Ketika Transpuan Memperjuangkan Klaim Dana Kematiannya
Transpuan hingga kini mengalami stigmatisasi dan diskriminasi. Perjuangan mendapatkan haknya melalui jalan berliku.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Perjuangan kelompok rentan, seperti transpuan, untuk mendapatkan perhatian negara dalam pemenuhan haknya sebagai warga negara hingga kini terus melalui jalan berliku. Dalam kehidupan bermasyarakat, mereka tetap menjadi bagian kelompok marjinal dan sulit mengakses program pemerintah yang menjamin keberlangsungan hidup mereka.
Padahal, dari sisi regulasi, sebenarnya Indonesia sudah memilikinya. Akses masyarakat miskin dan kelompok marjinal, seperti transpuan, untuk mendapatkan jaminan sosial sudah diatur melalui peraturan perundang-undangan. Misalnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dengan program khusus Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang menjangkau masyarakat yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.
Sementara itu, dalam BPJS Bidang Ketenagakerjaan hingga kini belum ada program PBI atau sejenisnya. Namun, ada program BPJS Ketenagakerjaan untuk kategori bukan penerima upah (BPU) yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua.
Program ini memberikan peluang kepada masyarakat yang berada dalam kategori BPU atau kelompok masyarakat yang bekerja informal menjadi peserta dan berhak mendapatkan klaim jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan hari tua. Berangkat dari aturan tersebut, semenjak 2023, sekitar 160 transpuan dan masyarakat miskin melalui Suara Kita (organisasi yang mendampingi transpuan) mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan program BPU.
Bahkan, ketika mereka mendatangi kantor BPJS Ketenagakerjaan, mereka dianjurkan untuk ikut program tersebut melalui Perisai (Penggerak Jaminan Sosial Indonesia). Para transpuan mendaftar. Cukup membayar iuran Rp 16.800 per bulan, mereka bisa mendapatkan manfaat dari program tersebut.
Namun, dalam perjalanan, beberapa transpuan peserta program tersebut meninggal. Dua orang di antara mereka bisa mengajukan klaim dari program tersebut dan menerima dana santunan kematian sekitar Rp 42 juta karena mereka memiliki keluarga. Namun, ketika ada transpuan lain peserta program tersebut yang tidak memiliki keluarga meninggal, BPJS hanya memberikan santunan sekitar Rp 10 juta.
”Padahal, sebelum meninggal, karena tidak memiliki keluarga, yang bersangkutan membuat surat wasiat agar dana kematiannya dari BPJS bisa diserahkan kepada komunitas transpuan,” kata Hartoyo dari Jaringan Komunitas untuk BPJS Tenaga Kerja (JKU BPJS TK).
Selain itu, pengajuan klaim dana kematian dari transpuan peserta BPJS Ketenagakerjaan BPU ditolak karena sejumlah alasan. Misalnya, peserta program dinilai tidak bekerja dan dianggap memiliki penyakit menahun.
Dimediasi DJSN
Karena itulah, pada Kamis (14/3/2024), Hartoyo bersama belasan transpuan dan komunitasnya yang tergabung dalam JKU BPJS TK mendatangi Kantor Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Siang itu, mereka menemui Subiyanto, anggota DJSN. Mereka meminta DJSN memediasi penyelesaian persoalan klaim dana kematian yang mereka ajukan ke BPJS Ketenagakerjaan.
”Kami berharap DJSN bisa membantu kami, menjelaskan kepada BPJS Ketenagakerjaan soal situasi yang kami hadapi,” ujar Dona dan Yanti, transpuan yang selama ini ikut mengurus klaim dana kematian dari transpuan yang meninggal.
Para transpuan berharap pemerintah, dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan, melakukan perbaikan regulasi, terutama Permenaker Nomor 5 Tahun 2021 dengan mengakui wasiat dari penerima manfaat dan menjalankan permenaker tersebut. Sebab, setiap peserta secara sah memiliki kartu dan membayar iuran bulanan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
”Negara sudah menghadirkan kebijakan yang berpihak kepada orang miskin dan kelompok rentan dengan adanya program jaminan sosial. Bagi kami, program BPJS Ketenagakerjaan program BPU bukan cuma menjawab persoalan transpuan, tapi juga orang miskin lain. Problemnya justru ada pada teknis pelaksanaannya,” ujar Hartoyo.
Anggota DJSN, Subiyanto, menyatakan bersedia memediasi persoalan tersebut dengan BPJS Ketenagakerjaan. Ia pun berharap bisa bersama-sama BPJS Ketenagakerjaan melakukan kajian atas Permenaker Nomor 5 Tahun 2021 tersebut.
Kepesertaan mereka dalam BPJS Ketenagakerjaan BPU semata-mata karena selama ini mereka terbuang dari keluarga dan masyarakat.
Proses tersebut diharapkan bisa berlangsung hingga 20 Maret mendatang, kemudian DJSN akan mengeluarkan anjuran. Setelah itu, kedua pihak diberikan waktu memberikan tanggapan dan diakhiri dengan berita acara.
”Kita harus melakukan telaah. Analisis sementara saya ada tiga poin, yakni ada kekosongan hukum dan peluang untuk perbaikan, kedua ada regulasi yang mungkin tidak sinkron, dan ketiga mungkin ada mispersepsi terhadap regulasi. Kalau yang kekosongan hukum dan regulasi tidak sinkron kita bisa lakukan perbaikan, sedangkan yang mispersepsi bisa dijelaskan,” kata Subiyanto.
Proses mediasi masih berjalan. Harapannya, perjuangan para transpuan dan warga miskin untuk mendapatkan manfaat dari program BPJS Ketenagakerjaan bisa berujung pada penyelesaian terbaik dan terutama negara benar-benar hadir bagi para kelompok rentan.
Keberadaan dana kematian tersebut sangat bermanfaat bagi komunitas transpuan yang hingga kini berada dalam posisi marjinal. Kepesertaan mereka dalam BPJS Ketenagakerjaan BPU semata-mata karena selama ini mereka terbuang dari keluarga dan masyarakat.
Dan, bagi mereka yang tidak lagi diakui keluarganya ini, kematian menjadi sebuah hal yang menakutkan bagi transpuan. Saat meninggal, tidak ada yang mengurus mereka, kecuali komunitas transpuan.
”Kalau punya dana kematian, setidaknya kawan-kawan transpuan saat meninggal, pemakaman mereka bisa mereka dilakukan bermartabat. Itu mimpi kami,” ucap Hartoyo diiringi deraian air mata.