Lebih dari 1,8 Juta Anak di Indonesia Belum Dapatkan Imunisasi
Lebih dari 1,8 juta anak di Indonesia belum mendapatkan imunisasi. Risiko kecacatan dan kematian pun mengintai.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari 1,8 juta anak di Indonesia belum mendapatkan satu dosis pun imunisasi. Hal ini patut diwaspadai karena anak yang belum diimunisasi berisiko tertular dan menularkan penyakit berbahaya yang seharusnya bisa dicegah.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi sama sekali atau zero-dose immunization secara akumulatif pada 2018-2023 mencapai 1.879.820 anak. Pada 2023, jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi bertambah 432.615 anak.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine mengatakan, cakupan yang belum optimal serta belum merata menjadi persoalan yang dihadapi oleh Indonesia terkait pelaksanaan imunisasi pada anak. Hal itu menyebabkan, kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi masih sering ditemui di masyarakat.
”Anak yang tidak diimunisasi akan berisiko tinggi tertular penyakit berbahaya yang berisiko pada kecacatan dan kematian. Selain itu, jika masih ada anak yang tidak diimunisasi, kekebalan komunitas (herd immunity) tidak akan tercapai sehingga kejadian luar biasa atau wabah,” tuturnya, dalam kegiatan pertemuan media terkait pelaksanaan Pekan Imunisasi Dunia 2024 di Jakarta, Senin (18/3/2024).
Pada 2023 telah dilaporkan setidaknya ada 94 kejadian luar biasa (KLB) campak pasti di 66 kabupaten/kota, 4 KLB rubela di 4 kabupaten/kota, 103 KLB difteri di 68 kabupaten/kota, 7 kasus polio cVDPV2 di 7 kabupaten/kota, 1 kasus polio VDPV1 di 1 kabupaten/kota, 14 kasus tetanus neonatorum di 12 kabupaten/kota, serta 13 kasus meninggal akibat tetanus neonatorum di 11 kabupaten/kota. Selain itu, sebaran kasus pertusis dilaporkan di 149 kabupaten/kota di 29 provinsi pada 2023.
Anak yang tidak diimunisasi akan berisiko tinggi tertular penyakit berbahaya yang berisiko pada kecacatan dan kematian.
Prima menuturkan, apabila cakupan imunisasi pada anak tidak segera dilengkapi, berbagai risiko bisa terjadi. Selain munculnya kasus baru kejadian luar biasa, Indonesia juga dapat gagal mencapai target eliminasi campak-rubela yang ditargetkan pada 2026. Indonesia pun berisiko gagal mempertahankan status bebas polio yang dicapai sejak 2014.
Ia menuturkan, cakupan imunisasi yang belum optimal salah satunya disebabkan keengganan orangtua membawa anaknya diimunisasi. Dari survei Nielsen yang dilakukan Kementerian Kesehatan dengan Unicef, sebanyak 38 persen orangtua mengaku tidak mau mengimunisasi anaknya karena takut akan pemberian imunisasi ganda. Selain itu, sebanyak 12 persen mengaku takut akan efek samping yang bisa ditimbulkan dari imunisasi.
Ketua Komisi Nasional Pengurus Pusat Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Satari menuturkan, edukasi terkait pentingnya imunisasi harus terus disampaikan kepada masyarakat. Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) merupakan kondisi yang bisa terjadi. KIPI tersebut umumnya ringan dan terjadi secara cepat. KIPI bisa disembuhkan, baik tanpa maupun dengan pengobatan.
Sebagian besar KIPI yang dilaporkan merupakan KIPI nonserius, seperti demam, bengkak pada area yang disuntik, kemerahan lokal, mual dan muntah, nyeri lokal, serta lemas dan lesu.
Dari 22.155 total kasus KIPI yang dilaporkan, sebanyak 22.117 kasus merupakan kasus nonserius. Sementara kasus KIPI serius yang dilaporkan sebanyak 35 kasus, antara lain merupakan kasus koinsiden atau kasus yang tidak berkaitan dengan pemberian imunisasi, seperti demam, pingsan, perdarahan lokal, adanya gatal pada tubuh yang lain, sesak napas, dan diare.
”Jika memang ada gejala atau tanda KIPI, sebaiknya segera laporkan ke petugas kesehatan. Jika memang ada demam di atas 39 derajat, kejang, muntah setiap makan atau minum, dan rewel itu harus dibawa ke rumah sakit. Kalaupun ada tanda-tanda seperti itu, biasanya tidak berkaitan dengan imunisasi, tetapi tetap harus segera dibawa ke rumah sakit,” kata Hindra.
Ia pun mengimbau masyarakat, terutama orangtua, agar tidak ragu membawa anaknya segera mendapatkan imunisasi lengkap. Manfaat perlindungan yang didapatkan dari imunisasi sangat besar untuk anak. Vaksin yang diberikan pada program imunisasi nasional sudah dipastikan keamanannya lewat berbagai pengujian, mulai dari pengujian praklinis, klinis, hingga post-market.
Vaksin ganda atau vaksin lebih dari satu jenis pada satu waktu kunjungan juga aman untuk diberikan. Imunisasi dengan suntikan ganda bermanfaat untuk melindungi anak dari berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, mengurangi jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan, serta meningkatkan efisiensi program imunisasi.
Imunisasi lengkap
Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Hartono Gunardi menyampaikan, pemberian imunisasi kepada anak juga harus dipastikan diberikan secara lengkap. Vaksin yang diberikan dalam program imunisasi bersifat spesifik sehingga tidak bisa melindungi semua jenis penyakit.
Untuk mendapatkan perlindungan yang efektif, anak perlu mendapatkan imunisasi rutin lengkap.
Imunisasi lengkap diberikan sejak anak baru lahir sampai pada anak usia sekolah dasar. Pada usia 0-11 bulan, imunisasi yang perlu diberikan antara lain hepatitis B, BCG (Bacillus Calmette-Guérin), polio tetes, dan campak rubela. Pemberian imunisasi dilanjutkan pada anak usia 18-24 bulan dengan vaksin yang diberikan ialah DPT-HB-Hib untuk mencegah difteri, pertusis, tetanus, hepatitis, pneumonia, serta imunisasi campak rubela dan polio suntik.
Untuk melengkapi imunisasi itu, vaksin campak, rubela, dan DT perlu diberikan pada anak kelas I sekolah dasar (SD), sedangkan vaksin Td pada anak kelas II dan kelas V SD. Vaksin lain yang juga diberikan pada anak sekolah dasar ialah vaksin HPV untuk anak usia sekolah dasar kelas V dan VI.
”Untuk mendapatkan perlindungan yang efektif, anak perlu mendapatkan imunisasi rutin lengkap. Anak yang belum diimunisasi ataupun imunisasinya belum lengkap perlu dilakukan imunisasi kejar dengan imunisasi ganda yang sudah terbukti aman, efektif, dan efisien,” tutur Hartono.