Semua Daerah di Indonesia Bisa Menikmati Hari Tanpa Bayangan
Dalam setahun, wilayah Indonesia dua kali menikmati hari tanpa bayangan. Paparan sinar Matahari penting bagi kesehatan.
Setelah daerah-daerah di garis khatulistiwa bisa menikmati hari tanpa bayangan pada Rabu (20/3/2024), kini kota-kota di utara khatulistiwa juga bisa menikmati fenomena yang sama. Meski demikian, tidak perlu khawatir situasi saat Matahari berada di atas kepala itu tidak akan berdampak buruk bagi kesehatan. Justru sinar Matahari penting untuk kesehatan fisik dan mental.
Wilayah di Indonesia yang bisa menikmati hari tanpa bayangan pada Jumat (22/3/2024), salah satunya adalah Sofifi di Maluku Utara dengan posisi Matahari di atas kepala terjadi pada pukul 12.36 WIT. Selain itu, juga bisa dinikmati di Kotamobagu, Sulawesi Utara (11.49 Wita); Limboto, Gorontalo (11.54 Wita); dan Singkawang, Kalimantan Barat (11.50 WIB).
Peristiwa serupa, seperti dikutip dari data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, juga bisa disaksikan hari ini di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (12.09 WIB); Siak Sri Indrapura, Riau (12.18 WIB); dan Panyabungan, Sumatera Utara (12.28 WIB).
Baca juga: Ekuinoks Maret Tiba, Saatnya Hari Tanpa Bayangan di Khatulistiwa
Kota-kota yang terletak lebih ke utara dari kota-kota tersebut akan mendapat giliran berikutnya untuk menikmati hari tanpa bayangan, seperti Medan pada 29 Maret 2024 dan Banda Aceh pada 3 April 2024. Kota terakhir yang bisa menyaksikan episode pertama hari tanpa bayangan tahun 2024 adalah Sabang di Aceh pada 4 April 2024 mendatang.
Hari tanpa bayangan adalah fenomena astronomi tahunan yang disebabkan posisi Matahari yang tepat berada di atas kepala seseorang saat tengah hari. Kondisi ini menunjukkan posisi Matahari paling tinggi di langit menurut posisi seseorang. Fenomena Matahari di atas kepala itu juga disebut sebagai peristiwa kulminasi, transit, atau istiwa.
Di luar tanggal ini, meski posisi Matahari saat tengah hari seperti di atas kepala, sejatinya Matahari tidak benar-benar di atas kepala, tetapi agak condong ke selatan atau utara sesuai posisi semu Matahari. Hari ini, saat Matahari ada di belahan utara Bumi, masyarakat yang ada di belahan selatan Bumi akan menyaksikan Matahari condong ke utara.
Fenomena Matahari di atas kepala saat tengah hari dan hari tanpa bayangan yang berbeda-beda di setiap daerah itu merupakan konsekuensi dari gerak semu tahunan Matahari. Gerak semu itu membuat Matahari seolah-olah bergerak bolak-balik dari belahan Bumi selatan ke belahan utara dan sebaliknya.
Gerak semu itu dipicu sumbu rotasi Bumi yang miring 23,4 derajat terhadap bidang edar Bumi mengelilingi Matahari. Akibatnya, titik terjauh di sisi utara yang bisa dicapai dari gerak semu Matahari itu adalah 23,4 derajat lintang utara. Posisi itu dicapai saat solstis Juni antara 20-22 Juni setiap tahunnya dan disebut titik balik utara. Sebaliknya, titik paling selatan yang bisa dijangkau Matahari atau titik balik selatan adalah 23,4 derajat lintang selatan yang dicapai saat solstis Desember antara 20-23 Desember.
Perubahan musim yang terjadi akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi dan gerak Bumi mengelilingi Matahari itu tidak bisa dijelaskan secara konsisten dengan teori Bumi datar.
Dalam perjalanan itu, Matahari akan mencapai tepat di garis khatulistiwa sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu saat ekuinoks Maret pada 19-21 Maret dan ekuinoks September pada 22-24 September. Ekuinoks Maret, seperti yang terjadi Rabu (20/3/2024), berlangsung dalam perjalanan semu Matahari dari belahan Bumi selatan ke utara dan ekuinoks September saat Matahari berjalan dari belahan Bumi utara ke selatan.
