpuasa, kata Bagus, seseorang seperti masuk ke kawah candradimuka atau medan pelatihan untuk menguji kekuatan jiwa mereka. Secara mental, orang yang berpuasa Ramadhan sadar jika mereka sedang diuji.
Kesiapan mental itu mereka siap untuk menderita sesaat, tidak melakukan hal-hal yang dilarang sepanjang siang hari, sekitar 14 jam. Mereka menunda kesenangan yang ada di depan mata demi mengejar sesuatu yang dianggap lebih bernilai di masa depan. Di sinilah aspek spiritualitas puasa Ramadhan muncul.
Puasa Ramadhan, menurut Adityawarman, melatih seseorang untuk mampu menunda kesenangan (delayed gratification). Dengan latihan yang dilakukan sebulan penuh, itu akan mendorong sedikit jauh batas kemampuan mereka untuk menunda kesenangan. Karena itu, latihan ini sangat bermanfaat bagi anak muda yang hidup serba instan, mudah, dan buru-buru.
”Perasaan berhasil yang mereka dapatkan setelah melaksanakan puasa Ramadhan itu membentuk karakter yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu memerlukan proses,” ujarnya.
Secara kognitif, puasa Ramadhan mengajarkan bahwa jika puasa dilakukan dengan benar, maka akan membantu seseorang untuk mengendalikan emosi, menahan hawa nafsu alias emosi negatif, dan meyakinkan mereka bahwa mereka memiliki batas yang lebih tinggi untuk melakukan hal-hal yang menurut mereka sebelumnya tidak mungkin dilakukan.
Bonusnya, secara fisik, beberapa orang melaporkan mengalami penurunan berat badan karena selama puasa, tubuh dipaksa untuk menggunakan sejumlah cadangan energi mereka. Studi lain juga menunjukkan puasa kemungkinan membantu mengatasi diabetes, obesitas, menurunkan gejala epilepsi, mengurangi risiko penyakit parkinson dan alzheimer, serta memperpanjang usia hidup seseorang.
Secara afektif, puasa Ramadhan juga membantu seseorang melatih kemampuan mentalnya, bagaimana agar dia tidak mudah marah-marah, lebih tenang, tidak emosian, dan mampu menahan diri sehingga tidak berperilaku yang bisa merugikan orang lain. Ramadhan mengajarkan untuk tidak meluapkan kemarahan dan kesedihan dengan berlebihan.
”Puasa Ramadhan merupakan media pembelajaran agar seseorang mampu menata diri, mengelola emosi, pikiran, dan tubuhnya sehingga mampu mengendalikan segala sesuatu, tidak semua hal harus didapat dengan cepat dan buru-buru,” tambah Adityawarman. Karena dilakukan bersama, maka upaya ini lebih mudah dilakukan karena lingkungan mendukung.
Puasa Ramadhan merupakan media pembelajaran agar seseorang mampu menata diri, mengelola emosi, pikiran, dan tubuhnya sehingga mampu mengendalikan segala sesuatu, tidak semua hal harus didapat dengan cepat dan buru-buru.
Jika puasa Ramadhan berhasil dijalankan, kata Bagus, orang akan merasa mampu melewati tantangan yang dihadapi dan menimbulkan kepuasan. Tak hanya itu, keberhasilan tersebut juga meningkatkan efikasi diri bahwa mereka mampu melakukan suatu hal dengan baik. Pengorbanan yang mereka lakukan memberi hasil menggembirakan.
”Dalam tataran ibadah atau keimanan, seseorang yang berhasil menjalankan puasa Ramadhan akan merasa lebih ringan jiwanya karena dosa-dosanya dihapus dan dia kembali suci,” katanya.
Dalam psikologis, salah satu beban psikologis yang cukup penting adalah rasa bersalah. Perasaan ini bisa memicu munculnya banyak gangguan mental meski apa yang sebenarnya terjadi bukanlah salah dirinya. Pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu membuatnya merasa buruk sehingga mengalami kecemasan dan depresi.
