WMO Bunyikan Alarm Bahaya, Semua Indikator Pemanasan Global Capai Rekor
Organisasi Meteorologi Dunia membunyikan alarm bahaya karena semua indikator utama pemanasan global mencapai rekor.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat gas rumah kaca, suhu permukaan, panas dan pengasaman laut, kenaikan permukaan laut, lapisan es laut Antartika, dan penyusutan gletser telah mencapai rekor tertinggi sepanjang tahun 2023. Kondisi ini telah memicu gelombang panas, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, badai tropis, serta gagal panen yang berdampak terhadap jutaan orang dan menimbulkan kerugian ekonomi miliaran dollar AS.
Laporan baru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tentang ”State of the Global Climate 2023” menunjukkan, rekor pemanasan global itu sekali lagi dipecahkan. Laporan ini menjadi landasan bagi kampanye aksi iklim baru oleh Program Pembangunan PBB dan WMO yang akan diluncurkan pada 21 Maret 2024, sebagai bahan diskusi pada pertemuan tingkat menteri perubahan iklim di Kopenhagen pada 21-22 Maret 2024.
Puluhan pakar dan mitra berkontribusi dalam laporan ini, termasuk PBB, Layanan Meteorologi dan Hidrologi Nasional (NMHS) dan Pusat Data dan Analisis Global, serta Pusat Iklim Regional, Program Penelitian Iklim Dunia (WCRP), dan Global Atmospheric Watch (GAW).
Ringkasan laporan yang dikeluarkan pada Selasa (19/3/2024) juga menyebutkan, tahun 2023 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. Menurut WMO, rata-rata suhu global di dekat permukaan saat ini 1,45 derajat celsius di atas suhu dasar pra-industri 1850. Itu adalah periode sepuluh tahun terpanas yang pernah tercatat.
”Belum pernah kita sedekat ini—walaupun hanya sementara—pada ambang batas 1,5 derajat celsius sesuai Persetujuan Paris (Paris Agremeent) mengenai perubahan iklim. Komunitas WMO menyuarakan alarm bahaya kepada dunia,” kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo.
Menurut Saulo, perubahan iklim lebih dari sekadar suhu. Apa yang kita saksikan pada tahun 2023, terutama dengan pemanasan laut yang belum pernah terjadi sebelumnya, penyusutan gletser, dan hilangnya es laut Antartika, menimbulkan kekhawatiran khusus.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyatakan, laporan ini sebagai alarm yang sudah berbunyi keras. ”Dan perubahan semakin cepat,” katanya.
Menurut laporan WMO, rata-rata setiap hari pada 2023, hampir sepertiga lautan global dilanda gelombang panas laut sehingga merugikan ekosistem penting dan sistem pangan. Menjelang akhir tahun 2023, lebih dari 90 persen lautan pernah mengalami kondisi gelombang panas pada suatu saat sepanjang tahun.
Guncangan iklim melemahkan ketahanan dan menciptakan risiko perlindungan baru di antara populasi yang paling rentan.
Data juga menunjukkan, gletser referensi global mengalami kehilangan es terbesar yang pernah tercatat (sejak 1950), yang disebabkan oleh pencairan ekstrem di Amerika Utara bagian barat dan Eropa. Luas es laut Antartika sejauh ini merupakan yang terendah yang pernah tercatat, dengan luas maksimum pada akhir musim dingin sebesar satu juta kilometer persegi di bawah rekor tahun sebelumnya.
”Krisis iklim adalah tantangan utama yang dihadapi umat manusia dan terkait erat dengan krisis kesenjangan, seperti yang terlihat dari meningkatnya kerawanan pangan dan perpindahan penduduk, serta hilangnya keanekaragaman hayati,” kata Celeste Saulo.
Rawan pangan
Laporan WMO ini juga menyoroti jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan akut di seluruh dunia yang meningkat lebih dari dua kali lipat. Cuaca dan iklim ekstrem mungkin bukan penyebab utama, tetapi merupakan faktor yang memperburuk.
Mengacu data Program Pangan Dunia (WFP), pantauan di 78 negara terdapat 149 juta orang rawan pangan sebelum pandemi Covid-19. Jumlah populasi rawan pangan di dunia menjadi 333 juta orang pada 2023.
Bahaya cuaca juga memicu perpindahan penduduk pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan guncangan iklim melemahkan ketahanan dan menciptakan risiko perlindungan baru di antara populasi yang paling rentan.
Energi terbarukan
Di tengah kondisi ini, harapan datang dari perkembangan pembangkitan energi terbarukan di tingkat global, yang terutama didorong oleh kekuatan dinamis dari radiasi matahari, angin, dan siklus air. Pada 2023, penambahan kapasitas energi terbarukan meningkat hampir 50 persen dari tahun 2022, dengan total 510 gigawatt (GW), angka tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Minggu ini, dalam Pertemuan Tingkat Menteri Perubahan Iklim Kopenhagen pada 21-22 Maret 2024, para pemimpin dan menteri perubahan iklim dari seluruh dunia akan berkumpul untuk pertama kalinya sejak COP28 di Dubai untuk mendorong percepatan aksi perubahan iklim. Meningkatkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) negara-negara sebelum batas waktu Februari 2025, akan menjadi agenda utama, seiring dengan tercapainya kesepakatan ambisius mengenai pembiayaan pada COP29 untuk mewujudkan rencana nasional menjadi tindakan.
”Aksi Perubahan Iklim saat ini terhambat oleh kurangnya kapasitas untuk memberikan dan menggunakan layanan iklim untuk menginformasikan rencana mitigasi dan adaptasi nasional, terutama di negara-negara berkembang,” kata Saulo.