Tak hanya di khatulistiwa, semua tempat di muka Bumi yang terletak di antara titik balik utara dan titik balik selatan akan mengalami fenomena Matahari di atas kepala atau hari tanpa bayangan sebanyak dua kali dalam setahun.
Tahun 2024 ini, wilayah Indonesia akan dilalui Matahari dalam perjalanannya dari belahan Bumi selatan ke utara pada 21 Februari 2024 yang terjadi di Baa Rote Ndao Nusa Tenggara Timur hingga 4 April 2024 di Sabang Aceh. Sebaliknya, saat Matahari berjalan dari belahan Bumi utara ke selatan terjadi antara 7 September 2024 di Sabang hingga 21 Oktober 2024 di Baa.
Karena itu, masyarakat di beberapa kota yang belum sempat menyaksikan hari tanpa bayangan pada episode pertama saat Matahari bergerak ke utara masih bisa menyaksikannya pada episode kedua saat Matahari bergerak ke selatan.
Untuk Jakarta, hari tanpa bayangan episode pertama sudah berlangsung pada 4 Maret 2024 lalu pada pukul 12.04 WIB. Hari tanpa bayangan berikutnya akan terjadi pada 8 Oktober 2024 pada 11.40 WIB.
Baca juga: Penyebab di Balik Langit Biru Jakarta Saat Ini
Fenomena hari tanpa bayangan ini menarik untuk diamati sebagai sarana pembelajaran kepada siswa dan memperkenalkan bagaimana sistem Bumi-Matahari bekerja. Dengan demikian, kegaduhan yang muncul saat seorang guru takjub karena Matahari terlihat terbit di utara beberapa waktu lalu tidak terjadi lagi. Posisi Matahari yang seolah terbit agak ke utara itu merupakan konsekuensi dari gerak semu Matahari.
Demikian pula teori konspirasi Bumi datar atau teori geosentris yang juga ramai beberapa tahun lalu. Perubahan musim yang terjadi akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi dan gerak Bumi mengelilingi Matahari itu tidak bisa dijelaskan secara konsisten dengan teori Bumi datar.
Tak perlu cemas
Untuk mengamati fenomena hari tanpa bayangan itu, masyarakat cukup menaruh sebuah benda atau berdiri di tempat terbuka dan menunggu waktu yang tepat. Fenomena Matahari di atas kepala itu bisa diamati dalam rentang dua hari sebelum dan sesudah hari terjadinya Matahari di atas kepala serta 5 menit sebelum dan sesudah waktu kulminasi Matahari.
Meski demikian, tidak ada dampak signifikan yang bisa dirasakan manusia saat Matahari di atas kepala. Ekuinoks dan solstis sama-sama menjadi penanda datangnya musim-musim tertentu.
Ekuinoks Maret menjadi tanda datangnya musim semi di belahan Bumi utara dan datangnya musim gugur di belahan Bumi selatan. Sementara ekuinoks September jadi tanda datangnya musim gugur di Bumi utara dan musim semu di selatan.
Sementara saat Matahari di solstis Juni menandakan puncak musim panas di Bumi utara dan puncak musim dingin di Bumi selatan. Adapun ekuinoks Desember menjadi penanda puncak musim dingin di Bumi utara dan musim panas di belahan Bumi selatan.
Baca juga: WMO Bunyikan Alarm Bahaya, Semua Indikator Pemanasan Global Capai Rekor
Di Indonesia, ekuinoks Maret juga menjadi tanda datangnya musim pancaroba di Indonesia dari musim hujan ke musim kemarau. Demikian pula saat ekuinoks September menjadi tanda datangnya musim pancaroba dari musim kemarau ke musim hujan. Namun, perubahan iklim yang saat ini terjadi membuat keteraturan pola pergantian musim itu ikut bergeser.
Saat Matahari di atas kepala sering dianggap akan meningkatkan paparan radiasi Matahari yang sering dinilai membahayakan manusia. Dikutip dari situs Badan Riset dan Inovasi Nasional, 6 September 2022, saat Matahari di atas kepala, sinar Matahari saat tengah hari akan jatuh tegak lurus dengan permukaan Bumi. Dengan demikian, intensitas sinar atau radiasi Matahari akan mencapai maksimum.