Salah satu stresor pemicu kecemasan dan depresi itu adalah tuntutan masyarakat yang tinggi. Setiap orang sebenarnya memiliki pilihan untuk mengikuti atau mengejar tuntutan tersebut atau justru tidak memedulikannya. Namun, itu akan sangat bergantung pada anchor atau jangkar yang menjadi acuan setiap individu dalam memecahkan masalah.
Mereka yang memiliki anchor selain nilai-nilai luhur (virtues), yaitu sesuatu yang lain (other), diri sendiri (self), dan materi, memiliki risiko cemas dan depresi lebih besar karena menyandarkan hidupnya pada sesuatu yang bersifat tidak stabil. Nilai-nilai luhur yang bersumber pada nilai-nilai ketuhanan akan membantu seseorang hidup lebih tenang.
Puasa Ramadhan membantu manusia menyikapi hal tersebut. Dengan berpuasa Ramadhan, maka jangkar seseorang adalah Tuhan. ”Jika puasa Ramadhan dipahami dan dijalani dengan baik, akan membawa anchor-nya pada religiositas yang membawa ketenangan pada Tuhan,” katanya.
Kondisi ini, dinilai Bagus, menjadi lebih bermakna dalam konteks masyarakat masa kini yang lebih mengedepankan pada sesuatu yang bersumber pada diri sendiri. Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga membuat anchor nilai-nilai luhur itu tidak terbangun sehingga membuat banyak anak muda meraba-raba dalam menjalani kehidupan modern.
Selain itu, di akhir Ramadhan, penting untuk bisa memaafkan baik atas kesalahan yang dilakukan diri sendiri dan orang lain. Pembebasan dari rasa bersalah itu penting karena memaafkan itu menyehatkan. ”Ramadhan membantu kita bisa memaafkan masa lalu kita yang membebani jiwa kita,” katanya.
Menjaga semangat
Tantangan berikutnya adalah bagaimana menjaga hasil pelatihan mental selama Ramadhan itu agar bisa tetap bertahan selama mungkin. Agama telah memfasilitasi umatnya untuk melatih mental emosional mereka selama sebulan penuh dengan berpuasa. Hasil pelatihan ini seharusnya bisa dibawa untuk pembelajaran di bulan-bulan berikutnya.
Untuk menjaga apa yang diperoleh selama Ramadhan itu, kata Bagus, butuh pemahaman bahwa kebiasaan baik yang dilakukan selama Ramadhan harus diteruskan. Karena itu, penting untuk menetapkan target tertentu setiap Ramadhan yang terus bisa dilaksanakan meski Ramadhan telah usai.
”Menjaga hasil ’pelatihan’ selama Ramadhan sama dengan berolahraga, yaitu latihan harus terus dilakukan untuk menjaga kesehatan, bukan demi mengikuti lomba saja. Ramadhan memberikan kita kekuatan untuk bertahan, bersyukur karena mampu mengubah kebiasaan diri sehingga menjadi orang yang lebih tertib, berkomitmen, dan memiliki rutinitas. Itu semua penting untuk kesehatan mental,” katanya.
Meski demikian, Adityawarman menilai wajar jika manusia mengalami penurunan motivasi. ”Karena itu, proses pembelajaran tersebut akan diulang kembali pada Ramadhan tahun depan sehingga selalu ada momen bagi seseorang untuk kembali membersihkan hati dan pikiran mereka,” katanya.
Baca juga: Detoksifikasi Tubuh Selama Berpuasa
Jadi, mumpung masih ada kesempatan, kita masih bisa menempa dan memperbaiki diri di separuh akhir bulan Ramadhan 2024. Raga yang sehat adalah pancaran dari jiwa yang sehat karena apa yang terjadi dalam mental akan sangat memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan fisik kita.