Di tengah bulan politik, tiga agama menyerukan kepada umatnya untuk menahan diri dan memperbaiki perilaku.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Ramadhan di tahun 2024 jatuh pada bulan Maret. Keistimewaannya ialah pada hari pertama puasa bertepatan pula dengan Hari Raya Nyepi 1946 Saka. Hari besar bagi umat Hindu yang juga berlandaskan prinsip menahan diri. Selain itu, pada tanggal 25 Maret akan tiba perayaan Paskah bagi umat Kristiani. Prinsip menahan diri juga menjadi inti dari perjalanan menuju Paskah.
Bulan puasa ini pun hadir di tengah masih ramainya situasi politik Indonesia setelah pemilihan umum presiden 14 Februari lalu. Kini, muncul berbagai gugatan yang mempertanyakan legitimasi penghitungan suara beserta partai-partai politik mengajukan hak angket. Di tataran individual, banyak politikus menelan kecewa karena gagal menggapai impian menduduki kursi di dewan rakyat. Di sisi lain, sejumlah calon yang lolos justru diragukan keberhasilannya.
“Pesan puasa adalah menahan diri dan praktiknya dilakukan oleh berbagai aliran agama dan kepercayaan. Menarik sekali di Ramadhan kali ini, pesan untuk menahan dirinya juga berbarengan dengan praktik-praktik agama lain. Ini sepertinya pertanda bahwa manusia Indonesia memang harus mundur sejenak dan merenung,” kata Guru Besar Filsafat Agama Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat ketika ditemui di Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (9/3/2024).
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia 2019-2024 itu menjelaskan bahwa berpuasa itu menahan perilaku yang memenjarakan potensial di dalam diri manusia. Pada hari-hari biasa, manusia memprioritaskan kesenangan fisik seperti makan enak, minum, dan melakukan kegiatan menyenangkan. Pada waktu-waktu khusus, manusia terperangkap pada perilaku memprioritaskan kekuasaan dan kemenangan. Oleh sebab itu, berpuasa menjadi kesempatan untuk memulihkan kembali nilai-nilai spiritualitas dan moral yang mungkin selama ini telah menyurut, bahkan terlupakan.
“Para pemimpin yang baik selain kuat politik dan materi juga harus punya kompas kemanusiaan, moral, dan kedermawanan,” kata Komaruddin. Harapannya, kesadaran untuk memberdayakan aspek-aspek tersebut bisa diambil dari bulan yang suci ini.
Ia menerangkan, praktik berpuasa hendaknya jangan sebatas memenuhi ritual formal sehingga kehilangan makna. Justru, di tengah gegap gempita politik ini puasa semakin diperlukan. Komaruddin mengambil contoh bahwa langkah berpuasa selalu diambil sebagai cara untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak diatur oleh hegemoni duniawi, termasuk kekuasaan.
Nelson Mandela misalnya, ketika masih dipenjara karena melawan pemerintahan apartheid selama periode 1964-1990 beberapa kali berpuasa. Ia melakukannya sebagai simbol kesetiaan pada prinsip moral. Komaruddin menjelaskan, ini ketika hegemoni yang dihadapi bersifat negatif dan berseberangan secara moral dengan individu. Di dalam puasa religius, hegemoni tersebut bisa-bisa tidak terasa karena telah menjadi bagian sehari-hari kehidupan, tetapi tanpa kita sadari memengaruhi pemikiran dan pengambilan keputusan.
“Bisakah kita memimpin diri sendiri agar selalu konstruktif dan tidak merusak lingkungan karena pikiran dan tangan kita dijaga? Bagi prinsip Islam, itulah nilai sejati yang hendaknya diambil dari praktik berpuasa,” tutur Komaruddin.
Ia mencontohkan, di dalam fenomena mudik dan arus balik, meskipun transportasi padat, jarang terjadi konflik. Hal ini karena orang-orang menyadari bahwa mereka harus menahan diri. Akan tetapi, banyak yang luput menyadari bahwa sikap itu harus dilanggengkan. Mayoritas orang menganggap bahwa puasa adalah tujuan akhir, padahal semestinya pintu masuk untuk belajar mengelola pikiran dan perasaan yang kemudian diterapkan selamanya.