Namun, tingginya intensitas radiasi Matahari itu tidak serta-merta akan meningkatkan kenaikan suhu di permukaan Bumi pada siang hari. Kenaikan suhu udara di suatu wilayah dipengaruhi banyak hal, bukan hanya sudut datangnya sinar Matahari. Semakin rendah kelembapan udara serta makin sedikit tutupan awan dan jumlah awan pemicu hujan akan membuat suhu udara makin tinggi.
Perubahan bagian Bumi yang lebih dekat menghadap Matahari sebagai dampak dari rotasi dan revolusi Bumi juga tidak akan memengaruhi perubahan jarak Bumi-Matahari secara signifikan. Karena itu, paparan radiasi Matahari yang diterima Bumi juga tidak meningkat drastis.
Karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir bahwa fenomena Matahari di atas kepala atau hari tanpa bayangan akan berdampak buruk pada masyarakat. Masyarakat juga tak perlu ragu untuk beraktivitas di luar rumah. Justru ini saat yang tepat untuk mengenalkan keteraturan sistem semesta kepada masyarakat.
Baca juga: Suhu Panas Melanda Indonesia, Tertinggi di Deli Serdang
Paparan sinar Matahari berlebih memang bisa membuat kulit kusam dan kulit terbakar, mempercepat penuaan, meningkatkan risiko katarak atau kekeruhan lensa mata, hingga bisa memicu kanker kulit. Namun, sinar Matahari juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan fisik dan mental.
Matahari adalah sumber utama vitamin D yang penting untuk kesehatan tulang dan meningkatkan imunitas tubuh. Untuk mendapatkan manfaat itu, masyarakat di zaman pandemi Covid-19 rutin berjemur demi menjaga daya tahan tubuh dan menghindari penularan virus korona, penyebab Covid-19. Namun, setelah pandemi berlalu, kebiasaan itu menghilang.
Studi Siti Setiati dari Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan rekan dalam Asian Journal of Gerontology & Geriatrics, Desember 2007, menunjukkan, untuk memenuhi kebutuhan vitamin D dalam tubuh, seseorang hanya butuh berjemur tiga kali sepekan dengan durasi 7,5 menit jika berjemur pada pukul 11.00-13.00 atau 25 menit apabila berjemur pukul 09.00-10.00. Berjemur dilakukan dengan memajankan wajah, lengan, dan telapak lengan dengan sinar Matahari langsung.
Berjemur tengah hari memang tidak menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Saat tengah hari memang intensitas sinar ultraviolet tinggi, termasuk ultraviolet B yang dibutuhkan untuk kesehatan. Karena itu, berjemur saat tengah hari membutuhkan waktu lebih singkat dibanding berjemur pada pagi atau sore hari.
”Berjemur jangan berlebihan hingga memicu sunburn (kulit merah dan perih tanda terbakar) yang meningkatkan risiko kanker kulit,” kata Siti seperti dikutip Kompas, 30 April 2020.
Baca juga: Siasat Berjemur Sinar Matahari
Tak hanya bermanfaat untuk mendukung kesehatan fisik, Jie Wang dan rekan di jurnal Risk Management and Healthcare Policy, 14 Juni 2023, menulis manusia tidak mungkin bertahan hidup dengan sehat tanpa sinar Matahari. Sinar Matahari terbukti melindungi manusia dari sejumlah penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit mental.
Paparan sinar Matahari pada kulit dan area khusus di retina membantu otak untuk melepaskan hormon serotonin yang memengaruhi suasana hati, membantu fokus, dan membuat lebih tenang. Karena itu, terpapar sinar Matahari secara langsung banyak disarankan dokter untuk membantu mengatasi stres dan gangguan kecemasan.
Sementara studi di Taiwan menunjukkan paparan sinar ultraviolet B tingkat sedang dalam jangka panjang bisa menghambat depresi. Paparan sinar Matahari juga efektif mengatasi sejumlah gangguan mental musiman dan depresi nonmusiman. Pasien penyakit mental yang dirawat dalam ruangan dengan sinar Matahari lebih baik juga memiliki masa rawat inap lebih pendek.
Karena itu, masyarakat tak perlu ragu berpanas-panas menikmati sinar Matahari dalam momen-momen khusus, seperti saat Matahari berada di atas kepala yang memunculkan fenomena hari tanpa bayangan. Panasnya sinar Matahari yang sering kita keluhkan, sejatinya adalah dambaan banyak warga dunia yang tinggal di negara empat musim. Yang penting, paparan sinar Matahari itu dilakukan secara terukur dantidak berlebihan.