“Puasa adalah ibadah individual, tetapi tidak demi menjadikan manusia makhluk yang mengoslasi diri. Justru, nilai-nilai yang diperoleh selama berpuasa itu harus diterapkan ke kehodupan sosial kita,” katanya.
Pendapat serupa diutarakan oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Tangerang Selatan Ida Ketut Ananta di sela-sela Upacara Tawur Kesanga di Pura Parahyangan Jagat Guru pada Minggu (10/3/2024). Ini adalah upacara menyambut Nyepi yang tiba sehari setelahnya. Ananta menerangkan, pesan untuk menahan diri telah ada sejak Hari Raya Galungan yang jatuh pada 28 Februari.
“Perayaan kemenangan ini semestinya dilakukan secara spiritual dan mengedepankan etika moral,” ujarnya.
Menahan diri ini memungkinkan kemenangan dharma atas adharma. Ananta menjelaskan, dharma adalah kesadaran pikiran, ucapan, dan tindakan yang bertujuan demi kebaikan semua makhluk, tidak hanya di kalangan manusia semata. Ritualnya mulai dari Melasti, Tawur, hingga Catur Brata Penyepian. Semua adalah simbol manusia melawan berbagai tarikan duniawi dengan cara menjaga diri.
Kebangkitan bangsa
Sementara itu, Ketua Komisi Hubungan Antarumat Beragama Keuskupan Agung Medan RD Benno Ola Tage memaknai bertepatannya Ramadhan dengan Nyepi dan Paskah sebagai peristiwa spiritual penting bagi indonesia. “Ini sangat relevan dengan pemilu. Ada tiga agama bertemu dalam spiritualitas pertobatan, pengendalian diri, dan kebangkitan,” tuturnya.
Benno menyebut, tiga peristiwa spiritual itu membawa kehidupan dan toleransi antar umat beragama di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi. Di tingkat paling mendasar, toleransi antar umat beragama dibangun dengan dialog antar institusi agama.
Pendekatan di tahap ini bersifat formal yang dibangun dengan komunikasi antar institusi dan pemimpin agama. Di level selanjutnya, kata Pastor Benno, toleransi dibangun dalam dialog kehidupan umat beragama. Masyarakat dari berbagai latar belakang agama dapat hidup rukun, memahami, dan bersaudara dalam perbedaan antar umat beragama.
“Selanjutnya, tingkatan toleransi paling tinggi adalah dialog spiritual. Artinya ada unsur kesamaan spiritualitas dari semua agama seperti pengendalian diri, pertobatan, kebangkitan, dan kemenangan,” kata Benno.
Dialog spiritual ini, menurut Benno, terjadi karena bulan Ramadhan bertepatan dengan Nyepi dan Paskah. Perayaan dimulai dengan Pra Paskah pada 14 Februari. Umat Katolik melakukan pengendalian diri dan pertobatan dengan puasa Rabu Abu dan Jumat Agung. Ini lalu dilanjutkan dengan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Semangat puasa adalah pengendalian diri. Demikian juga dengan Nyepi juga adalah peristiwa spiritual untuk mengendalikan diri dari berbicara dan tidak bersenang-senang.
“Kemudian Idul Fitri adalah perayaan kemenangan atas puncak kemampuan mengendalikan diri. Jadi ada unsur yang sama dari tiga peristiwa spiritual ini. Ini adalah puncak dialog dalam kehidupan beragama,” kata Benno.
Benno mengingatkan, spiritualitas pengendalian diri juga bertepatan dengan pemilihan pemimpin bangsa melalui Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2024. Bangsa ini, kata Benno, hanya dapat eksis dan berkembang kalau pemimpinnya mempunyai spiritulitas pengendalian diri dalam menjalankan kekuasaan dan menghindari keserakahan. Bertemunya tiga peristiwa spiritual penting adalah bentuk kecintaan Tuhan pada Bangsa Indonesia. Jika perayaan kemerdekaan adalah kebebasan dari penjajah, perayaan Ramadhan, Paskah, dan Nyepi adalah perayaan kemampuan manusia dalam mengendalikan diri.